• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Kamis, 08 Desember 2011

Menanti Aksi Abraham Samad

Abraham Samad,Ketua KPK 2011-2015
 Tak ada yang mengira kalau Abraham Samad dipilih Komisi III DPR jadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalahkan nama-nama tenar seperti Bambang Widjojanto, Yunus Husein maupun ketua lama, Busyro Maqoddas.Bukan hanya masyarakat yang terkejut, Pansel Pemilihan juga gusar. Bahkan salah seorang anggota Pansel, Saldi Isra, sampai ngoceh di media, merasa tak pas dengan pilihan DPR. Maklumlah, dua nama yang digadang-gadang paling pantas memimpin KPK adalah Bambang Widjojanto –yang sepak-terjangnya sudah dikenal— atau Yunus Husein yang dekat dengan istana. Abraham selama ini “hanya” berkutat dalam persoalan hukum –termasuk pemberantasan korupsi—Makassar (dengan mendirikan Anti Corruption Commitee [ACC]), dianggap tak memiliki “prestasi” dan rekam jejak di atas orang-orang yang dikalahkannya.

            Pendek kata, prestasi Abraham hanya “kelas daerah”, dan tak punya pengalaman berkiprah di tingkat nasional. Ada polarisasi pusat-daerah, tapi DPR tetap yakin pada pilihannya: anak muda pantas memimpin KPK.  Belakangan muncul tudingan dari beberapa LSM yang mengatakan Abraham bisa dikendalikan, baik pemerintah maupun DPR. Jelas, in tak punya dasar. Tapi di luar persoalan itu, tugas Abraham dan KPK –juga para komisioner terpilih—  memang sangat berat. Tugas pertama yang dibebankan adalah menuntaskan kasus aliran dana Century yang akhir-akhir ini hampir tak terdengar beritanya. Abraham diberi waktu 100 hari dan seperti janjinya dalam uji kelayakan di depan Komisi III DPR, dia akan mundur jika tak bisa menyelesaikan kasus ini.
           
Sudah terbukti, KPK saat dipimpin Antasari Azhar maupun Busryo, juga tak mampu menyelesaikan kasus ini karena ada “kekuatan besar” yang tak bisa dilawan.Kasus lain yang tak kalah menarik adalah fenomena banyaknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah yang memutus bebas beberapa terdakwa korupsi yang merupakan tangkapan KPK. Pengadilan Tipikor Surabaya, Bandung, dan terakhir Pontianak telah “membebaskan” para koruptor dari dakwaan jaksa. Ini tamparan keras bagi KPK, karena sebelum ini —dengan cara kerja yang sangat teliti— hampir semua tangkapan KPK tak ada yang lolos dari jeratan hukum.Kemudian muncul wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah, yang segera jadi kontroversi. Masih banyak lagi persoalan besar yang harus diurus KPK di bawah Abraham. Apa dengan pengalaman yang hanya berkutat di “daerah”, seorang Abraham yang jelas secara pengalaman dan usia masih yunior dibanding para deputinya, mampu tampil menembus tembok besar yang pasti akan menghadang, atau melawan kekuasaan yang luar biasa kuat, atau mafia hukum yang berkeliaran yang bahkan mungkin ada di kantornya. Integritas dan kejujuran saja tak cukup untuk tampil di panggung hukum yang lebih besar ini, karena di sana juga perlu keberanian, kecerdasan, ketegasan, tahan banting, siap menghadapi siapa saja, bahkan lingkaran istana sekalipun.

            Mampukah? Ini yang kita tunggu. Jika dia gagal, cap sebagai “orang daerah” dan polarisasi pusat-daerah tetap jadi garis api yang sulit ditembus. Tapi jika berhasil, stigma bahwa orang daerah tak pantas dapat panggung lebih besar, bisa ditepis. Kita pernah punya pendekar hukum yang juga dari Makassar, Baharuddin Lopa, yang tak pernah takut pada siapapun. Mampukah Abraham jadi “Lopa” baru? Kita tunggu.
Selengkapnya...

Minggu, 27 November 2011

Revolusioner Si Tan Malaka



           Tan Malaka-lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka-menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau.Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang-Sumatera Barat-Tan Malaka dilahirkan.Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang memebawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Selengkapnya...

Rabu, 23 November 2011

Epistimologi Kiri Sebagai Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan


Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari istilah “kiri” dan memang seharusnya istilah tersebut menjadi sangat amat biasa dalam setiap perbincangan. Tapi bukan hanya sebatas perbincangan saja, terminology tersebut menjadi sangat tidak biasa atau luar biasa di saat istilah tersebut diendapkan pada dimensi pemikiran. Istilah kiri mentimpan sejumlah gagasan besar yang menantang, melawan, merusak setiap tradisi yang dianggap “mapan” dan istilah kiri juaga memainkan peran signifikan atas munculnya ide-ide besar yang merubah keadaan.

Pada sudut pandang sejarah, terminology “kiri” sering dialamatkan pada pemikiran dan gerakan social yang berusaha melakuka dikte atau pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau yang dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Terminology “kiri” juga sering menjadi hantu ketika ia di labelkan pada setiap pemikiran dan gerakan social yang mengusung symbol-simbol revolusi sebagaimana sosialisme, marxisme dan komunisme. Bahakan dalam ruang kesadaran manusia sampai saat ini, “stigmatisasi” terminology kiri sedah melembaga. Terlebih ketika terminology kiri tersebut dikonveksikan pada keadaan dimana terdapat luka sejarah. Misalkan Indonesia, keadaan masyarakat Indonesia pernah disesaki oleh ide-ide membumihanguskan segala hal yang baunya “kiri”.



Masih segar dalam ingatan kita tanggal 19 April 2001 lalu, di Negeri ini terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap berbau kiri dn kekiri-kirian. Yang menjadi masalah, aksi tersebut difokuskan pada eberapa jenis buku yang berintikan sejumlah besar gagasan Marxisme atau yang dianggap mengganggu kemapanan kekuasaan pengetahuan dominan. Yang menggelikan adalah perlawanana atas pemikiran tersebut harus digerakkan secara naïf dengan membakar dan membumihanguskan pemikirannya (bukunya), bukan engan melawan melalui pelemparan gagasan-gagasan lain. Tindakan ini dapat dikatakan sebagai tindakan fisik untuk membungkan pikiran yang tidak mampu dilawan dengan pikiran. Fenomena tersebut menunjukkan minimnya pengetahuan masyarakat atas berbagai bentuk dan model pemikiran dan dapat juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam pemahaman masyarakat atas terminology “kiri”.

Apakah selama ini masyarakat Indonesia terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah…??? Bahwa hasil pemikiran yang “berbeda” dengan arus utama (mainstream) yang bertempang pada saat yang bersangkutan selalu sianggap sebagai model pemikiran “kiri”. Dan lebih parah, “kiri” selalu identik dengan komunisme, “kiri” selalu identik dengan kaum tak ber-Tuhan. Padahal, wacana pemikiran “kiri” adalah pemikiran dan gerakan social yang senantiasa melawan, mengkritik dan memang terkadang terkesan nakal yang bertujuan menghancurkan segala hal yang berbau “kemapanan” kekuasaan otoriter dan kapitalisme modern. Bisa saja kemapanan (termasuk kemapanan pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulative untuk sekedar mempertahankan kemapanan tersebut. Dalam “stigmatisasi” dan vandalism dunia pemikiran kita-kita menyebutkan pembongkaran atas situasi mapan dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit utama pergerakan kiri terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung di balik jubah dan topeng ideology-ideologi.

Jika ditinjau dari perspektif epistemology, pemikiran dan gerakan kiri sesungguhnya lebih diletakkan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diperlakukan sebagai satu-satunya kebenaran. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya dan bahkan kebenaran absolute.

Yang mengerikan adalah pada saat bersamaan kebenaran utama itu akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan.

Karena itulah perspektif “kiri” dalam konteks ini sekedar membongkar asumsi dasar epistemologis penyusunan sebuah pengetahuan. Apa jangan-jangan setiap kemapanan pengetahuan sesungguhnya hanya tersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran…??? Keberhasilan pembongkaran tidak saja akan meruntuhkan pilar-pilar yang menyusun sebuah pengetahuan, tetapi ia juga akan menjadi kekuatan efektif untuk mengubah keadaan-keadaan formal yang manipulative…!!!

Selengkapnya...

Selasa, 15 November 2011

Sekilas Mengenai Korps-HMI-wati


Betty Epsilon Idroos,
Ketua Kohati PB HMI periode 2006-2008



KOHATI adalah singkatan dari Korp HMI-wati, yang merupakan salah satu badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-wati dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan. KOHATI didirikan pada tanggal 2 Jumadil Akhir 1386 H, bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 pada Kongres HMI ke-8 di Solo. Secara detail mengenai kelembagaan ini dapat dilihat dalam folder PDK (Pedoman Dasar Kekohatian).

KOHATI sebagai salah satu badan khusus yang ada di HMI (pasal ‘57’ ART HMI) memiliki bidang kerja yang sangat khusus dan visioner, yakni keperempuanan. Bicara mengenai perempuan bukanlah hal yang terdengar asing di lingkungan kita, apalagi di kalangan aktivis dan juga sebagai mahasiswa. Pembicaraan mengenai perempuan itu tidak jauh dari seputar fisik perempuan, peran perempuan–publik dan domestik, tenaga kerja perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, dan segala isu lain yang menyangkut perempuan. Memang terdengar menjadi begitu spesialnya makhluk yang bernama perempuan ini, sehingga banyak didiskusikan di berbagai kalangan di berbagai tempat. Dan HMI, sebagai organisasi mahasiswa pertama di Indonesia juga harus berstrategi untuk mengembangkan misinya dalam bidang keperempuanan ini.

Sebagai organisasi kader, misi HMI dapat ‘dibantu’ dikembangkan dalam bidang keperempuanan. Namun perubahan yang mendasar dapat dilakukan dalam suatu wadah pengembangan organisasi, yang di HMI disebut dengan KOHATI. Eksistensi KOHATI menjadi satu hal yang sangat penting, karena ia menjadi “laboratorium hidup” dalam menghasilkan HMIWati yang berkualitas menghadapi masa depan. Kualitas yang dihasilkan adalah kualitas terbaik sebagai seorang putri terhadap orang tuanya, seorang ibu bagi anak-anaknya, seorang istri bagi suaminya kelak, serta menjadi seorang anggota masyarakat.

Adalah suatu hal naif bila dikatakan eksistensinya menjadi kehilangan makna. Di kelompok manapun, suatu kelembagaan berdasarkan segragasi seks niscaya diperlukan. KOHATI (Korp HMI Wati) sebagai sebuah lembaga keperempuanan yang ada di Himpunan Mahasiswa Islam tentulah juga memiliki peran penting dalam pergerakan perempuan di Indonesia. Sejak didirikannya pada tanggal 17 September 1966, peranannya dirasakan bukan hanya di lingkungan internal organisasi, namun pula masyarakat secara keseluruhan.

Sebagai lembaga perkaderan, KOHATI sesungguhnya memiliki tujuan yang mulia, yakni terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita. Berbagai dinamika perkembangan KOHATI dari periode ke periode menunjukkan karakter dan pencirian yang berbeda-beda. Misalnya saja dapat dilihat pada awal pembentukannya, terdapat tiga semangat yang melatarbelakangi lahirnya KOHATI ini, yakni eksistensi, aktualisasi serta akselerasi.

Eksistensi yang dimaksud adalah adanya suatu semangat dan kesadaran dari kaum hawa untuk dapat menjadi subjek dalam pembangunan bangsa. Sedangkan, aktualisasi bermaksud untuk menyatakan dalam tindakan nyata untuk mengadakan pembaharuan dan perbaikan dalam menghadapi tantangan zaman yang senantiasa berubah. Serta, akselerasi adalah semangat dalam melakukan percepatan peran sosiologis dan politis, yang ditunjukkan sebagai lembaga.

Tentulah sejak didirikan, KOHATI mengalami tantangan zaman yang luar biasa mempengaruhinya. Almarhum Anniswati secara luar biasa pula pernah menuliskan bahwa ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama dengan keberadaan lembaga ini. Hal tersebut antara lain peningkatan kualitas KOHATI secara periodik dan kontinue di tingkat pusat, regional dan cabang; kepemimpinan KOHATI yang handal, kompak dan terdiri atas berbagai disiplin ilmu, adanya pemanfaatan para alumniwati di setiap periode bagi perkembangan KOHATI; adanya pembinaan langsung dari HMI; serta berbagai program tukar informasi. Dikatakan luar biasa karena keseluruhan yang disebutkan oleh beliau masih dirasakan sampai sekarang.


RELEVANSI KOHATI MASA KONTEMPORER

Sebuah thesis yang pernah dituliskan oleh seorang aktivis pergerakan perempuan, Shalah Qazan, di antaranya secara lantang, ia menuliskan bahwa suatu gagasan tanpa pergerakan akanlah lenyap dan terlupakan. Pergerakan tanpa mesin penggerak seperti suatu organisasi juga akan mati. Tentu kita juga sering mendengar sebuah pepatah yang amat terkait dengan thesis tersebut; suatu kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh suatu keburukan yang terorganisir.

Demikian pula halnya dengan peranan KOHATI. Masyarakat di luar sana, baik secara lokal, nasional dan ataupun internasional banyak membahas berbagai isu tentang keperempuanan. Persoalan ini sudah menjadi persoalan setiap daerah, dan bahkan sampai menjadi isu internasional. HMI harus dapat merespons hal yang dimaksud.

Salah satu yang diperlukan dalam melakukan perubahan itu adalah perluasan networking. Hal tersebut memerlukan sisterhood yang kuat. Sebagai suatu lembaga semi otonom yang ada di HMI, atau sebagai lembaga sayap keperempuanan yang ada di HMI tentulah kita tidak ingin ketinggalan isu. Perlu ada suatu pembahasan khusus tentang isu tersebut yang tertuang dalam suatu kelembagaan yang terstruktur, dan KOHATI-lah lembaga yang dipunyai HMI. Karenanya, sekali lagi ditekankan, gagasan tanpa pergerakan akan mati. Kita adalah perempuan yang sarjana dan sarjana yang perempuan. We have to do something! Majulah Tabah HMI wati, Harapan Bangsa, Membina Masyarakat Islam Indonesia!

Selengkapnya...

Rabu, 09 November 2011

The Perpetratos of History

Assalamu alaikum Wr. Wb


Salam Perubahan..!!
            Tak terasa pergantian gelap dan terang, siang dan malam, menghantarkan kita di akhir agenda Basic Training (Bastra) HmI komisariat Stikes Nani Hasanuddin Makassar yang  berlangsung di Asrama Mahasiswa Muna yang dilaksanakan dari tanggal 28-30 oktober 2011 dan  selesai sesuai jadwal dan waktu yang direncanakan .Dengan mengusung tema  “Membentuk Kepribadian Muslim yang Berkualitas Akademis, Sadar akan Fungsi dan Perannya dan Berorganisasi serta Hak dan Kewajibannya sebagai Kader Umat dan Bangsa” , dengan tema tersebut seyogyanya lepasan Bastra ini dapat memberi kontribusi yang positif bagi perkembangan dunia kemahasiswaan umumnya dan kampus tempat mahasiswa bernaung khususnya.


            Seperti kalimat yang diungkapkan Jalaluddin Rumi, Tak ada kelahiran tanpa rasa sakit, mungkin tepat disematkatkan kepada teman-teman panitia dan pengurus harian dalam menyusun, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan ini.Selama perencanaan dan kegiatan berlangsung banyak kendala-kendala yang muncul, namun niat tulus dan ikhlas dari teman-teman panitia yang bekerja keras untuk menyukseskan Bastra ke II ini akhirnya bisa teratasi. 


            Berbagai hal yang  muncul selama pelaksanaan Bastra ke II ini yang tentunya melahirkan nilai-nilai historis bagi perkembangan HmI di kampus Oranye ini, diantaranya kesuksesan Bastra ke II ini telah  mengubah nama dan status HmI kom.Stikes Nani Hasanuddin dari komisariat persiapan menjadi komisariat penuh.Selain itu pada angkatan ke II ini sebanyak 27  mahasiswa/mahasiswi yang mendaftar dan yang dinyatakan lulus sebanyak 23 orang.Kurangnya peserta yang mendaftar dan yang telah lulus  bukan menjadi masalah bagi kami, intinya jumlah kuantitas tidak menyurutkan kualitas yang dimiliki dan bisa jadi menjadi PR bagi kami untuk terus mensosialisasikan Hijau Hitam di Kampus Oranye dan menumbuhkan minat mahasiswa untuk menjadi salah satu kader dari beribu-ribu kader Hijau Hitam yang ada di Indonesia.Akhir kata, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


·         Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makassar Timur yang diwakili Kakanda Usop
·         Master Of Training oleh Kakanda M.Husni
·         Vice Of Master oleh Kakanda Mulyadi
·         Ketua HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin oleh Kakanda Syarifudin
·         Kakanda-Kakanda Instruktur Utama dan Instruktur Madya
·         Ketua Panitia Bastra ke II oleh Adinda Lutfy Muammar
·         Pengurus Harian dan Panitia Bastra ke II HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin


Dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan berkontribusi serta sumbangsih positif dalam menyukseskan kegiatan Bastra ke II yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu,. dan apa yang kita berikan dan lakukan mendapatkan Ridha oleh Allah SWT.  Amin… !!!


Wabillahi Taufik Walhidayah
Yakin Usaha Sampai
Wassalamu Alaikum Wr.Wb
Gambar 01, Serah terima list peserta Basic Training angkatan ke II

Gambar 02 : Pemberian materi
Gambar 03 : Suasana saat peseta menerima materi
Gambar 04 : Bersama Pengurus Cabang HmI Mak-Tim


Selengkapnya...

Senin, 24 Oktober 2011

HMI dan Nurcholish Madjid



Dalam sebuah Diskusi dengan Seorang Budayawan ” D. Zawawi Imron (DZ) ” di Yabina Jember, ia pernah bertanya kepada peserta diskusi (seminar), “Sebenarnya HMI dengan Cak Nur itu lebih hebat yang mana?” kemudian Zawawi berpendapat “Menurut saya, Cak Nur jauh lebih besar, jauh lebih hebat dari HMI!”

Dulu, waktu Soekarno berkuasa, seolah-olah Indonesia identik dengan Soekarno, dan hal yang sama juga terjadi ketika Soeharto berkuasa. Pandangan di atas dibarengi sedikit pengertian salah kaprah, bahwa rejim Soekarno hanya akan berumur sepanjang usia Soekarno. Demikian pula dengan rejim Soeharto, yang kekuasaannya akan berumur sepanjang usia Soeharto.

Hal yang lebih salah kaprah lagi, negara (Indonesia) diidentikkan dengan pemerintah, padahal pemerintah hanyalah penyelenggara negara. Dus artinya, negara akan abadi, sedangkan pemerintahan bisa berganti-ganti.
Amien Rais dulu menyebut “fenomena kayak beginian” sebagai “syirik politik,” dan karena itu pandangan seperti itu harus diruntuhkan. Jika kita konsekuen dengan cara berpikir yang realistis seperti itu, maka akan SANGAT MENYESATKAN jika dikatakan HMI mati bersama wafatnya Cak Nur.

Memang cak Nur hebat, sanggup merumuskan NDP, dan meninggalkan warisan yang amat berharga dalam perjalanan sejarah HMI. Namun kebesaran figur Noercholish tak berarti harus berujung pada suatu cara pandang yang miopik, yang rada-rada rabun gitu, dalam memandang fenomena HMI. Mengidentikkan HMI dengan Cak Nur kurang tepat, meski tidak salah. Letak kurang tepatnya adalah… HMI memiliki tradisi sejarah yang panjang, sangat pluralis, dan dibesarkan dalam situasi-situasi yang crucial, diantaranya bahkan dalam suasana negara penuh konflik.

Toh, Noercholish tak selalu hadir dalam suasana seperti itu. Namun Cak Nur diuntungkan oleh sejarah karena dari sebagian “suasana crucial itu” Cak Nur hadir, dan mirip sebagai “seorang penempa baja sejarah hmi ketika baja itu tengah membara.” Ingat, Noercholish menjadi ketua umum PB HMI pada periode 1966-1971, sebuah periode yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia, sebuah periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang bahkan menurut istilah Cak Nur sendiri sebanding dengan sejarah civil war atau perang sipil dalam sejarah Amerika Serikat.

Hasil dari peristiwa besar itu, di Indonesia komunisme terhapus dari panggung politik Indonesia, dan umat Islam bersama ABRI menjadi tulang punggung orde baru dan memegang amanat menjalankan kekuasaan negara. Di Amerika Serikat, civil war menghapus sistem perbudakan, mengibarkan kemenangan demokrasi, dan mengubur feodalisme.

Selanjutnya, HMI begitu dalam bermitra dengan kekuasaan Orde Baru, sebagian juga karena strategi yang dirancang Cak Nur sendiri, yang menghendaki agar umat Islam tidak terbiasa dengan mentalitas “di luar pagar”…artinya, tidak terbiasa berada di luar birokrasi negara dan terus menerus mengembangkan gagasan tentang negara Islam, yang ujung-ujungnya membawa umat Islam kepada pemberontakan bersenjata.
Mungkin Cak Nur tidak terlalu jauh membayangkan bahwa strateginya itu di belakang hari terbukti menjadi beban, khususnya, bagi anak-anak HMI. Memang, cak Nur bersama rekan-rekannya sesama intelektual muslim dan aktivis HMI telah merancang berdirinya ICMI, suatu bentuk “organisasi proto partai politik” yang dibungkus sebagai gerakan sosial umat Islam, karena waktu itu tidak mungkin umat Islam mendirikan partai politik di luar PPP, Golkar, dan PDI.

Cak Nur mewariskan ide-ide besar, juga strategi-strategi yang bersifat gradual, dalam mengintegrasikan secara penuh umat Islam Indonesia ke dalam Republik Indonesia. Semua anak HMI mahfum tentang hal itu, kecuali yang diragukan ke-HMI-annya.
Maka menjadi jelas, bahwa struktur mental orang Indonesia yang paternalistik, akan mudah membentuk kesadaran anti demokratis dalam memaknai sepak terjang Cak Nur. Dalam bahasa sederhana, Cak Nur wafat, HMI tamat.

This is really a very misleading judgement!
Tengoklah sendiri, ketika Mas Anas Urbaningrum terpilih dalam Kongres HMI di Yogya, dan suasana kongres diwarnai ricuh-ricuh, dengan enteng Cak Nur bilang….HMI itu udah kayak besi tua, karatan…
Beberapa tahun sebelumnya, Cak Nur masih memuji bahwa suasana kongres yang diwarnai ribut-ribut sesungguhnya mencerminkan dinamika di internal HMI, sebuah dinamika yang memiliki arti positif jika disalurkan dengan benar.

Ini semua membuktikan bahwa membandingkan HMI dengan Cak Nur pada era 80-an ke atas–suatu era yang jauh berbeda dengan era Cak Nur–sangat tidak proporsional.

Cak Nur lebih besar dari HMI?
Ngapain kita musti masuk ke wilayah pertanyaan yang nggak produktif seperti itu. Noercholish toh besar karena HMI juga. Memisahkan HMI dari Noercholish, mengutip ungkapan almarhum Jenderal AH Nasution, sama saja dengan memisahkan air dengan ikan.

Jujur saja, kita nggak usah hipokrit-lah bahwa karena kebijakan yang digariskan terhadap HMI oleh generasi Noercholish dulu…justeru menjadi salah satu sebab utama mengapa HMI menjadi seperti sekarang!
Jika ada kesalahan, maka kesalahan terbesar justeru pada perkaderan HMI sendiri, yang membuat HMI menjadi gagap terhadap berkembangnya era demokratisasi di Indonesia, terlebih-lebih karena para kadernya terlalu terbiasa meniru abang-abangnya yang pingin berkuasa melalui birokrasi negara. Memang… untuk ini Noercholish bisa disebut bersalah sekaligus berjasa…tapi itulah harga sebuah pilihan politik!
Rasa marah, minder, gemes, dan mungkin muak di kalangan orang-orang yang pernah aktif di HMI terhadap sepak terjang HMI dewasa ini, terutama setelah mengamati Kongres HMI di Makassar, sangat masuk akal dan bisa dimengerti.

Memang, HMI perlu perubahan revolusioner!
Sayangnya, momentum terjadinya perubahan seperti itu tidak tersedia lagi. Demokrasi menghendaki kesabaran, keuletan, dan ketelatenan…terutama dalam membangun konsensus bagi lahirnya tradisi organisasi yang baik. Memasang kepercayaan tinggi bahwa HMI akan mampu melakukan hal itu memang sangat beresiko. Investasi ke arah itu memerlukan syarat mutlak, antara lain: Masa depan anak-anak HMI harus ditentukan oleh anak-anak HMI sendiri, bukan oleh alumninya, oleh kelompok-kelompok tertentu di luar HMI, apalagi oleh kekuasaan negara sebagaimana di waktu lalu. HMI harus memilih jalan yang tegas, yakni sebagai anak umat Islam sekaligus anak bangsa Indonesia. Ini semua membuka peluang luar biasa besarnya bagi “rekayasa masa depan HMI,” karena hampir seluruhnya mengandalkan kreatifitas yang bersifat lokal.
Meniru Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), sejak lama setelah berakhirnya kepemimpinan Datuk Anwar Ibrahim di ABIM yang sangat bersejarah, telah dimapankan model-model organisasi yang bersifat federatif, dan sepenuhnya menyatu ke dalam barisan umat Islam Malaysia, sekaligus menjadi penyuplai utama dalam sistem politik Malaysia yang didominasi para puak Melayu.

Di Indonesia, masalahnya sedikit rumit karena HMI harus menerima kenyataan bahwa umat Islam Indonesia tidaklah satu, terpecah-pecah ke dalam berbagai organisasi, dan masing-masing dalam hubungannya satu sama lain seringkali memiliki sejarah yang tak jarang diwarnai konflik.

Mungkin….suatu saat akan ada orang mengatakan… HMI nggak perlu ada, toh sudah ada IMM yang Muhammadiyah banget, atau PMII yang NU banget itu… atau ada lagi organisasi mahasiswa onderbouw Ormas Islam yang lain…

Pandangan seperti ini sama simplisistis-nya dengan pandangan Zawawi Imron!
HMI hari ini memang menghadapi krisis yang berat, dan begitu banyak kader HMI, atau alumni HMI yang kehilangan kepercayaan diri, diserang rasa minder yang hebat, dan mengutip cak Nur, mengidap semacam psikose yang symptom atau gejalanya berupa “adegan banting gelas” karena “minuman yang dijanjikan terasa manis dan segar ternyata pahit dan menyakitkan tenggorokan.”

Bagi sebagian besar keluarga HMI “sindroma banting gelas” ini masih akan berumur lama, karena sindroma ini baru akan bisa disembuhkan jika HMI mampu melakukan reformasi mendasar, baik dalam hal perkaderan, pedoman organisasi, attitude, keberpihakan, dan koreksi terus menerus terhadap perjalanan sejarahnya.

HMI adalah sebuah institusi…sama seperti TNI juga sebuah institusi.
Reformasi institusional dalam sejarah terbukti baru berjalan efektif jika terjadi pertemuan dua faktor utama, yaitu faktor obyektif dan faktor subyektif. Faktor obyektif adalah kondisi eksternal yang ada di luar HMI, dalam hal ini perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat, yang mempengaruhi pula terjadinya perubahan dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Sedangkan faktor subyektifnya adalah kesadaran yang muncul di kalangan para kader HMI, yang merasa terpanggil oleh tugas sejarah, untuk memprakarsai langkah-langkah reformasi di internal HMI sendiri.

Tentu saja… Kita bersukur masih ada orang seperti Zawawi Imron yang “maksain” membanding-bandingkan kebesaran HMI sebagai institusi dengan figur Noercholish Madjid sebagai pribadi.
Kita bersukur karena lontaran itu diungkapkan oleh orang yang kayaknya berada di luar HMI–dus artinya pemahamannya terhadap sejarah HMI bisa kita maklumi jika sangat terbatas–tetapi masih berada dalam lingkaran keluarga besar umat Islam Indonesia.

Penilaian semacam itu semestinya bisa memberi arti positif kepada para kader HMI, terutama dalam memperkuat komitmennya dengan memperbaiki secara terus-menerus proses-proses perkaderan yang ada di HMI, dan tidak menyerah atau pasrah kepada situasi.
Insyaallah…. dalam beberapa tahun ke depan, kader-kader semacam itu akan mampu memacu geliat HMI sebagai sebuah organisasi perkaderan, yang kehadirannya masih tetap aktual dan kontekstual dengan tuntutan situasi dewasa ini.

Akhirnya … perlu di tegaskan bahwa SAMA SEKALI TIDAK ADA DORONGAN DAN SUASANA APOLOGETIK dari posting yang panjang ini….
Kita semua prihatin melihat keberadaan HMI saat ini, tapi jangan sekali-kali kita kehilangan kepercayaan kepada masa depan. Justeru karena kita ber-Islam, ber-Iman, dan ber-Ikhsan… kita harus tetap realistis sekaligus optimis memandang masa depan.

Laa Takhof Wa Laa Takhzan….
Yakin Usaha Sampai..

http://pbhmi.org/hmi-dan-nurcholish-madjid/


Selengkapnya...

Basic Training/Latihan Kader (LK-1) Angk. 2


Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Salam Perjuangan...
Puncak revolusi mei 1998 adalah penggulingan Jenderal Besar (purn) Soeharto, didahului oleh pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa Indonesia. Namun, revolusi mei 1998 hanyalah awal dari tahap pertama (first strage) revolusi demokrasi yang dipelopori gerakan mahasiswa. Tahap pertama revolusi demokrasi ini merupakan tahap pembongkaran kesadaran massa dan mahasiswa terhadap struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif. Proses pembentukkan tahap pertama revolusi demokrasi ini berlangsung sepanjang sejarah rezim Orde baru (ditandai sejumlah "puncak" perlawanan gerakan mahasiswa 1974, 1987,1989, dan 1998).
Basic Training /Latihan Kader-1 (LK-1)
Dari titik tolak inilah organisasi mahasiswa Islam terbesar dan tertua di Indonesia yaitu HmI didirikan atas prakarsa Ayahanda Lafran Pane ikut andil dalam menentukan sejarah bangsa Indonesia, dengan cita-cita membentuk kepribadian indivdu yang berkarakter Islam dan bertanggung jawab atas tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Dengan melahirkan kader-kader yang siap turun ke gelanggang politik, ekonomi dan sosial yang siap tempur dan terbukti menghasilkan output yang bisa dibanggakan.
Dari paradigma ini kami dari HmI Komisariat Stikes Nani Hasanuddin Makassar cabang Makassar  timur  akan mengadakan Basic Training (Bastra) atau lebih dikenal dengan Latihan Kader-1 (LK-1) angkatan 2 dengan mengambil tema “Membentuk Kepribadian Muslim yang Berkualitas Akademis, Sadar akan Fungsi dan Perannya dan Berorganisasi serta Hak dan Kewajibannya sebagai Kader Umat dan Bangsa”. Dengan tema tersebut tentunya kami berharap lulusan LK-1  ini dapat menerapkan ilmu-ilmu yang didapatkan pada kegiatan ini dalam kehidupan akademis dan organisasi.
Lebih lanjut, adapun target yang ingin kita capai dalam kegiatan ini adalah :
·         Memiliki kesadaran menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, Dari target inilah HmI mencoba menawarkan sesuatu yang lebih istimewa kepada lulusan LK-1.Menilisik situasi dan kondisi mahasiswa zaman ini, HmI mencoba tampil kedepan dan bertekad memberikan dharma bhaktinya untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wata ‘ala.
·         Mampu meningkatkan kemampuan akademis, Sementara itu disisi lain banyaknya paradigma-paradigma dari berbagai kalangan yang menjustifikasi bahwa organisasi hanya menghambat akademis (aktivitas perkuliahan), dari pemikiran inilah kami akan meluruskannya,orientasi Hmi bukan hanya pada sektor religius, sosial, politik dan ekonomi, akan tetapi disetiap lini di setiap sisi kehidupan utamanya seseorang yang menyandang predikat sebagai mahasiswa tentang bagaimana cara meningkatkan prestasi akademisnya.
·          Memiliki kesadaran dan tanggung jawab keummatan, Kacau balaunya kondisi ummat sekarang adalah menjadi alasan HmI menjadikannya sebuah target yang bisa memberikan suatu nilai kontribusi lebih dan berperan aktif dalam  mengembalikan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dengan tetap berpegang teguh pada Qur’an dan Hadist.
·         Memiliki kesadaran organisasi, tak heran orang-orang yang duduk di lembaga birokrasi lahir dari organisasi yang besar dan membesarkan organisasi tersebut, dari implementasi tersebut kami ingin menanamkan nilai-nilai perjuangan HmI dan menjadi aktivis dan bukan sebagai mahasiswa yang hanya sekedar ngampus.
            Dengan dasar tersebut HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin Makassar sebagai organisasi mahasiswa Islam dan mencoba memberikan sumbangsi yang positif kepada masyarakat kampus dalam kehidupan berorganisasi, berbangsa, bernegara dan beragama serta mengharumkan nama kampus Stikes Nani Hasanuddin yang kita banggakan ini dengan ideologi keIslamannya.
Wabillahi Taufik Walhidayah...
Yakin Usaha Sampai
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Selengkapnya...

Sabtu, 15 Oktober 2011

Merubah Paradigma Gerakan HMI dalam Tantangan Global

Sepanjang lebih dari 64 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah melahirkan banyak alumnus yang tersebar di berbagai bidang kehidupan bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia.
Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan organisasi.
Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa, kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuai profesi masing-masing. Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.
Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran, serta kiprah baru yang relevan dan produktif.



Memegang dan Menegakan Khitah
Sebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa tetap penting.
Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang semakin terbagi-bagi oleh proses modernisasi.
.
HMI akan tetap hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah yang mempunyai kedalaman akademik-intelektual, kemahiran, ketrampilan teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.
Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok. Pertama, pengkajian dan pendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi masa depan.
Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang.

Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan mengakar. HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya kepemimpinan sipil dari kalangan Islam moderat -berpaham nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanya mampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis dan akar politik yang memadai.

Membongkar Paradigma Yang Kaku di  HMI

Banyak pula kalangan yang beralasan mengenai kemunduran/kemerosotan HMI dengan mengatakan bahwa HMI tidak merosot sendirian karena toh ormas mahasiswa lain juga mengalami kemerosotan. HMI masih survive akan tetapi tentunya perlu ditilik ulang survive yang seperti apa. Bagi penulis menghibur diri semacam itu bukan cara yang baik bahkan dapat menyesatkan. Tentunya, alangkah lebih baik tentunya jika kita dapat jujur dalam melihat cermin diri kita akan kondisi kekinian HMI.

Bukankah suatu kewajiban bagi HMI untuk mendahulukan prinsip the right man on the right place untuk membangun HMI lebih baik bukan the wrong man on the wrong place because  political  oriented  an  sich . Kini kita memasuki abad ke-21 yang penuh tantangan di mana peran dan fungsi tentunya yang harus dikedepankan untuk membawa HMI kembali menjadi organisasi bagi kader umat dan kader bangsa yang menjadi kebanggaan dan harapan masyarakat Indonesia. Buat apa berstatus pengurus Komisariat, pengurus Korkom, pengurus Cabang, pengurus Badko dan pengurus Besar tapi tidak dapat memberikan kemajuan bagi HMI.

Kemudian dari segi pendanaan organisasi, tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan HMI hanya mengandalkan PT Proposalindo bagi kegiatan yang dilakukan tanpa memikirkan transparansi penggunaan dana kepada donatur atau alumni yang telah memberikan dana bantuan tersebut.

Selain itu menurut penulis, kini banyak kader maupun alumni yang senang hanya beromantisme sejarah belaka bahkan ada yang melakukan kultus individu terhadap beberapa tokoh HMI. Menurut penulis, rasa kagum merupakan hal yang wajar asalkan kita senantiasa berupaya untuk memperbaiki diri tetapi jangan sampai menjadi kultus individu atau romantisme akut tanpa melihat kondisi kekinian.

Mencermati kondisi saat ini, maka mendesak untuk melahirkan cara pandang baru yang lebih proporsional terhadap sejarah masa lalu.Sehingga dibutuhkan kacamata yang lebih jernih untuk memandang. Sejarah bukan untuk dimitoskan. Prestasi masa lalu tak untuk disanjung- sanjung. Sejarah adalah pelita dan masa lalu adalah lilin penerang bagi masa datang.

Setidaknya semangat ( ghirah ) untuk terus menggelorakan nilai-nilai perjuangan HMI dalam berperan secara nyata bagi umat dan bangsa mutlak untuk senantiasa dipupuk dan diimplementasikan. Hal ini tentu bukan hanya sekadar berani tampil beda. Tapi, kesanggupan merumuskan gagasan-gagasan yang kreatif dan produktif bagi kebangkitan kembali HMI.

Penutup
Ibarat air sungai, nampaknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat ini sudah sangat jauh dari mata air. Bahkan boleh jadi sudah mendekati muara. Kejernihan air sungai semakin keruh tidak lagi terlihat warna aslinya sebab bercampur dengan ragam "limbah" di sepanjang aliran. Kalaupun nampak kejernihan itu, barangkali hanya bisa dilihat dari catatan sejarah "kebesaran HMI" dan penuturan alumni yang telah mewarnai panggung sejarah Indonesia.
HMI nampak kering dan miskin akan nilai-nilai intelektual dan akademis. Budaya organisasi yang mengarah pada tumbuhnya pemikiran baru tidak lagi nampak dan hanya tinggal kenangan. Kondisi HMI yang demikian tentu bukan terjadi tanpa dibarengi sebab, dan dari sadar akan sebab itulah kita bisa secepatnya mengembalikan HMI dalam jalur yang semestinya. Orientasi kader dalam memaknai HMI sebagai wadah perjuangan keumatan dan kebangsaan adalah problem yang sudah lama terkena polusi oleh orientasi politis.

Tidak salah memang orientasi ini tumbuh, sebagai salah satu soft skill politik yang semestinya dimiliki kader HMI. Disamping pendewasaan politik bagi setiap kader. Namun budaya yang memacu tumbuhnya nilai-nilai intelektual semestinya tidak boleh ditinggalkan, lebih ditonjolkan, dan mulai kembali dibangun. Sebab HMI menjadi besar dan berkembang tidak semata karena track record para kader dalam bidang politik semata. Justru melalui dimensi pemikiran dan pergerakan itulah HMI memiliki nilai lebih.

*Nurul Huda (Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Lebak, Banten)
Selengkapnya...