Tak
ada yang mengira kalau Abraham Samad dipilih Komisi III DPR jadi Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalahkan nama-nama tenar seperti Bambang
Widjojanto, Yunus Husein maupun ketua lama, Busyro Maqoddas.Bukan hanya
masyarakat yang terkejut, Pansel Pemilihan juga gusar. Bahkan salah seorang
anggota Pansel, Saldi Isra, sampai ngoceh di media, merasa tak pas dengan
pilihan DPR. Maklumlah, dua nama yang digadang-gadang paling pantas memimpin
KPK adalah Bambang Widjojanto –yang sepak-terjangnya sudah dikenal— atau Yunus
Husein yang dekat dengan istana. Abraham selama ini “hanya” berkutat dalam
persoalan hukum –termasuk pemberantasan korupsi—Makassar (dengan mendirikan
Anti Corruption Commitee [ACC]), dianggap tak memiliki “prestasi” dan rekam
jejak di atas orang-orang yang dikalahkannya.
Pendek kata, prestasi Abraham
hanya “kelas daerah”, dan tak punya pengalaman berkiprah di tingkat nasional.
Ada polarisasi pusat-daerah, tapi DPR tetap yakin pada pilihannya: anak muda
pantas memimpin KPK. Belakangan muncul
tudingan dari beberapa LSM yang mengatakan Abraham bisa dikendalikan, baik
pemerintah maupun DPR. Jelas, in tak punya dasar. Tapi di luar persoalan itu,
tugas Abraham dan KPK –juga para komisioner terpilih— memang sangat
berat. Tugas pertama yang dibebankan adalah menuntaskan kasus aliran dana
Century yang akhir-akhir ini hampir tak terdengar beritanya. Abraham diberi waktu 100 hari dan seperti janjinya dalam uji kelayakan di depan
Komisi III DPR, dia akan mundur jika tak bisa menyelesaikan kasus ini.
Sudah
terbukti, KPK saat dipimpin Antasari Azhar maupun Busryo, juga tak mampu
menyelesaikan kasus ini karena ada “kekuatan besar” yang tak bisa dilawan.Kasus lain yang tak kalah menarik adalah fenomena banyaknya Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah yang memutus bebas beberapa terdakwa korupsi
yang merupakan tangkapan KPK. Pengadilan Tipikor Surabaya, Bandung, dan
terakhir Pontianak telah “membebaskan” para koruptor dari dakwaan jaksa. Ini
tamparan keras bagi KPK, karena sebelum ini —dengan cara kerja yang sangat
teliti— hampir semua tangkapan KPK tak ada yang lolos dari jeratan hukum.Kemudian
muncul wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah, yang segera jadi
kontroversi. Masih banyak lagi persoalan besar yang harus diurus KPK di bawah
Abraham. Apa dengan pengalaman yang hanya berkutat di “daerah”, seorang Abraham
yang jelas secara pengalaman dan usia masih yunior dibanding para deputinya,
mampu tampil menembus tembok besar yang pasti akan menghadang, atau melawan
kekuasaan yang luar biasa kuat, atau mafia hukum yang berkeliaran yang bahkan
mungkin ada di kantornya. Integritas dan kejujuran saja tak cukup untuk tampil
di panggung hukum yang lebih besar ini, karena di sana juga perlu keberanian,
kecerdasan, ketegasan, tahan banting, siap menghadapi siapa saja, bahkan
lingkaran istana sekalipun.
Mampukah?
Ini yang kita tunggu. Jika dia gagal, cap sebagai “orang daerah” dan polarisasi
pusat-daerah tetap jadi garis api yang sulit ditembus. Tapi jika berhasil,
stigma bahwa orang daerah tak pantas dapat panggung lebih besar, bisa ditepis. Kita pernah punya pendekar hukum yang juga dari Makassar, Baharuddin Lopa, yang
tak pernah takut pada siapapun. Mampukah Abraham jadi “Lopa” baru? Kita tunggu.
Tan Malaka-lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka-menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau.Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang-Sumatera Barat-Tan Malaka dilahirkan.Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang memebawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pada tahun 1921 Tan Malaka
telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar
dari
sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda
komunis.
Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV)
mengenai
pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu
juga
merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi
anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem
tentang
kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi
komunis,
keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun
pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu
sehingga
mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka
mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak
anggota SI
untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi
banyak jalan
(kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia
kapitalis
(berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa
dan
lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti
kegemaran
(hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk
memperbaiki
nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang
rapat SI
Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat
hingga
sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah
hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu,
tapi juga
pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan
para
buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi
pemogokan,
disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan
kepada
rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh
kaum
buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka
pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk
mengeluarkan
suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami
kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk
berjuang
dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan
partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak
untuk
memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk
mengucapkan
vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya.
Tan
Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program
dan
taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti
yang telah
ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia.
Dengan
demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari
keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang
masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada
pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan
kemudian
memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan
1926 yang
direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi
perjuangan
nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926
hanya
merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di
Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda
dapat
mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan.
Ada yang
disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian
Jaya.
Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan
membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka
perjaungan
nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran
besar
serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar
negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di
ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927
Tan
Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua
tahun sebelumnya
Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan
kepada
para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya
buku itu
pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan
dan pakar
hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik
Indonesia”
memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington
merancangkan
Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal
Bonifacio
meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri
khas gagasan Tan Malaka adalah:
(1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2)
Bersifat
Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta
konsisten.
Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku,
brosur dan
ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya
besarnya
“MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara
berpikir
ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book
thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Madilog merupakan istilah baru
dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan
dengan
jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia
sebagai
bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah
lantainya
ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi
(mind),
kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap
alam,
benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok
dan
yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme,
Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum
dapat
diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan
ilmu
bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional
belum
dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan
bagaimana.
Semua karya Tan Malaka
danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat
Indonesia,
situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri
dengan
bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa
Indonesia
dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book
thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak
tahun
1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.
Jika kita membaca karya-karya
Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan,
politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran
(“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan
Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan
keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan
konsisten
yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan
implementasinya.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang
didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan
Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua
setengah
tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948
dengan pimpinan
Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari
penjara
akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi
situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian
Linggarjati
1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir
dan
Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai
MURBA,
7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan
Februari Tan
Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di
tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri,
Jawa
Timur.
Namun berdasarkan keputusan
Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963
menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan
Nasional.
Sebenarnya tidak ada yang
istimewa dari istilah “kiri” dan memang seharusnya istilah tersebut menjadi
sangat amat biasa dalam setiap perbincangan. Tapi bukan hanya sebatas
perbincangan saja, terminology tersebut menjadi sangat tidak biasa atau luar
biasa di saat istilah tersebut diendapkan pada dimensi pemikiran. Istilah kiri
mentimpan sejumlah gagasan besar yang menantang, melawan, merusak setiap
tradisi yang dianggap “mapan” dan istilah kiri juaga memainkan peran signifikan
atas munculnya ide-ide besar yang merubah keadaan.
Pada sudut pandang sejarah,
terminology “kiri” sering dialamatkan pada pemikiran dan gerakan social yang
berusaha melakuka dikte atau pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau
yang dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Terminology “kiri” juga
sering menjadi hantu ketika ia di labelkan pada setiap pemikiran dan gerakan
social yang mengusung symbol-simbol revolusi sebagaimana sosialisme, marxisme
dan komunisme. Bahakan dalam ruang kesadaran manusia sampai saat ini,
“stigmatisasi” terminology kiri sedah melembaga. Terlebih ketika terminology
kiri tersebut dikonveksikan pada keadaan dimana terdapat luka sejarah. Misalkan
Indonesia, keadaan masyarakat Indonesia pernah disesaki oleh ide-ide
membumihanguskan segala hal yang baunya “kiri”.
Masih segar dalam ingatan kita
tanggal 19 April 2001 lalu, di Negeri ini terjadi pembakaran dan aksi sweeping
atas buku-buku yang dianggap berbau kiri dn kekiri-kirian. Yang menjadi
masalah, aksi tersebut difokuskan pada eberapa jenis buku yang berintikan
sejumlah besar gagasan Marxisme atau yang dianggap mengganggu kemapanan
kekuasaan pengetahuan dominan. Yang menggelikan adalah perlawanana atas
pemikiran tersebut harus digerakkan secara naïf dengan membakar dan
membumihanguskan pemikirannya (bukunya), bukan engan melawan melalui pelemparan
gagasan-gagasan lain. Tindakan ini dapat dikatakan sebagai tindakan fisik untuk
membungkan pikiran yang tidak mampu dilawan dengan pikiran. Fenomena tersebut
menunjukkan minimnya pengetahuan masyarakat atas berbagai bentuk dan model
pemikiran dan dapat juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam
pemahaman masyarakat atas terminology “kiri”.
Apakah selama ini masyarakat
Indonesia terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah…??? Bahwa hasil
pemikiran yang “berbeda” dengan arus utama (mainstream) yang bertempang pada
saat yang bersangkutan selalu sianggap sebagai model pemikiran “kiri”. Dan
lebih parah, “kiri” selalu identik dengan komunisme, “kiri” selalu identik
dengan kaum tak ber-Tuhan. Padahal, wacana pemikiran “kiri” adalah pemikiran
dan gerakan social yang senantiasa melawan, mengkritik dan memang terkadang
terkesan nakal yang bertujuan menghancurkan segala hal yang berbau “kemapanan”
kekuasaan otoriter dan kapitalisme modern. Bisa saja kemapanan (termasuk kemapanan
pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulative untuk sekedar
mempertahankan kemapanan tersebut. Dalam “stigmatisasi” dan vandalism dunia
pemikiran kita-kita menyebutkan pembongkaran atas situasi mapan dari sebuah
kekuasaan inilah yang menjadi spirit utama pergerakan kiri terutama
pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung di balik jubah dan topeng
ideology-ideologi.
Jika ditinjau dari perspektif
epistemology, pemikiran dan gerakan kiri sesungguhnya lebih diletakkan pada
pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan,
yang kemudian diperlakukan sebagai satu-satunya kebenaran. Ketika sebuah
pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung diperlakukan
sebagai kebenaran satu-satunya dan bahkan kebenaran absolute.
Yang mengerikan adalah pada
saat bersamaan kebenaran utama itu akan meminggirkan realitas kebenaran yang
lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang
dimilikinya merupakan sebuah kesalahan.
Karena itulah perspektif
“kiri” dalam konteks ini sekedar membongkar asumsi dasar epistemologis
penyusunan sebuah pengetahuan. Apa jangan-jangan setiap kemapanan pengetahuan
sesungguhnya hanya tersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan
juga manipulasi atas kebenaran…??? Keberhasilan pembongkaran tidak saja akan
meruntuhkan pilar-pilar yang menyusun sebuah pengetahuan, tetapi ia juga akan
menjadi kekuatan efektif untuk mengubah keadaan-keadaan formal yang
manipulative…!!!
KOHATI adalah
singkatan dari Korp HMI-wati, yang merupakan salah satu badan khusus HMI yang
bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-wati dalam wacana
dan dinamika gerakan keperempuanan. KOHATI didirikan pada tanggal 2 Jumadil
Akhir 1386 H, bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 pada Kongres HMI ke-8
di Solo. Secara detail mengenai kelembagaan ini dapat dilihat dalam folder PDK
(Pedoman Dasar Kekohatian).
KOHATI sebagai
salah satu badan khusus yang ada di HMI (pasal ‘57’ ART HMI) memiliki bidang
kerja yang sangat khusus dan visioner, yakni keperempuanan. Bicara mengenai
perempuan bukanlah hal yang terdengar asing di lingkungan kita, apalagi di
kalangan aktivis dan juga sebagai mahasiswa. Pembicaraan mengenai perempuan itu
tidak jauh dari seputar fisik perempuan, peran perempuan–publik dan domestik,
tenaga kerja perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, dan segala isu lain yang
menyangkut perempuan. Memang terdengar menjadi begitu spesialnya makhluk yang
bernama perempuan ini, sehingga banyak didiskusikan di berbagai kalangan di
berbagai tempat. Dan HMI, sebagai organisasi mahasiswa pertama di Indonesia
juga harus berstrategi untuk mengembangkan misinya dalam bidang keperempuanan
ini.
Sebagai organisasi
kader, misi HMI dapat ‘dibantu’ dikembangkan dalam bidang keperempuanan. Namun
perubahan yang mendasar dapat dilakukan dalam suatu wadah pengembangan
organisasi, yang di HMI disebut dengan KOHATI. Eksistensi KOHATI menjadi satu
hal yang sangat penting, karena ia menjadi “laboratorium hidup” dalam
menghasilkan HMIWati yang berkualitas menghadapi masa depan. Kualitas yang
dihasilkan adalah kualitas terbaik sebagai seorang putri terhadap orang tuanya,
seorang ibu bagi anak-anaknya, seorang istri bagi suaminya kelak, serta menjadi
seorang anggota masyarakat.
Adalah suatu hal naif bila dikatakan eksistensinya menjadi kehilangan makna. Di
kelompok manapun, suatu kelembagaan berdasarkan segragasi seks niscaya
diperlukan. KOHATI (Korp HMI Wati) sebagai sebuah lembaga keperempuanan yang
ada di Himpunan Mahasiswa Islam tentulah juga memiliki peran penting dalam
pergerakan perempuan di Indonesia. Sejak didirikannya pada tanggal 17 September
1966, peranannya dirasakan bukan hanya di lingkungan internal organisasi, namun
pula masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai lembaga perkaderan, KOHATI sesungguhnya memiliki tujuan yang mulia,
yakni terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita. Berbagai dinamika
perkembangan KOHATI dari periode ke periode menunjukkan karakter dan pencirian
yang berbeda-beda. Misalnya saja dapat dilihat pada awal pembentukannya,
terdapat tiga semangat yang melatarbelakangi lahirnya KOHATI ini, yakni
eksistensi, aktualisasi serta akselerasi.
Eksistensi yang dimaksud adalah adanya suatu semangat dan kesadaran dari kaum
hawa untuk dapat menjadi subjek dalam pembangunan bangsa. Sedangkan,
aktualisasi bermaksud untuk menyatakan dalam tindakan nyata untuk mengadakan
pembaharuan dan perbaikan dalam menghadapi tantangan zaman yang senantiasa
berubah. Serta, akselerasi adalah semangat dalam melakukan percepatan peran
sosiologis dan politis, yang ditunjukkan sebagai lembaga.
Tentulah sejak didirikan, KOHATI mengalami tantangan zaman yang luar biasa
mempengaruhinya. Almarhum Anniswati secara luar biasa pula pernah menuliskan
bahwa ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama dengan
keberadaan lembaga ini. Hal tersebut antara lain peningkatan kualitas KOHATI
secara periodik dan kontinue di tingkat pusat, regional dan cabang;
kepemimpinan KOHATI yang handal, kompak dan terdiri atas berbagai disiplin
ilmu, adanya pemanfaatan para alumniwati di setiap periode bagi perkembangan
KOHATI; adanya pembinaan langsung dari HMI; serta berbagai program tukar
informasi. Dikatakan luar biasa karena keseluruhan yang disebutkan oleh beliau
masih dirasakan sampai sekarang.
RELEVANSI KOHATI MASA KONTEMPORER
Sebuah thesis yang pernah dituliskan oleh seorang aktivis pergerakan perempuan,
Shalah Qazan, di antaranya secara lantang, ia menuliskan bahwa suatu gagasan
tanpa pergerakan akanlah lenyap dan terlupakan. Pergerakan tanpa mesin
penggerak seperti suatu organisasi juga akan mati. Tentu kita juga sering
mendengar sebuah pepatah yang amat terkait dengan thesis tersebut; suatu
kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh suatu keburukan
yang terorganisir.
Demikian pula halnya dengan peranan KOHATI. Masyarakat di luar sana, baik
secara lokal, nasional dan ataupun internasional banyak membahas berbagai isu
tentang keperempuanan. Persoalan ini sudah menjadi persoalan setiap daerah, dan
bahkan sampai menjadi isu internasional. HMI harus dapat merespons hal yang
dimaksud.
Salah satu yang diperlukan dalam melakukan perubahan itu adalah perluasan
networking. Hal tersebut memerlukan sisterhood yang kuat. Sebagai suatu lembaga
semi otonom yang ada di HMI, atau sebagai lembaga sayap keperempuanan yang ada
di HMI tentulah kita tidak ingin ketinggalan isu. Perlu ada suatu pembahasan
khusus tentang isu tersebut yang tertuang dalam suatu kelembagaan yang
terstruktur, dan KOHATI-lah lembaga yang dipunyai HMI. Karenanya, sekali lagi
ditekankan, gagasan tanpa pergerakan akan mati. Kita adalah perempuan yang
sarjana dan sarjana yang perempuan. We have to do something! Majulah Tabah HMI
wati, Harapan Bangsa, Membina Masyarakat Islam Indonesia!
Tak terasa pergantian gelap dan
terang, siang dan malam, menghantarkan kita di akhir agenda Basic Training
(Bastra) HmI komisariat Stikes Nani Hasanuddin Makassar yang berlangsung di Asrama Mahasiswa Muna yang
dilaksanakan dari tanggal 28-30 oktober 2011 dan selesai sesuai jadwal dan waktu yang
direncanakan .Dengan mengusung tema
“Membentuk Kepribadian Muslim yang Berkualitas Akademis, Sadar akan
Fungsi dan Perannya dan Berorganisasi serta Hak dan Kewajibannya sebagai Kader
Umat dan Bangsa” , dengan tema tersebut seyogyanya lepasan Bastra ini dapat
memberi kontribusi yang positif bagi perkembangan dunia kemahasiswaan umumnya
dan kampus tempat mahasiswa bernaung khususnya.
Seperti kalimat yang diungkapkan
Jalaluddin Rumi, Tak ada kelahiran tanpa rasa sakit, mungkin tepat
disematkatkan kepada teman-teman panitia dan pengurus harian dalam menyusun,
merencanakan, dan melaksanakan kegiatan ini.Selama perencanaan dan kegiatan
berlangsung banyak kendala-kendala yang muncul, namun niat tulus dan ikhlas
dari teman-teman panitia yang bekerja keras untuk menyukseskan Bastra ke II ini
akhirnya bisa teratasi.
Berbagai hal yang muncul selama pelaksanaan Bastra ke II ini
yang tentunya melahirkan nilai-nilai historis bagi perkembangan HmI di kampus
Oranye ini, diantaranya kesuksesan Bastra ke II ini telah mengubah nama dan status HmI kom.Stikes Nani
Hasanuddin dari komisariat persiapan menjadi komisariat penuh.Selain itu pada
angkatan ke II ini sebanyak 27
mahasiswa/mahasiswi yang mendaftar dan yang dinyatakan lulus sebanyak 23
orang.Kurangnya peserta yang mendaftar dan yang telah lulus bukan menjadi masalah bagi kami, intinya
jumlah kuantitas tidak menyurutkan kualitas yang dimiliki dan bisa jadi menjadi
PR bagi kami untuk terus mensosialisasikan Hijau Hitam di Kampus Oranye dan
menumbuhkan minat mahasiswa untuk menjadi salah satu kader dari beribu-ribu
kader Hijau Hitam yang ada di Indonesia.Akhir kata, terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
·Himpunan Mahasiswa Islam Cabang
Makassar Timur yang diwakili Kakanda Usop
·Master Of Training oleh Kakanda
M.Husni
·Vice Of Master oleh Kakanda Mulyadi
·Ketua HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin
oleh Kakanda Syarifudin
·Kakanda-Kakanda Instruktur Utama dan
Instruktur Madya
·Ketua Panitia Bastra ke II oleh
Adinda Lutfy Muammar
·Pengurus Harian dan Panitia Bastra
ke II HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin
Dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan berkontribusi serta
sumbangsih positif dalam menyukseskan kegiatan Bastra ke II yang tidak bisa
kami sebutkan satu persatu,. dan apa yang kita berikan dan lakukan mendapatkan
Ridha oleh Allah SWT. Amin… !!!
Wabillahi Taufik Walhidayah
Yakin Usaha Sampai
Wassalamu Alaikum Wr.Wb
Gambar 01, Serah terima list peserta Basic Training angkatan ke II
Dalam sebuah Diskusi dengan Seorang Budayawan ” D. Zawawi Imron (DZ) ” di
Yabina Jember, ia pernah bertanya kepada peserta diskusi (seminar), “Sebenarnya
HMI dengan Cak Nur itu lebih hebat yang mana?” kemudian Zawawi berpendapat
“Menurut saya, Cak Nur jauh lebih besar, jauh lebih hebat dari HMI!”
Dulu, waktu Soekarno berkuasa, seolah-olah Indonesia identik dengan
Soekarno, dan hal yang sama juga terjadi ketika Soeharto berkuasa. Pandangan di
atas dibarengi sedikit pengertian salah kaprah, bahwa rejim Soekarno hanya akan
berumur sepanjang usia Soekarno. Demikian pula dengan rejim Soeharto, yang
kekuasaannya akan berumur sepanjang usia Soeharto.
Hal yang lebih salah kaprah lagi, negara (Indonesia) diidentikkan dengan pemerintah,
padahal pemerintah hanyalah penyelenggara negara. Dus artinya, negara akan
abadi, sedangkan pemerintahan bisa berganti-ganti.
Amien Rais dulu menyebut “fenomena kayak beginian” sebagai “syirik
politik,” dan karena itu pandangan seperti itu harus diruntuhkan. Jika kita
konsekuen dengan cara berpikir yang realistis seperti itu, maka akan SANGAT
MENYESATKAN jika dikatakan HMI mati bersama wafatnya Cak Nur.
Memang cak Nur hebat, sanggup merumuskan NDP, dan meninggalkan warisan yang
amat berharga dalam perjalanan sejarah HMI. Namun kebesaran figur Noercholish
tak berarti harus berujung pada suatu cara pandang yang miopik, yang rada-rada
rabun gitu, dalam memandang fenomena HMI. Mengidentikkan HMI dengan Cak Nur
kurang tepat, meski tidak salah. Letak kurang tepatnya adalah… HMI memiliki
tradisi sejarah yang panjang, sangat pluralis, dan dibesarkan dalam
situasi-situasi yang crucial, diantaranya bahkan dalam suasana negara penuh
konflik.
Toh, Noercholish tak selalu hadir dalam suasana seperti itu. Namun Cak Nur
diuntungkan oleh sejarah karena dari sebagian “suasana crucial itu” Cak
Nur hadir, dan mirip sebagai “seorang penempa baja sejarah hmi ketika baja itu
tengah membara.” Ingat, Noercholish menjadi ketua umum PB HMI pada periode
1966-1971, sebuah periode yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia,
sebuah periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang bahkan
menurut istilah Cak Nur sendiri sebanding dengan sejarah civil war atau
perang sipil dalam sejarah Amerika Serikat.
Hasil dari peristiwa besar itu, di Indonesia komunisme terhapus dari
panggung politik Indonesia, dan umat Islam bersama ABRI menjadi tulang punggung
orde baru dan memegang amanat menjalankan kekuasaan negara. Di Amerika Serikat,
civil war menghapus sistem perbudakan, mengibarkan kemenangan demokrasi,
dan mengubur feodalisme.
Selanjutnya, HMI begitu dalam bermitra dengan kekuasaan Orde Baru, sebagian
juga karena strategi yang dirancang Cak Nur sendiri, yang menghendaki agar umat
Islam tidak terbiasa dengan mentalitas “di luar pagar”…artinya, tidak terbiasa
berada di luar birokrasi negara dan terus menerus mengembangkan gagasan tentang
negara Islam, yang ujung-ujungnya membawa umat Islam kepada pemberontakan
bersenjata.
Mungkin Cak Nur tidak terlalu jauh membayangkan bahwa strateginya itu di
belakang hari terbukti menjadi beban, khususnya, bagi anak-anak HMI. Memang,
cak Nur bersama rekan-rekannya sesama intelektual muslim dan aktivis HMI telah
merancang berdirinya ICMI, suatu bentuk “organisasi proto partai politik” yang
dibungkus sebagai gerakan sosial umat Islam, karena waktu itu tidak mungkin
umat Islam mendirikan partai politik di luar PPP, Golkar, dan PDI.
Cak Nur mewariskan ide-ide besar, juga strategi-strategi yang bersifat
gradual, dalam mengintegrasikan secara penuh umat Islam Indonesia ke dalam
Republik Indonesia. Semua anak HMI mahfum tentang hal itu, kecuali yang
diragukan ke-HMI-annya.
Maka menjadi jelas, bahwa struktur mental orang Indonesia yang
paternalistik, akan mudah membentuk kesadaran anti demokratis dalam memaknai
sepak terjang Cak Nur. Dalam bahasa sederhana, Cak Nur wafat, HMI tamat.
This is really a very misleading judgement!
Tengoklah sendiri, ketika Mas Anas Urbaningrum terpilih dalam Kongres HMI di
Yogya, dan suasana kongres diwarnai ricuh-ricuh, dengan enteng Cak Nur
bilang….HMI itu udah kayak besi tua, karatan…
Beberapa tahun sebelumnya, Cak Nur masih memuji bahwa suasana kongres yang
diwarnai ribut-ribut sesungguhnya mencerminkan dinamika di internal HMI, sebuah
dinamika yang memiliki arti positif jika disalurkan dengan benar.
Ini semua membuktikan bahwa membandingkan HMI dengan Cak Nur pada era 80-an
ke atas–suatu era yang jauh berbeda dengan era Cak Nur–sangat tidak
proporsional.
Cak Nur lebih besar dari HMI?
Ngapain kita musti masuk ke wilayah pertanyaan yang nggak produktif seperti
itu. Noercholish toh besar karena HMI juga. Memisahkan HMI dari Noercholish,
mengutip ungkapan almarhum Jenderal AH Nasution, sama saja dengan memisahkan
air dengan ikan.
Jujur saja, kita nggak usah hipokrit-lah bahwa karena kebijakan yang
digariskan terhadap HMI oleh generasi Noercholish dulu…justeru menjadi salah
satu sebab utama mengapa HMI menjadi seperti sekarang!
Jika ada kesalahan, maka kesalahan terbesar justeru pada perkaderan HMI
sendiri, yang membuat HMI menjadi gagap terhadap berkembangnya era
demokratisasi di Indonesia, terlebih-lebih karena para kadernya terlalu
terbiasa meniru abang-abangnya yang pingin berkuasa melalui birokrasi negara.
Memang… untuk ini Noercholish bisa disebut bersalah sekaligus berjasa…tapi
itulah harga sebuah pilihan politik!
Rasa marah, minder, gemes, dan mungkin muak di kalangan orang-orang yang
pernah aktif di HMI terhadap sepak terjang HMI dewasa ini, terutama setelah
mengamati Kongres HMI di Makassar, sangat masuk akal dan bisa dimengerti.
Memang, HMI perlu perubahan revolusioner!
Sayangnya, momentum terjadinya perubahan seperti itu tidak tersedia lagi.
Demokrasi menghendaki kesabaran, keuletan, dan ketelatenan…terutama dalam
membangun konsensus bagi lahirnya tradisi organisasi yang baik. Memasang
kepercayaan tinggi bahwa HMI akan mampu melakukan hal itu memang sangat
beresiko. Investasi ke arah itu memerlukan syarat mutlak, antara lain: Masa
depan anak-anak HMI harus ditentukan oleh anak-anak HMI sendiri, bukan oleh
alumninya, oleh kelompok-kelompok tertentu di luar HMI, apalagi oleh kekuasaan
negara sebagaimana di waktu lalu. HMI harus memilih jalan yang tegas, yakni
sebagai anak umat Islam sekaligus anak bangsa Indonesia. Ini semua membuka peluang
luar biasa besarnya bagi “rekayasa masa depan HMI,” karena hampir
seluruhnya mengandalkan kreatifitas yang bersifat lokal.
Meniru Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), sejak lama
setelah berakhirnya kepemimpinan Datuk Anwar Ibrahim di ABIM yang sangat
bersejarah, telah dimapankan model-model organisasi yang bersifat federatif,
dan sepenuhnya menyatu ke dalam barisan umat Islam Malaysia, sekaligus menjadi
penyuplai utama dalam sistem politik Malaysia yang didominasi para puak Melayu.
Di Indonesia, masalahnya sedikit rumit karena HMI harus menerima kenyataan
bahwa umat Islam Indonesia tidaklah satu, terpecah-pecah ke dalam berbagai
organisasi, dan masing-masing dalam hubungannya satu sama lain seringkali
memiliki sejarah yang tak jarang diwarnai konflik.
Mungkin….suatu saat akan ada orang mengatakan… HMI nggak perlu ada, toh
sudah ada IMM yang Muhammadiyah banget, atau PMII yang NU banget itu… atau ada
lagi organisasi mahasiswa onderbouw Ormas Islam yang lain…
Pandangan seperti ini sama simplisistis-nya dengan pandangan Zawawi Imron!
HMI hari ini memang menghadapi krisis yang berat, dan begitu banyak kader
HMI, atau alumni HMI yang kehilangan kepercayaan diri, diserang rasa minder
yang hebat, dan mengutip cak Nur, mengidap semacam psikose yang symptom atau
gejalanya berupa “adegan banting gelas” karena “minuman yang dijanjikan
terasa manis dan segar ternyata pahit dan menyakitkan tenggorokan.”
Bagi sebagian besar keluarga HMI “sindroma banting gelas” ini masih akan
berumur lama, karena sindroma ini baru akan bisa disembuhkan jika HMI mampu
melakukan reformasi mendasar, baik dalam hal perkaderan, pedoman organisasi,
attitude, keberpihakan, dan koreksi terus menerus terhadap perjalanan
sejarahnya.
HMI adalah sebuah institusi…sama seperti TNI juga sebuah institusi.
Reformasi institusional dalam sejarah terbukti baru berjalan efektif jika
terjadi pertemuan dua faktor utama, yaitu faktor obyektif dan faktor subyektif.
Faktor obyektif adalah kondisi eksternal yang ada di luar HMI, dalam hal ini
perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat, yang mempengaruhi
pula terjadinya perubahan dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia.
Sedangkan faktor subyektifnya adalah kesadaran yang muncul di kalangan para
kader HMI, yang merasa terpanggil oleh tugas sejarah, untuk memprakarsai
langkah-langkah reformasi di internal HMI sendiri.
Tentu saja… Kita bersukur masih ada orang seperti Zawawi Imron yang
“maksain” membanding-bandingkan kebesaran HMI sebagai institusi dengan figur
Noercholish Madjid sebagai pribadi.
Kita bersukur karena lontaran itu diungkapkan oleh orang yang kayaknya
berada di luar HMI–dus artinya pemahamannya terhadap sejarah HMI bisa kita
maklumi jika sangat terbatas–tetapi masih berada dalam lingkaran keluarga besar
umat Islam Indonesia.
Penilaian semacam itu semestinya bisa memberi arti positif kepada para kader
HMI, terutama dalam memperkuat komitmennya dengan memperbaiki secara terus-menerus
proses-proses perkaderan yang ada di HMI, dan tidak menyerah atau pasrah kepada
situasi.
Insyaallah…. dalam beberapa tahun ke depan, kader-kader semacam itu akan
mampu memacu geliat HMI sebagai sebuah organisasi perkaderan, yang kehadirannya
masih tetap aktual dan kontekstual dengan tuntutan situasi dewasa ini.
Akhirnya … perlu di tegaskan bahwa SAMA SEKALI TIDAK ADA DORONGAN DAN
SUASANA APOLOGETIK dari posting yang panjang ini….
Kita semua prihatin melihat keberadaan HMI saat ini, tapi jangan sekali-kali
kita kehilangan kepercayaan kepada masa depan. Justeru karena kita ber-Islam,
ber-Iman, dan ber-Ikhsan… kita harus tetap realistis sekaligus optimis
memandang masa depan.
Puncak revolusi mei 1998 adalah penggulingan Jenderal Besar (purn)
Soeharto, didahului oleh pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa Indonesia.
Namun, revolusi mei 1998 hanyalah awal dari tahap pertama (first strage)
revolusi demokrasi yang dipelopori gerakan mahasiswa. Tahap pertama revolusi
demokrasi ini merupakan tahap pembongkaran kesadaran massa dan mahasiswa
terhadap struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau
eksploitatif. Proses pembentukkan tahap pertama revolusi demokrasi ini
berlangsung sepanjang sejarah rezim Orde baru (ditandai sejumlah
"puncak" perlawanan gerakan mahasiswa 1974, 1987,1989, dan 1998).
Basic Training /Latihan Kader-1 (LK-1)
Dari titik
tolak inilah organisasi mahasiswa Islam terbesar dan tertua di Indonesia yaitu
HmI didirikan atas prakarsa Ayahanda Lafran Pane ikut andil dalam menentukan
sejarah bangsa Indonesia, dengan cita-cita membentuk kepribadian indivdu yang
berkarakter Islam dan bertanggung jawab atas tercapainya masyarakat yang adil
dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Dengan melahirkan kader-kader yang siap
turun ke gelanggang politik, ekonomi dan sosial yang siap tempur dan terbukti
menghasilkan output yang bisa dibanggakan.
Dari paradigma
ini kami dari HmI Komisariat Stikes Nani Hasanuddin Makassar cabang
Makassar timur akan mengadakan Basic Training (Bastra) atau
lebih dikenal dengan Latihan Kader-1 (LK-1) angkatan 2 dengan mengambil tema
“Membentuk Kepribadian Muslim yang Berkualitas Akademis, Sadar akan Fungsi dan
Perannya dan Berorganisasi serta Hak dan Kewajibannya sebagai Kader Umat dan
Bangsa”. Dengan tema tersebut tentunya kami berharap lulusan LK-1 ini dapat menerapkan ilmu-ilmu yang
didapatkan pada kegiatan ini dalam kehidupan akademis dan organisasi.
Lebih lanjut,
adapun target yang ingin kita capai dalam kegiatan ini adalah :
·Memiliki kesadaran menjalankan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, Dari target inilah HmI mencoba
menawarkan sesuatu yang lebih istimewa kepada lulusan LK-1.Menilisik situasi
dan kondisi mahasiswa zaman ini, HmI mencoba tampil kedepan dan bertekad memberikan dharma bhaktinya untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman
demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wata
‘ala.
·Mampu meningkatkan kemampuan
akademis, Sementara itu disisi lain banyaknya paradigma-paradigma
dari berbagai kalangan yang menjustifikasi bahwa organisasi hanya menghambat
akademis (aktivitas perkuliahan), dari pemikiran inilah kami akan
meluruskannya,orientasi Hmi bukan hanya pada sektor religius, sosial, politik
dan ekonomi, akan tetapi disetiap lini di setiap sisi kehidupan utamanya seseorang
yang menyandang predikat sebagai mahasiswa tentang bagaimana cara meningkatkan
prestasi akademisnya.
· Memiliki kesadaran dan tanggung jawab
keummatan, Kacau balaunya kondisi ummat sekarang adalah menjadi
alasan HmI menjadikannya sebuah target yang bisa memberikan suatu nilai
kontribusi lebih dan berperan aktif dalam
mengembalikan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dengan tetap berpegang
teguh pada Qur’an dan Hadist.
·Memiliki kesadaran
organisasi, tak heran orang-orang yang duduk di lembaga birokrasi lahir dari
organisasi yang besar dan membesarkan organisasi tersebut, dari implementasi
tersebut kami ingin menanamkan nilai-nilai perjuangan HmI dan menjadi aktivis
dan bukan sebagai mahasiswa yang hanya sekedar ngampus.
Dengan
dasar tersebut HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin Makassar sebagai organisasi
mahasiswa Islam dan mencoba memberikan sumbangsi yang positif kepada masyarakat
kampus dalam kehidupan berorganisasi, berbangsa, bernegara dan beragama serta
mengharumkan nama kampus Stikes Nani Hasanuddin yang kita banggakan ini dengan
ideologi keIslamannya.
Sepanjang lebih dari 64 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran
dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah
melahirkan banyak alumnus yang tersebar di berbagai bidang kehidupan
bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia.
Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe
alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni
tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas
memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan
organisasi.
Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa
menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa,
kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah
orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuai profesi masing-masing.
Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.
Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI
menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan
berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran,
serta kiprah baru yang relevan dan produktif.
Memegang dan Menegakan Khitah
Sebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan
garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang
lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada
zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa
tetap penting.
Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas
sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang
semakin terbagi-bagi oleh proses modernisasi.
.
HMI akan tetap
hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara
sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang
dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah
yang mempunyai kedalaman akademik-intelektual, kemahiran, ketrampilan
teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua
dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.
Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan
pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok.
Pertama, pengkajian dan pendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader
sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan
spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam
pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi
masa depan.
Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan
dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian
sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme
agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta
karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang.
Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan
mengakar. HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya
kepemimpinan sipil dari kalangan Islam moderat -berpaham
nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat
ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di
kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanya
mampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir
berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis
dan akar politik yang memadai.
Membongkar Paradigma Yang Kaku di HMI
Banyak pula kalangan yang beralasan mengenai
kemunduran/kemerosotan HMI dengan mengatakan bahwa HMI tidak merosot
sendirian karena toh ormas mahasiswa lain juga mengalami kemerosotan.
HMI masih survive akan tetapi tentunya perlu ditilik ulang survive yang
seperti apa. Bagi penulis menghibur diri semacam itu bukan cara yang
baik bahkan dapat menyesatkan. Tentunya, alangkah lebih baik tentunya
jika kita dapat jujur dalam melihat cermin diri kita akan kondisi
kekinian HMI.
Bukankah suatu kewajiban bagi HMI untuk mendahulukan prinsip the
right man on the right place untuk membangun HMI lebih baik bukan the
wrong man on the wrong place because political oriented an sich .
Kini kita memasuki abad ke-21 yang penuh tantangan di mana peran dan
fungsi tentunya yang harus dikedepankan untuk membawa HMI kembali
menjadi organisasi bagi kader umat dan kader bangsa yang menjadi
kebanggaan dan harapan masyarakat Indonesia. Buat apa berstatus pengurus
Komisariat, pengurus Korkom, pengurus Cabang, pengurus Badko dan
pengurus Besar tapi tidak dapat memberikan kemajuan bagi HMI.
Kemudian dari segi pendanaan organisasi, tidak dapat disangkal
bahwa kebanyakan HMI hanya mengandalkan PT Proposalindo bagi kegiatan
yang dilakukan tanpa memikirkan transparansi penggunaan dana kepada
donatur atau alumni yang telah memberikan dana bantuan tersebut.
Selain itu menurut penulis, kini banyak kader maupun alumni yang
senang hanya beromantisme sejarah belaka bahkan ada yang melakukan
kultus individu terhadap beberapa tokoh HMI. Menurut penulis, rasa kagum
merupakan hal yang wajar asalkan kita senantiasa berupaya untuk
memperbaiki diri tetapi jangan sampai menjadi kultus individu atau
romantisme akut tanpa melihat kondisi kekinian.
Mencermati kondisi saat ini, maka mendesak untuk melahirkan cara
pandang baru yang lebih proporsional terhadap sejarah masa lalu.Sehingga
dibutuhkan kacamata yang lebih jernih untuk memandang. Sejarah bukan
untuk dimitoskan. Prestasi masa lalu tak untuk disanjung- sanjung.
Sejarah adalah pelita dan masa lalu adalah lilin penerang bagi masa
datang.
Setidaknya semangat ( ghirah ) untuk terus menggelorakan
nilai-nilai perjuangan HMI dalam berperan secara nyata bagi umat dan
bangsa mutlak untuk senantiasa dipupuk dan diimplementasikan. Hal ini
tentu bukan hanya sekadar berani tampil beda. Tapi, kesanggupan
merumuskan gagasan-gagasan yang kreatif dan produktif bagi kebangkitan
kembali HMI.
Penutup
Ibarat air sungai, nampaknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat ini
sudah sangat jauh dari mata air. Bahkan boleh jadi sudah mendekati
muara. Kejernihan air sungai semakin keruh tidak lagi terlihat warna
aslinya sebab bercampur dengan ragam "limbah" di sepanjang aliran.
Kalaupun nampak kejernihan itu, barangkali hanya bisa dilihat dari
catatan sejarah "kebesaran HMI" dan penuturan alumni yang telah mewarnai
panggung sejarah Indonesia.
HMI nampak kering dan miskin akan nilai-nilai intelektual dan
akademis. Budaya organisasi yang mengarah pada tumbuhnya pemikiran baru
tidak lagi nampak dan hanya tinggal kenangan. Kondisi HMI yang demikian
tentu bukan terjadi tanpa dibarengi sebab, dan dari sadar akan sebab
itulah kita bisa secepatnya mengembalikan HMI dalam jalur yang
semestinya. Orientasi kader dalam memaknai HMI sebagai wadah perjuangan
keumatan dan kebangsaan adalah problem yang sudah lama terkena polusi
oleh orientasi politis.
Tidak salah memang orientasi ini tumbuh,
sebagai salah satu soft skill politik yang semestinya dimiliki kader
HMI. Disamping pendewasaan politik bagi setiap kader. Namun budaya yang
memacu tumbuhnya nilai-nilai intelektual semestinya tidak boleh
ditinggalkan, lebih ditonjolkan, dan mulai kembali dibangun. Sebab HMI
menjadi besar dan berkembang tidak semata karena track record para kader
dalam bidang politik semata. Justru melalui dimensi pemikiran dan
pergerakan itulah HMI memiliki nilai lebih.
*Nurul Huda (Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Lebak, Banten)