• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Senin, 24 Oktober 2011

HMI dan Nurcholish Madjid



Dalam sebuah Diskusi dengan Seorang Budayawan ” D. Zawawi Imron (DZ) ” di Yabina Jember, ia pernah bertanya kepada peserta diskusi (seminar), “Sebenarnya HMI dengan Cak Nur itu lebih hebat yang mana?” kemudian Zawawi berpendapat “Menurut saya, Cak Nur jauh lebih besar, jauh lebih hebat dari HMI!”

Dulu, waktu Soekarno berkuasa, seolah-olah Indonesia identik dengan Soekarno, dan hal yang sama juga terjadi ketika Soeharto berkuasa. Pandangan di atas dibarengi sedikit pengertian salah kaprah, bahwa rejim Soekarno hanya akan berumur sepanjang usia Soekarno. Demikian pula dengan rejim Soeharto, yang kekuasaannya akan berumur sepanjang usia Soeharto.

Hal yang lebih salah kaprah lagi, negara (Indonesia) diidentikkan dengan pemerintah, padahal pemerintah hanyalah penyelenggara negara. Dus artinya, negara akan abadi, sedangkan pemerintahan bisa berganti-ganti.
Amien Rais dulu menyebut “fenomena kayak beginian” sebagai “syirik politik,” dan karena itu pandangan seperti itu harus diruntuhkan. Jika kita konsekuen dengan cara berpikir yang realistis seperti itu, maka akan SANGAT MENYESATKAN jika dikatakan HMI mati bersama wafatnya Cak Nur.

Memang cak Nur hebat, sanggup merumuskan NDP, dan meninggalkan warisan yang amat berharga dalam perjalanan sejarah HMI. Namun kebesaran figur Noercholish tak berarti harus berujung pada suatu cara pandang yang miopik, yang rada-rada rabun gitu, dalam memandang fenomena HMI. Mengidentikkan HMI dengan Cak Nur kurang tepat, meski tidak salah. Letak kurang tepatnya adalah… HMI memiliki tradisi sejarah yang panjang, sangat pluralis, dan dibesarkan dalam situasi-situasi yang crucial, diantaranya bahkan dalam suasana negara penuh konflik.

Toh, Noercholish tak selalu hadir dalam suasana seperti itu. Namun Cak Nur diuntungkan oleh sejarah karena dari sebagian “suasana crucial itu” Cak Nur hadir, dan mirip sebagai “seorang penempa baja sejarah hmi ketika baja itu tengah membara.” Ingat, Noercholish menjadi ketua umum PB HMI pada periode 1966-1971, sebuah periode yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia, sebuah periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang bahkan menurut istilah Cak Nur sendiri sebanding dengan sejarah civil war atau perang sipil dalam sejarah Amerika Serikat.

Hasil dari peristiwa besar itu, di Indonesia komunisme terhapus dari panggung politik Indonesia, dan umat Islam bersama ABRI menjadi tulang punggung orde baru dan memegang amanat menjalankan kekuasaan negara. Di Amerika Serikat, civil war menghapus sistem perbudakan, mengibarkan kemenangan demokrasi, dan mengubur feodalisme.

Selanjutnya, HMI begitu dalam bermitra dengan kekuasaan Orde Baru, sebagian juga karena strategi yang dirancang Cak Nur sendiri, yang menghendaki agar umat Islam tidak terbiasa dengan mentalitas “di luar pagar”…artinya, tidak terbiasa berada di luar birokrasi negara dan terus menerus mengembangkan gagasan tentang negara Islam, yang ujung-ujungnya membawa umat Islam kepada pemberontakan bersenjata.
Mungkin Cak Nur tidak terlalu jauh membayangkan bahwa strateginya itu di belakang hari terbukti menjadi beban, khususnya, bagi anak-anak HMI. Memang, cak Nur bersama rekan-rekannya sesama intelektual muslim dan aktivis HMI telah merancang berdirinya ICMI, suatu bentuk “organisasi proto partai politik” yang dibungkus sebagai gerakan sosial umat Islam, karena waktu itu tidak mungkin umat Islam mendirikan partai politik di luar PPP, Golkar, dan PDI.

Cak Nur mewariskan ide-ide besar, juga strategi-strategi yang bersifat gradual, dalam mengintegrasikan secara penuh umat Islam Indonesia ke dalam Republik Indonesia. Semua anak HMI mahfum tentang hal itu, kecuali yang diragukan ke-HMI-annya.
Maka menjadi jelas, bahwa struktur mental orang Indonesia yang paternalistik, akan mudah membentuk kesadaran anti demokratis dalam memaknai sepak terjang Cak Nur. Dalam bahasa sederhana, Cak Nur wafat, HMI tamat.

This is really a very misleading judgement!
Tengoklah sendiri, ketika Mas Anas Urbaningrum terpilih dalam Kongres HMI di Yogya, dan suasana kongres diwarnai ricuh-ricuh, dengan enteng Cak Nur bilang….HMI itu udah kayak besi tua, karatan…
Beberapa tahun sebelumnya, Cak Nur masih memuji bahwa suasana kongres yang diwarnai ribut-ribut sesungguhnya mencerminkan dinamika di internal HMI, sebuah dinamika yang memiliki arti positif jika disalurkan dengan benar.

Ini semua membuktikan bahwa membandingkan HMI dengan Cak Nur pada era 80-an ke atas–suatu era yang jauh berbeda dengan era Cak Nur–sangat tidak proporsional.

Cak Nur lebih besar dari HMI?
Ngapain kita musti masuk ke wilayah pertanyaan yang nggak produktif seperti itu. Noercholish toh besar karena HMI juga. Memisahkan HMI dari Noercholish, mengutip ungkapan almarhum Jenderal AH Nasution, sama saja dengan memisahkan air dengan ikan.

Jujur saja, kita nggak usah hipokrit-lah bahwa karena kebijakan yang digariskan terhadap HMI oleh generasi Noercholish dulu…justeru menjadi salah satu sebab utama mengapa HMI menjadi seperti sekarang!
Jika ada kesalahan, maka kesalahan terbesar justeru pada perkaderan HMI sendiri, yang membuat HMI menjadi gagap terhadap berkembangnya era demokratisasi di Indonesia, terlebih-lebih karena para kadernya terlalu terbiasa meniru abang-abangnya yang pingin berkuasa melalui birokrasi negara. Memang… untuk ini Noercholish bisa disebut bersalah sekaligus berjasa…tapi itulah harga sebuah pilihan politik!
Rasa marah, minder, gemes, dan mungkin muak di kalangan orang-orang yang pernah aktif di HMI terhadap sepak terjang HMI dewasa ini, terutama setelah mengamati Kongres HMI di Makassar, sangat masuk akal dan bisa dimengerti.

Memang, HMI perlu perubahan revolusioner!
Sayangnya, momentum terjadinya perubahan seperti itu tidak tersedia lagi. Demokrasi menghendaki kesabaran, keuletan, dan ketelatenan…terutama dalam membangun konsensus bagi lahirnya tradisi organisasi yang baik. Memasang kepercayaan tinggi bahwa HMI akan mampu melakukan hal itu memang sangat beresiko. Investasi ke arah itu memerlukan syarat mutlak, antara lain: Masa depan anak-anak HMI harus ditentukan oleh anak-anak HMI sendiri, bukan oleh alumninya, oleh kelompok-kelompok tertentu di luar HMI, apalagi oleh kekuasaan negara sebagaimana di waktu lalu. HMI harus memilih jalan yang tegas, yakni sebagai anak umat Islam sekaligus anak bangsa Indonesia. Ini semua membuka peluang luar biasa besarnya bagi “rekayasa masa depan HMI,” karena hampir seluruhnya mengandalkan kreatifitas yang bersifat lokal.
Meniru Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), sejak lama setelah berakhirnya kepemimpinan Datuk Anwar Ibrahim di ABIM yang sangat bersejarah, telah dimapankan model-model organisasi yang bersifat federatif, dan sepenuhnya menyatu ke dalam barisan umat Islam Malaysia, sekaligus menjadi penyuplai utama dalam sistem politik Malaysia yang didominasi para puak Melayu.

Di Indonesia, masalahnya sedikit rumit karena HMI harus menerima kenyataan bahwa umat Islam Indonesia tidaklah satu, terpecah-pecah ke dalam berbagai organisasi, dan masing-masing dalam hubungannya satu sama lain seringkali memiliki sejarah yang tak jarang diwarnai konflik.

Mungkin….suatu saat akan ada orang mengatakan… HMI nggak perlu ada, toh sudah ada IMM yang Muhammadiyah banget, atau PMII yang NU banget itu… atau ada lagi organisasi mahasiswa onderbouw Ormas Islam yang lain…

Pandangan seperti ini sama simplisistis-nya dengan pandangan Zawawi Imron!
HMI hari ini memang menghadapi krisis yang berat, dan begitu banyak kader HMI, atau alumni HMI yang kehilangan kepercayaan diri, diserang rasa minder yang hebat, dan mengutip cak Nur, mengidap semacam psikose yang symptom atau gejalanya berupa “adegan banting gelas” karena “minuman yang dijanjikan terasa manis dan segar ternyata pahit dan menyakitkan tenggorokan.”

Bagi sebagian besar keluarga HMI “sindroma banting gelas” ini masih akan berumur lama, karena sindroma ini baru akan bisa disembuhkan jika HMI mampu melakukan reformasi mendasar, baik dalam hal perkaderan, pedoman organisasi, attitude, keberpihakan, dan koreksi terus menerus terhadap perjalanan sejarahnya.

HMI adalah sebuah institusi…sama seperti TNI juga sebuah institusi.
Reformasi institusional dalam sejarah terbukti baru berjalan efektif jika terjadi pertemuan dua faktor utama, yaitu faktor obyektif dan faktor subyektif. Faktor obyektif adalah kondisi eksternal yang ada di luar HMI, dalam hal ini perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat, yang mempengaruhi pula terjadinya perubahan dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Sedangkan faktor subyektifnya adalah kesadaran yang muncul di kalangan para kader HMI, yang merasa terpanggil oleh tugas sejarah, untuk memprakarsai langkah-langkah reformasi di internal HMI sendiri.

Tentu saja… Kita bersukur masih ada orang seperti Zawawi Imron yang “maksain” membanding-bandingkan kebesaran HMI sebagai institusi dengan figur Noercholish Madjid sebagai pribadi.
Kita bersukur karena lontaran itu diungkapkan oleh orang yang kayaknya berada di luar HMI–dus artinya pemahamannya terhadap sejarah HMI bisa kita maklumi jika sangat terbatas–tetapi masih berada dalam lingkaran keluarga besar umat Islam Indonesia.

Penilaian semacam itu semestinya bisa memberi arti positif kepada para kader HMI, terutama dalam memperkuat komitmennya dengan memperbaiki secara terus-menerus proses-proses perkaderan yang ada di HMI, dan tidak menyerah atau pasrah kepada situasi.
Insyaallah…. dalam beberapa tahun ke depan, kader-kader semacam itu akan mampu memacu geliat HMI sebagai sebuah organisasi perkaderan, yang kehadirannya masih tetap aktual dan kontekstual dengan tuntutan situasi dewasa ini.

Akhirnya … perlu di tegaskan bahwa SAMA SEKALI TIDAK ADA DORONGAN DAN SUASANA APOLOGETIK dari posting yang panjang ini….
Kita semua prihatin melihat keberadaan HMI saat ini, tapi jangan sekali-kali kita kehilangan kepercayaan kepada masa depan. Justeru karena kita ber-Islam, ber-Iman, dan ber-Ikhsan… kita harus tetap realistis sekaligus optimis memandang masa depan.

Laa Takhof Wa Laa Takhzan….
Yakin Usaha Sampai..

http://pbhmi.org/hmi-dan-nurcholish-madjid/


Selengkapnya...

Basic Training/Latihan Kader (LK-1) Angk. 2


Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Salam Perjuangan...
Puncak revolusi mei 1998 adalah penggulingan Jenderal Besar (purn) Soeharto, didahului oleh pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa Indonesia. Namun, revolusi mei 1998 hanyalah awal dari tahap pertama (first strage) revolusi demokrasi yang dipelopori gerakan mahasiswa. Tahap pertama revolusi demokrasi ini merupakan tahap pembongkaran kesadaran massa dan mahasiswa terhadap struktur ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menindas atau eksploitatif. Proses pembentukkan tahap pertama revolusi demokrasi ini berlangsung sepanjang sejarah rezim Orde baru (ditandai sejumlah "puncak" perlawanan gerakan mahasiswa 1974, 1987,1989, dan 1998).
Basic Training /Latihan Kader-1 (LK-1)
Dari titik tolak inilah organisasi mahasiswa Islam terbesar dan tertua di Indonesia yaitu HmI didirikan atas prakarsa Ayahanda Lafran Pane ikut andil dalam menentukan sejarah bangsa Indonesia, dengan cita-cita membentuk kepribadian indivdu yang berkarakter Islam dan bertanggung jawab atas tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Dengan melahirkan kader-kader yang siap turun ke gelanggang politik, ekonomi dan sosial yang siap tempur dan terbukti menghasilkan output yang bisa dibanggakan.
Dari paradigma ini kami dari HmI Komisariat Stikes Nani Hasanuddin Makassar cabang Makassar  timur  akan mengadakan Basic Training (Bastra) atau lebih dikenal dengan Latihan Kader-1 (LK-1) angkatan 2 dengan mengambil tema “Membentuk Kepribadian Muslim yang Berkualitas Akademis, Sadar akan Fungsi dan Perannya dan Berorganisasi serta Hak dan Kewajibannya sebagai Kader Umat dan Bangsa”. Dengan tema tersebut tentunya kami berharap lulusan LK-1  ini dapat menerapkan ilmu-ilmu yang didapatkan pada kegiatan ini dalam kehidupan akademis dan organisasi.
Lebih lanjut, adapun target yang ingin kita capai dalam kegiatan ini adalah :
·         Memiliki kesadaran menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, Dari target inilah HmI mencoba menawarkan sesuatu yang lebih istimewa kepada lulusan LK-1.Menilisik situasi dan kondisi mahasiswa zaman ini, HmI mencoba tampil kedepan dan bertekad memberikan dharma bhaktinya untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wata ‘ala.
·         Mampu meningkatkan kemampuan akademis, Sementara itu disisi lain banyaknya paradigma-paradigma dari berbagai kalangan yang menjustifikasi bahwa organisasi hanya menghambat akademis (aktivitas perkuliahan), dari pemikiran inilah kami akan meluruskannya,orientasi Hmi bukan hanya pada sektor religius, sosial, politik dan ekonomi, akan tetapi disetiap lini di setiap sisi kehidupan utamanya seseorang yang menyandang predikat sebagai mahasiswa tentang bagaimana cara meningkatkan prestasi akademisnya.
·          Memiliki kesadaran dan tanggung jawab keummatan, Kacau balaunya kondisi ummat sekarang adalah menjadi alasan HmI menjadikannya sebuah target yang bisa memberikan suatu nilai kontribusi lebih dan berperan aktif dalam  mengembalikan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya dengan tetap berpegang teguh pada Qur’an dan Hadist.
·         Memiliki kesadaran organisasi, tak heran orang-orang yang duduk di lembaga birokrasi lahir dari organisasi yang besar dan membesarkan organisasi tersebut, dari implementasi tersebut kami ingin menanamkan nilai-nilai perjuangan HmI dan menjadi aktivis dan bukan sebagai mahasiswa yang hanya sekedar ngampus.
            Dengan dasar tersebut HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin Makassar sebagai organisasi mahasiswa Islam dan mencoba memberikan sumbangsi yang positif kepada masyarakat kampus dalam kehidupan berorganisasi, berbangsa, bernegara dan beragama serta mengharumkan nama kampus Stikes Nani Hasanuddin yang kita banggakan ini dengan ideologi keIslamannya.
Wabillahi Taufik Walhidayah...
Yakin Usaha Sampai
Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Selengkapnya...

Sabtu, 15 Oktober 2011

Merubah Paradigma Gerakan HMI dalam Tantangan Global

Sepanjang lebih dari 64 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah melahirkan banyak alumnus yang tersebar di berbagai bidang kehidupan bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia.
Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan organisasi.
Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa, kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuai profesi masing-masing. Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.
Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran, serta kiprah baru yang relevan dan produktif.



Memegang dan Menegakan Khitah
Sebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa tetap penting.
Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang semakin terbagi-bagi oleh proses modernisasi.
.
HMI akan tetap hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah yang mempunyai kedalaman akademik-intelektual, kemahiran, ketrampilan teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.
Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok. Pertama, pengkajian dan pendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi masa depan.
Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang.

Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan mengakar. HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya kepemimpinan sipil dari kalangan Islam moderat -berpaham nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanya mampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis dan akar politik yang memadai.

Membongkar Paradigma Yang Kaku di  HMI

Banyak pula kalangan yang beralasan mengenai kemunduran/kemerosotan HMI dengan mengatakan bahwa HMI tidak merosot sendirian karena toh ormas mahasiswa lain juga mengalami kemerosotan. HMI masih survive akan tetapi tentunya perlu ditilik ulang survive yang seperti apa. Bagi penulis menghibur diri semacam itu bukan cara yang baik bahkan dapat menyesatkan. Tentunya, alangkah lebih baik tentunya jika kita dapat jujur dalam melihat cermin diri kita akan kondisi kekinian HMI.

Bukankah suatu kewajiban bagi HMI untuk mendahulukan prinsip the right man on the right place untuk membangun HMI lebih baik bukan the wrong man on the wrong place because  political  oriented  an  sich . Kini kita memasuki abad ke-21 yang penuh tantangan di mana peran dan fungsi tentunya yang harus dikedepankan untuk membawa HMI kembali menjadi organisasi bagi kader umat dan kader bangsa yang menjadi kebanggaan dan harapan masyarakat Indonesia. Buat apa berstatus pengurus Komisariat, pengurus Korkom, pengurus Cabang, pengurus Badko dan pengurus Besar tapi tidak dapat memberikan kemajuan bagi HMI.

Kemudian dari segi pendanaan organisasi, tidak dapat disangkal bahwa kebanyakan HMI hanya mengandalkan PT Proposalindo bagi kegiatan yang dilakukan tanpa memikirkan transparansi penggunaan dana kepada donatur atau alumni yang telah memberikan dana bantuan tersebut.

Selain itu menurut penulis, kini banyak kader maupun alumni yang senang hanya beromantisme sejarah belaka bahkan ada yang melakukan kultus individu terhadap beberapa tokoh HMI. Menurut penulis, rasa kagum merupakan hal yang wajar asalkan kita senantiasa berupaya untuk memperbaiki diri tetapi jangan sampai menjadi kultus individu atau romantisme akut tanpa melihat kondisi kekinian.

Mencermati kondisi saat ini, maka mendesak untuk melahirkan cara pandang baru yang lebih proporsional terhadap sejarah masa lalu.Sehingga dibutuhkan kacamata yang lebih jernih untuk memandang. Sejarah bukan untuk dimitoskan. Prestasi masa lalu tak untuk disanjung- sanjung. Sejarah adalah pelita dan masa lalu adalah lilin penerang bagi masa datang.

Setidaknya semangat ( ghirah ) untuk terus menggelorakan nilai-nilai perjuangan HMI dalam berperan secara nyata bagi umat dan bangsa mutlak untuk senantiasa dipupuk dan diimplementasikan. Hal ini tentu bukan hanya sekadar berani tampil beda. Tapi, kesanggupan merumuskan gagasan-gagasan yang kreatif dan produktif bagi kebangkitan kembali HMI.

Penutup
Ibarat air sungai, nampaknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat ini sudah sangat jauh dari mata air. Bahkan boleh jadi sudah mendekati muara. Kejernihan air sungai semakin keruh tidak lagi terlihat warna aslinya sebab bercampur dengan ragam "limbah" di sepanjang aliran. Kalaupun nampak kejernihan itu, barangkali hanya bisa dilihat dari catatan sejarah "kebesaran HMI" dan penuturan alumni yang telah mewarnai panggung sejarah Indonesia.
HMI nampak kering dan miskin akan nilai-nilai intelektual dan akademis. Budaya organisasi yang mengarah pada tumbuhnya pemikiran baru tidak lagi nampak dan hanya tinggal kenangan. Kondisi HMI yang demikian tentu bukan terjadi tanpa dibarengi sebab, dan dari sadar akan sebab itulah kita bisa secepatnya mengembalikan HMI dalam jalur yang semestinya. Orientasi kader dalam memaknai HMI sebagai wadah perjuangan keumatan dan kebangsaan adalah problem yang sudah lama terkena polusi oleh orientasi politis.

Tidak salah memang orientasi ini tumbuh, sebagai salah satu soft skill politik yang semestinya dimiliki kader HMI. Disamping pendewasaan politik bagi setiap kader. Namun budaya yang memacu tumbuhnya nilai-nilai intelektual semestinya tidak boleh ditinggalkan, lebih ditonjolkan, dan mulai kembali dibangun. Sebab HMI menjadi besar dan berkembang tidak semata karena track record para kader dalam bidang politik semata. Justru melalui dimensi pemikiran dan pergerakan itulah HMI memiliki nilai lebih.

*Nurul Huda (Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Lebak, Banten)
Selengkapnya...

Jumat, 07 Oktober 2011

HMI ; Organisasi Besar yang Lamban dan Tersandera oleh Zaman


Sebagai organisasi Mahasiswa Islam terbesar HMI di usia yang ke-64 tahun telah mengukuhkan posisinya pada kondisi yang mapan, namun demikian mapannya usia HMI tentu akan melahirkan dua hal yang akan memberi warna dan saling bertolak belakang, disatu sisi HMI akan semakin kokoh secara institusional dan dinamis, namun disisi lain karena didasari nama besar dan proses perjalanan sejarahnya HMI hari ini cenderung menjadi lamban dan bergerak ditempat. Selain itu sikap establish yang lahir dari kebanggaan sejarah lampau kiprah HMI mengakibatkan HMI hari ini cenderung tampil dalam kesadaran palsu.

 Sejak HMI didirikan di Jokyakarta oleh lafran pane 5 Februari 1947 HMI telah mengambil sikap yang tegas dan mentahbiskan dirinya sebagai kelompok yang mendorong dua hal, tanpa bermaksud menyederhanakan makna dua hal itu antara lain komitmen untuk mendorong kepentingan keumatan dan komitmen kebangsaan. Dua komitmen ini yang kemudian membuka ruang yang dinamis bagi kiprah HMI, apalagi HMI sangat menjujung pluralisme, HMI tidak mempersoalkan aliran dalam Islam, HMI tidak terjebak pada tarik ulur pengelompokan ummat Islam yang cenderung mempertentangkan Majhab dan aliran. Akibatnya HMI menjadi dinamis dan lahan subur bagi tumbuhnya gagasan-gasan Islam yang mewakili kemoderenan zaman. Singkatnya dalam perjalanan usianya HMI telah memberi banyak kontribusi bagi dinamika keumatan dan kebangsaan.

Namun kemudian layaknya sebuah organisasi kader yang mengkayuh dari zaman ke zaman, HMI tidak lepas dari pasang surut. Bahkan akibat beban sejarah yang banyak mendorong kiprah HMI pada ranah politik, dampaknya hari ini HMI dan kader-kadernya sangat politikal oriented. Sikap kader HMI yang sangat politik oriented ini melahirkan tampilan organisasi yang pincang dan kian hari menjadi dijauhi oleh basis di Kampus-kampus. Apalagi saat ini organisasi Islam yang tumbuh dan berkembang bukan hanya HMI. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan tampilan organisasi yang tidak pernah berubah padahal zaman mau tidak mau memaksa setiap individu maupun organisasi untuk berubah. Ringkasnya kian lama HMI semakin kehilangan relevansinya, HMI sudah tidak kompetibel dengan zaman.

Kerasnya arus globalisasi yang melahirkan berbagai trend dan tuntutan zaman menjadikan HMI kian tertinggal dengan cara-cara berpikir lama dan hanya berpikir politik structural. Pada hal faktanya dalam dunia yang kian menjadi kapitalis poilitik harus dibarengi kesiapan financial yang cukup, sementara kader HMI tidak siap secara financial. Ribuan kader HMI terlanjur melirik politik pada satu sisi dan meninggalkan sisi professional.

Imbasnya secara menyeluruh HMI menjadi semacam sekedar gerbong penghasil para politisi yang tidak kreatif dan hanya berpasrah dan berharap menjadi politisi tanpa memikirkan bahwa politisi hari ini adalah politisi yang harus kuat secara financial. Pada hal sesungguhnya jika kita melihat makna filosofis pengkaderan di HMI, HMI adalah organisasi yang idealnya mengarahkan kadernya untuk berkiprah pada berbagai bidang dan profesi. Trend hari ini adalah ternd wirausaha yang mau tidak mau kalau HMI tidak berupaya melirik ini, HMI akan tertinggal. Sebab kalau pun harus jadi politisi kader HMI tidak bisa hanya mengandalkan modal sekadar menjadi organisatoris yang baik.

Kondisi ini sesungguhnya telah meresahkan banyak kalangan di HMI, bahkan akibat terjadi pergeseran paradigma ini cak Nur sempat melontarkan kekesalannya, bahwa ? Bubarkan saja HMI?. Menurut Azumardy Azra jika HMI tidak berani untuk menguliti dirinya dan melakukan Reaasesment total terhadap keberadaan dirinya, maka HMI akan sulit untuk bertahan.

HMI secara institusi bukannya tidak menyadari ini, namun kuatnya mind set politik yang telah menjadi semacam trend budaya dalam organisasi mengakibatkan tampilan HMI hari ini menjadi semacammacan ompong yang Cuma bisa mengaum tapi tidak berdaya untuk menggigit.
Prinsipnya HMI harus berubah, cara pandang politik di HMI harus digeser pada ranah politik intelektual, HMI tidak boleh masuk pada ranah politik praktis sebab HMI adalah organisasi kader bukan organisasi politik. Sudah saatnya orientasi kader-kader HMI diarahkan pada berbagai segi. HMI harus mampu beradabtasi dan menjadi kreatif ditengah perubahan yang kian cepat .

Dari semua gambaran di atas sesungguhnya jika HMI ingin tetap bertahan HMI harus berani melakukan Reassesment total terhadap dirinya. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan

1.      HMI harus merombak secara total pola pengkaderan yang ada saat ini, sebab kurikulum yang ada sudah tidak kompetibel dengan abad 21 dimana HMI terjebak hari ini
2.      HMI adalah organisasi mahasiswa, otomatis basisnya adalah kampus, HMI harus dikembalikan ke Kampus. Konsep Back to Campus bukan sekedar diwacanakan tapi harus diimplementasikan ke dalam kampus. HMI harus mampu menjadi organisasi yang tidak hanya membentuk kader-kadernya pada satu tipe (baca poiltik) tapi lebih terbuka sehingga mahasiswa mau melirik HMI. Karena tuntutan zaman saat ini mendorong setiap orang untuk lahir sebagai orang-orang yang professional. Kalau HMI tidak menawarkan kemandirian dan penguatan profesionalisme bagi mahasiswa di kampus, maka wajar kalau HMI tidak lagi menarik
3.      HMI harus melakukan modernisasi organisasi, modernisasi yang dimaksud mencakup system, manajemen dan gaya kepemimpinan. Dalam era moderen kepemimpinan, manajemen dan system dalam pengelolaan organisasi harus mampu menghadirkan ruang efektifitas dan efisiensi. Trend perkembangan teknologi informasi dan komunikasi harus diimplementasi dalam pengelolaan oragnisasi. HMI harus mulai berani bicara kesenjangan digital, bicara teknologi bahkan mungkin HMI harus berani melakukan digitalisasi didalam organisasinya

Kalau ini tidak dilakukan maka, HMI akan tampil sekedar menjadi organisasi yang tidak lagi memberi makna bagi bangsa dan ummat, malah justeru menjadi beban. Seperti tadi sudah saya katakan diawal bahwa HMI ibarat macan ompong hanya bisa mengaum tapi tidak bisa menggigit, ini sebuah otokritik bahwa kalau HMI ingin mengembalikan misi organisasi pada khitah HMI, maka HMI harus berani menerima ini sebagai cambuk. Kami menyadari bahwa keresahan ini bukanlah monopoli tunggal, tapi semua kader HMI memiliki keresahan yang sama, semoga apa yang kami sampaikan dalam tulisan ringkas ini bisa mewakili keresahan sebegian kader HMI yang masih berpikir bahwa HMI masih bisa berubah. 
Selengkapnya...

Minggu, 02 Oktober 2011

JK Terima Penghargaan Tokoh Perdamaian

Karena jasanya dalam mendamaikan konflik di Ambon, Poso, dan Aceh, Mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla Sabtu (1/10/2011),  menerima penghargaan sebagai Tokoh Perdamaian Dunia. Penghargaan tersebut dterima JK dari Forum Pemuda Dunia untuk Perdamaian di Ambo, Maluku. 



Penghargaan tersebut wajar mengingat Ketua Umum PMI ini, selalu aktif dalam mendorong terciptanya perdamaian, bahkan tidak segan-segan untuk turun langsung ke daerah  konflik. Penghargaan disampaikan Wakil Presiden World Assembley of Youth (WAY), yang sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Ahmad Doli Kurnia. Penghargaan serupa diberikan kepada Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, atas perannya dalam perdamaian di kawasan kepulauan itu.

Jusuf Kalla sendiri berterima kasih atas penghargaan tersebut. Menurunya, itu bentuk dukungan bagi bangsa Indonesia untuk terus menyelesaikan masalah dengan membuat perdamaian dan melestarikannya. Mantan orang nomor dua  RI ini, juga mengajak bangsa Indonesia untuk menyelesaikan masalah yang muncul, termasuk konflik, dan tidak menghindarinya. "Jika dihindari masalah itu justru bisa datang menyergap pada suatu waktu nanti," ujarnya. (asw)
Selengkapnya...