• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Sabtu, 23 Juli 2011

Pamor dan Kepeloporan HMI

HIMPUNAN Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa ekstrauniversiter yang tertua di Indonesia dan mampu bertahan serta (pernah) memainkan perannya di atas panggung perjuangan umat dan bangsa, memang layak untuk dikenang. Peran dan kepeloporan yang pernah dimainkan HMI dan alumninya di masa lalu dapat dijadikan hikmah (makna yang dalam) yang tersimpan bagi bekal perjalanan di masa mendatang.


Kehadiran HMI sebagai organisasi mahasiswa yang didirikan almarhum Lafran Pane dan sahabat mahasiswanya di Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 5 Februari 1947, merupakan organisasi mahasiswa yang dimaksudkan untuk berkhidmat bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI menjadi organisasi perjuangan-secara fisik sampai dengan yang bersifat politis dan ideologis-dan karena itu keberadaannya pun di tengah masyarakat harus selalu diperjuangkan.


Dalam perjalanan sejarahnya hingga awal Orde Baru, HMI memiliki sikap idealisme kepeloporan dan pamor yang cukup menonjol bagi bangsa. Ini tidak saja terbukti dari peran yang dimainkan secara organisatoris, tetapi juga keterlibatan puluhan kader HMI yang memiliki prestasi membanggakan. Fenomena HMI dulu sering membuat seseorang atau organisasi lain merasa iri karena keberhasilannya.


Ketika itu HMI memang benar-benar mempersiapkan kadernya dengan kedalaman dan pengalaman ilmu agama, selain keunggulan dalam prestasi akademik. Kader HMI, terutama di kampus excellent seperti UI, ITB, dan UGM, benar-benar mempersiapkan kadernya sebagai ulama yang berwawasan intelektual dan sekaligus menjadikannya intelektual yang berwawasan agama.


Menilik pandangan keagamaan dan sikap politik yang menyertai organisasi HMI itu, ada semacam benang merah yang terkandung dalam tubuh HMI. Selain independensinya, yang menurut Dr Idham Chalid, seorang tokoh NU dan perpolitikan Islam di Indonesia, disebut sebagai letak kekukuhan HMI yang tahan uji, juga kemampuan intelektualnya yang dengan cerdas dan kritis dapat menempatkan dirinya secara tepat. Walaupun harus berkali-kali diguncang-guncang, baik secara internal maupun eksternal, tetap bisa.


Adalah Victor Tanja, yang menulis disertasinya tentang HMI (HMI, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharuan di Indonesia), mungkin menjadi salah seorang yang melakukan studi mendalam tentang perjalanan panjang sejarah HMI. Ia dapat mengungkap secara lebih obyektif ihwal pergaulan HMI di atas panggung "keumatan" dan "kebangsaan", baik dalam perannya sebagai organisasi mahasiswa maupun sebagai kader dan pejuang umat Islam Indonesia.


Tidak berlebihan, jika Victor, antara lain, berkesimpulan bahwa untuk dapat memahami fenomena HMI secara tepat, perlu menelusuri latar belakang masa-masa awal sejarah gerakan Muslim pembaru dan hubungan antaragama di Indonesia.


Demikian pula dalam menapaki sejarahnya, harus dilihat jalinannya yang begitu sempurna dengan sejarah Indonesia modern, khususnya modern Islam di Indonesia. Termasuk juga dengan penafsiran, gagasan keagamaan, dan sikap politiknya dalam konteks pengukuhan Pancasila sebagai ideologi negara maupun asas bermasyarakat dan bernegara. Dalam hal ini, HMI telah membuktikan dirinya sebagai sebuah organisasi mahasiswa Muslim yang mampu menjawab tuntutan kebudayaan rakyat Indonesia yang memiliki gagasan keagamaan yang pluralistik.


HMI kini


Banyak tudingan yang mengatakan HMI tidak lagi mampu mengembangkan peran yang luas dan terbuka seiring dengan perkembangan dinamika kampus, berbangsa, dan bernegara. Eksistensinya kini dipertanyakan kembali dan dinilai tidak lebih sebagai organisasi pinggiran yang bergerak dengan cara samar-samar. HMI seolah gagal menciptakan apentura-apentura untuk dapat lolos dari jebakan birokrasi dan kekuasaan-melalui kepemimpinan Orde Baru-hingga kini.


Realitas ini cukup menyedihkan, khususnya bagi mereka yang pernah berkiprah dan memiliki romantisme dengan organisasi ekstrauniversiter terbesar itu. Masa kejayaan HMI yang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, tampaknya akan sulit terulang kembali. Bukan saja karena kekuatan HMI yang semakin surut, melainkan juga karena ia tidak lagi menjadi organisasi prestisius yang berprestasi. HMI kini secara bertahap menjadi sesuatu yang asing, bahkan di kalangan mahasiswa Islam sekalipun.


Banyak mahasiswa yang sekarang ini menjadi aktivis masjid kampus atau kelompok studi agama enggan bergabung dengan HMI, meskipun mereka memiliki tujuan perjuangan yang sama. Walaupun HMI pernah menjadi besar dan banyak alumninya menjadi "orang besar" dalam pemerintahan, namun latar belakang historis dan segala contoh yang baik dan buruk dari para pendahulunya tampak kurang menjadi pendorong bagi anggota HMI sekarang untuk memacu prestasinya. Hal ini memunculkan penilaian yang agak minus bahwa kader HMI lebih pintar berdebat, sementara dalam karya nyata "nol besar".


Kalau dulu banyak gagasan intelektual yang muncul dari para kadernya mewarnai pemikiran pembaruan Islam di Indonesia, yang mencapai puncaknya pada era 1970-an ketika Nurcholish Madjid-sebagai salah satu contoh yang sangat menonjol ketika itu-melontarkan gagasan mengenai modernisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, yang kemudian terkenal dengan ide "Islam Yes, Partai Islam No". Maka, boleh dikatakan bahwa HMI kini hanya memunculkan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum PB HMI, yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).


Tantangan zaman yang menjadi kecenderungan perkembangan global sekarang ini menuntut HMI sebagai organisasi kemahasiswaan untuk dapat membaca dan memantau ke arah mana kecenderungan itu berkembang. Dengan demikian, dapat secara tepat merumuskan antisipasi terhadap kecenderungan global tersebut, baik perkembangan makrostruktur politik maupun melalui mikrostruktur programnya.


Barangkali yang juga menjadi penting adalah bagaimana mempersiapkan organisasi HMI untuk selalu berpikir analitis, prediktif, dan visioner agar dapat berkiprah sesuai dinamika kekinian dan tantangan masa mendatang.


Tantangan ke depan


Tampaknya HMI harus mampu mendiskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya. Tentu saja, SDM sebagai khazanah intelektual yang dimilikinya itu tidak akan dapat dikembangkan oleh HMI bila organisasi ini tercabut akarnya dari kampus sebagai basis kekuatan intelektualitasnya.


Dalam konteks ini, hemat kita, HMI sekarang harus berupaya keras merebut kembali tradisi intelektual yang pernah dimilikinya pada era 1960-an hingga awal 1970-an. Prinsip kembali ke kampus (back to campus) harus dipupuk melalui berbagai format aktivitas kemahasiswaan. Dalam hal ini orientasi kualitas harus dikedepankan daripada kuantitas.


Keberhasilan dalam perumusan kembali atau reorientasi tujuan jangka panjang organisasi HMI dapat terwujud jika HMI memiliki kemampuan dalam memahami, menguasai, dan mengarahkan potensi kekuatan yang selama ini pernah dimiliki HMI, yakni konsistensi-integralitas wawasan keislaman-kebangsaan, tradisi intelektual, dan independensinya.


Untuk mencapai tujuan besar yang dicita-citakan organisasi HMI, barangkali perlu dikaji kembali lebih jauh kemungkinan HMI dapat memosisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan nonformal, tempat menempa anggotanya menjadi insan akademis yang berkualitas di tengah umat dan bangsanya.


Dengan demikian, program kegiatan HMI tidak lagi masif, yang penuh dengan seremonial. Sebab, posisinya akan menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam. Dengan kata lain, HMI akan menjadi semacam pusat unggulan (center of excellence) dan bukan hanya merupakan centerpiece (perhiasan di tengah meja).


Dengan orientasi keislaman dan kekuatan intelektual, maka secara operatif akan lahir kader HMI yang dinamis, terbuka, dan demokratis, serta hanya tunduk pada kebenaran dari mana pun datangnya. Di sisi lain, semangat untuk mengimplementasikan fungsi kekhalifahan mengharuskan HMI bersifat inklusif dengan tetap mempertegas independensi organisasi.


Independensi HMI yang selama ini telah teruji keberadaannya dan semboyan juangnya sebagai "pemersatu umat dan bangsa" jangan sampai kendur. Artinya, meski harus menyatu dan menjadi salah satu faktor dalam membangun dinamika umat dan bangsa, jati diri dan wawasan keumatan serta kebangsaannya tidak larut dan terseret ke dalam "sektarianisme" baru.




Sumber : http://wwwani5bekti.blogspot.com/2009/05/hmi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar