• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Senin, 24 Oktober 2011

HMI dan Nurcholish Madjid



Dalam sebuah Diskusi dengan Seorang Budayawan ” D. Zawawi Imron (DZ) ” di Yabina Jember, ia pernah bertanya kepada peserta diskusi (seminar), “Sebenarnya HMI dengan Cak Nur itu lebih hebat yang mana?” kemudian Zawawi berpendapat “Menurut saya, Cak Nur jauh lebih besar, jauh lebih hebat dari HMI!”

Dulu, waktu Soekarno berkuasa, seolah-olah Indonesia identik dengan Soekarno, dan hal yang sama juga terjadi ketika Soeharto berkuasa. Pandangan di atas dibarengi sedikit pengertian salah kaprah, bahwa rejim Soekarno hanya akan berumur sepanjang usia Soekarno. Demikian pula dengan rejim Soeharto, yang kekuasaannya akan berumur sepanjang usia Soeharto.

Hal yang lebih salah kaprah lagi, negara (Indonesia) diidentikkan dengan pemerintah, padahal pemerintah hanyalah penyelenggara negara. Dus artinya, negara akan abadi, sedangkan pemerintahan bisa berganti-ganti.
Amien Rais dulu menyebut “fenomena kayak beginian” sebagai “syirik politik,” dan karena itu pandangan seperti itu harus diruntuhkan. Jika kita konsekuen dengan cara berpikir yang realistis seperti itu, maka akan SANGAT MENYESATKAN jika dikatakan HMI mati bersama wafatnya Cak Nur.

Memang cak Nur hebat, sanggup merumuskan NDP, dan meninggalkan warisan yang amat berharga dalam perjalanan sejarah HMI. Namun kebesaran figur Noercholish tak berarti harus berujung pada suatu cara pandang yang miopik, yang rada-rada rabun gitu, dalam memandang fenomena HMI. Mengidentikkan HMI dengan Cak Nur kurang tepat, meski tidak salah. Letak kurang tepatnya adalah… HMI memiliki tradisi sejarah yang panjang, sangat pluralis, dan dibesarkan dalam situasi-situasi yang crucial, diantaranya bahkan dalam suasana negara penuh konflik.

Toh, Noercholish tak selalu hadir dalam suasana seperti itu. Namun Cak Nur diuntungkan oleh sejarah karena dari sebagian “suasana crucial itu” Cak Nur hadir, dan mirip sebagai “seorang penempa baja sejarah hmi ketika baja itu tengah membara.” Ingat, Noercholish menjadi ketua umum PB HMI pada periode 1966-1971, sebuah periode yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia, sebuah periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang bahkan menurut istilah Cak Nur sendiri sebanding dengan sejarah civil war atau perang sipil dalam sejarah Amerika Serikat.

Hasil dari peristiwa besar itu, di Indonesia komunisme terhapus dari panggung politik Indonesia, dan umat Islam bersama ABRI menjadi tulang punggung orde baru dan memegang amanat menjalankan kekuasaan negara. Di Amerika Serikat, civil war menghapus sistem perbudakan, mengibarkan kemenangan demokrasi, dan mengubur feodalisme.

Selanjutnya, HMI begitu dalam bermitra dengan kekuasaan Orde Baru, sebagian juga karena strategi yang dirancang Cak Nur sendiri, yang menghendaki agar umat Islam tidak terbiasa dengan mentalitas “di luar pagar”…artinya, tidak terbiasa berada di luar birokrasi negara dan terus menerus mengembangkan gagasan tentang negara Islam, yang ujung-ujungnya membawa umat Islam kepada pemberontakan bersenjata.
Mungkin Cak Nur tidak terlalu jauh membayangkan bahwa strateginya itu di belakang hari terbukti menjadi beban, khususnya, bagi anak-anak HMI. Memang, cak Nur bersama rekan-rekannya sesama intelektual muslim dan aktivis HMI telah merancang berdirinya ICMI, suatu bentuk “organisasi proto partai politik” yang dibungkus sebagai gerakan sosial umat Islam, karena waktu itu tidak mungkin umat Islam mendirikan partai politik di luar PPP, Golkar, dan PDI.

Cak Nur mewariskan ide-ide besar, juga strategi-strategi yang bersifat gradual, dalam mengintegrasikan secara penuh umat Islam Indonesia ke dalam Republik Indonesia. Semua anak HMI mahfum tentang hal itu, kecuali yang diragukan ke-HMI-annya.
Maka menjadi jelas, bahwa struktur mental orang Indonesia yang paternalistik, akan mudah membentuk kesadaran anti demokratis dalam memaknai sepak terjang Cak Nur. Dalam bahasa sederhana, Cak Nur wafat, HMI tamat.

This is really a very misleading judgement!
Tengoklah sendiri, ketika Mas Anas Urbaningrum terpilih dalam Kongres HMI di Yogya, dan suasana kongres diwarnai ricuh-ricuh, dengan enteng Cak Nur bilang….HMI itu udah kayak besi tua, karatan…
Beberapa tahun sebelumnya, Cak Nur masih memuji bahwa suasana kongres yang diwarnai ribut-ribut sesungguhnya mencerminkan dinamika di internal HMI, sebuah dinamika yang memiliki arti positif jika disalurkan dengan benar.

Ini semua membuktikan bahwa membandingkan HMI dengan Cak Nur pada era 80-an ke atas–suatu era yang jauh berbeda dengan era Cak Nur–sangat tidak proporsional.

Cak Nur lebih besar dari HMI?
Ngapain kita musti masuk ke wilayah pertanyaan yang nggak produktif seperti itu. Noercholish toh besar karena HMI juga. Memisahkan HMI dari Noercholish, mengutip ungkapan almarhum Jenderal AH Nasution, sama saja dengan memisahkan air dengan ikan.

Jujur saja, kita nggak usah hipokrit-lah bahwa karena kebijakan yang digariskan terhadap HMI oleh generasi Noercholish dulu…justeru menjadi salah satu sebab utama mengapa HMI menjadi seperti sekarang!
Jika ada kesalahan, maka kesalahan terbesar justeru pada perkaderan HMI sendiri, yang membuat HMI menjadi gagap terhadap berkembangnya era demokratisasi di Indonesia, terlebih-lebih karena para kadernya terlalu terbiasa meniru abang-abangnya yang pingin berkuasa melalui birokrasi negara. Memang… untuk ini Noercholish bisa disebut bersalah sekaligus berjasa…tapi itulah harga sebuah pilihan politik!
Rasa marah, minder, gemes, dan mungkin muak di kalangan orang-orang yang pernah aktif di HMI terhadap sepak terjang HMI dewasa ini, terutama setelah mengamati Kongres HMI di Makassar, sangat masuk akal dan bisa dimengerti.

Memang, HMI perlu perubahan revolusioner!
Sayangnya, momentum terjadinya perubahan seperti itu tidak tersedia lagi. Demokrasi menghendaki kesabaran, keuletan, dan ketelatenan…terutama dalam membangun konsensus bagi lahirnya tradisi organisasi yang baik. Memasang kepercayaan tinggi bahwa HMI akan mampu melakukan hal itu memang sangat beresiko. Investasi ke arah itu memerlukan syarat mutlak, antara lain: Masa depan anak-anak HMI harus ditentukan oleh anak-anak HMI sendiri, bukan oleh alumninya, oleh kelompok-kelompok tertentu di luar HMI, apalagi oleh kekuasaan negara sebagaimana di waktu lalu. HMI harus memilih jalan yang tegas, yakni sebagai anak umat Islam sekaligus anak bangsa Indonesia. Ini semua membuka peluang luar biasa besarnya bagi “rekayasa masa depan HMI,” karena hampir seluruhnya mengandalkan kreatifitas yang bersifat lokal.
Meniru Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), sejak lama setelah berakhirnya kepemimpinan Datuk Anwar Ibrahim di ABIM yang sangat bersejarah, telah dimapankan model-model organisasi yang bersifat federatif, dan sepenuhnya menyatu ke dalam barisan umat Islam Malaysia, sekaligus menjadi penyuplai utama dalam sistem politik Malaysia yang didominasi para puak Melayu.

Di Indonesia, masalahnya sedikit rumit karena HMI harus menerima kenyataan bahwa umat Islam Indonesia tidaklah satu, terpecah-pecah ke dalam berbagai organisasi, dan masing-masing dalam hubungannya satu sama lain seringkali memiliki sejarah yang tak jarang diwarnai konflik.

Mungkin….suatu saat akan ada orang mengatakan… HMI nggak perlu ada, toh sudah ada IMM yang Muhammadiyah banget, atau PMII yang NU banget itu… atau ada lagi organisasi mahasiswa onderbouw Ormas Islam yang lain…

Pandangan seperti ini sama simplisistis-nya dengan pandangan Zawawi Imron!
HMI hari ini memang menghadapi krisis yang berat, dan begitu banyak kader HMI, atau alumni HMI yang kehilangan kepercayaan diri, diserang rasa minder yang hebat, dan mengutip cak Nur, mengidap semacam psikose yang symptom atau gejalanya berupa “adegan banting gelas” karena “minuman yang dijanjikan terasa manis dan segar ternyata pahit dan menyakitkan tenggorokan.”

Bagi sebagian besar keluarga HMI “sindroma banting gelas” ini masih akan berumur lama, karena sindroma ini baru akan bisa disembuhkan jika HMI mampu melakukan reformasi mendasar, baik dalam hal perkaderan, pedoman organisasi, attitude, keberpihakan, dan koreksi terus menerus terhadap perjalanan sejarahnya.

HMI adalah sebuah institusi…sama seperti TNI juga sebuah institusi.
Reformasi institusional dalam sejarah terbukti baru berjalan efektif jika terjadi pertemuan dua faktor utama, yaitu faktor obyektif dan faktor subyektif. Faktor obyektif adalah kondisi eksternal yang ada di luar HMI, dalam hal ini perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat, yang mempengaruhi pula terjadinya perubahan dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Sedangkan faktor subyektifnya adalah kesadaran yang muncul di kalangan para kader HMI, yang merasa terpanggil oleh tugas sejarah, untuk memprakarsai langkah-langkah reformasi di internal HMI sendiri.

Tentu saja… Kita bersukur masih ada orang seperti Zawawi Imron yang “maksain” membanding-bandingkan kebesaran HMI sebagai institusi dengan figur Noercholish Madjid sebagai pribadi.
Kita bersukur karena lontaran itu diungkapkan oleh orang yang kayaknya berada di luar HMI–dus artinya pemahamannya terhadap sejarah HMI bisa kita maklumi jika sangat terbatas–tetapi masih berada dalam lingkaran keluarga besar umat Islam Indonesia.

Penilaian semacam itu semestinya bisa memberi arti positif kepada para kader HMI, terutama dalam memperkuat komitmennya dengan memperbaiki secara terus-menerus proses-proses perkaderan yang ada di HMI, dan tidak menyerah atau pasrah kepada situasi.
Insyaallah…. dalam beberapa tahun ke depan, kader-kader semacam itu akan mampu memacu geliat HMI sebagai sebuah organisasi perkaderan, yang kehadirannya masih tetap aktual dan kontekstual dengan tuntutan situasi dewasa ini.

Akhirnya … perlu di tegaskan bahwa SAMA SEKALI TIDAK ADA DORONGAN DAN SUASANA APOLOGETIK dari posting yang panjang ini….
Kita semua prihatin melihat keberadaan HMI saat ini, tapi jangan sekali-kali kita kehilangan kepercayaan kepada masa depan. Justeru karena kita ber-Islam, ber-Iman, dan ber-Ikhsan… kita harus tetap realistis sekaligus optimis memandang masa depan.

Laa Takhof Wa Laa Takhzan….
Yakin Usaha Sampai..

http://pbhmi.org/hmi-dan-nurcholish-madjid/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar