Sepanjang lebih dari 64 tahun berdiri, HMI telah menampilkan peran
dan kiprah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. HMI tidak hanya telah
melahirkan banyak alumnus yang tersebar di berbagai bidang kehidupan
bangsa, tapi juga turut mewarnai sejarah modern Islam Indonesia.
Berbagai model alumnus lahir dari rahim perkaderan HMI. Berbagai tipe
alumnus telah bermunculan dari pembelajaran di HMI. Kiprah alumni
tumbuh dan berkembang sesuai panggilan jiwa masing-masing. Bebas
memilih, sebebas cara berpikir yang dikembangkan dalam kehidupan
organisasi.
Jujur harus dikatakan, tidak semua kiprah dan peran alumni HMI bisa
menjadi teladan. Ada yang tidak berhasil melawan sifat lalai, alpa,
kemudian menerima musibah nama baik. Tapi, sebagian besar adalah
orang-orang yang hidup dan tampil wajar, sesuai profesi masing-masing.
Ulet bekerja, berkarya penuh ketekunan.
Sama dengan organisasi dan gerakan kemahasiswaan lain, tantangan HMI
menjadi lebih berat. Kondisi eksternal yang berubah cepat, dengan
berbagai warna dan dinamikanya, sangat menuntut adaptasi, kreasi peran,
serta kiprah baru yang relevan dan produktif.
Memegang dan Menegakan Khitah
Sebagai organisasi perjuangan, HMI tetap penting dan strategis. Lahan
garap mahasiswa, komunitas kaum muda terdidik, adalah wilayah yang
lebih unggul daripada kelompok muda lain. Meski tidak sepenting pada
zaman pra-kemerdekaan, 1950 sampai 1970, posisi serta peran mahasiswa
tetap penting.
Mahasiswa mempunyai peluang dan kesempatan untuk melakukan mobilitas
sosial menjadi kelas menengah, pada berbagai bidang kehidupan yang
semakin terbagi-bagi oleh proses modernisasi.
.
HMI akan tetap
hidup, tegak dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara
sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada pengaderan mahasiswa yang
dengan tajam diorientasikan kepada lahirnya komunitas kelas menengah
yang mempunyai kedalaman akademik-intelektual, kemahiran, ketrampilan
teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Tentu, semua
dipayungi komitmen dan landasan keislaman yang cukup.
Dalam kaitan tersebut, HMI perlu menjaga, merawat, dan menajamkan
pengaderan anggotanya dengan aksentuasi pada beberapa hal pokok.
Pertama, pengkajian dan pendalaman Islam adalah sisi mutlak. Kader
sangat perlu dibekali wawasan dan inspirasi, pengetahuan, kesadaran dan
spirit pergerakan, serta tubuh dan api Islam. Tentu, Islam dalam
pengertian dan wajah modernis, pluralis, damai, kontekstual, dan bervisi
masa depan.
Kedua, pengembangan tradisi intelektual sangat penting dijaga dan
dibangkitkan kembali. Itulah salah satu karakter yang menjadi bagian
sejarah HMI. Jika sekarang intelektualitas dan tradisi intelektualisme
agak menurun, tidak ada jalan lain kecuali menggali kembali "harta
karun" tradisi intelektual yang dulu pernah berkembang.
Ketiga, pengembangan tradisi kepemimpinan yang demokratis dan
mengakar. HMI masih berpotensi menjadi salah satu ladang bagi lahirnya
kepemimpinan sipil dari kalangan Islam moderat -berpaham
nasionalis-religius Islam. Kader-kader HMI, baik yang terjun lebih cepat
ke jalur partai politik, menjadi akademisi atau jalur intelektual di
kampus, maupun yang menempa diri di jalur LSM, dituntut tidak hanya
mampu dan matang secara politik, terampil berorganisasi, dan mahir
berkomunikasi sosial, tapi juga semakin dituntut untuk membangun basis
dan akar politik yang memadai.
Membongkar Paradigma Yang Kaku di HMI
Banyak pula kalangan yang beralasan mengenai
kemunduran/kemerosotan HMI dengan mengatakan bahwa HMI tidak merosot
sendirian karena toh ormas mahasiswa lain juga mengalami kemerosotan.
HMI masih survive akan tetapi tentunya perlu ditilik ulang survive yang
seperti apa. Bagi penulis menghibur diri semacam itu bukan cara yang
baik bahkan dapat menyesatkan. Tentunya, alangkah lebih baik tentunya
jika kita dapat jujur dalam melihat cermin diri kita akan kondisi
kekinian HMI.
Bukankah suatu kewajiban bagi HMI untuk mendahulukan prinsip the
right man on the right place untuk membangun HMI lebih baik bukan the
wrong man on the wrong place because political oriented an sich .
Kini kita memasuki abad ke-21 yang penuh tantangan di mana peran dan
fungsi tentunya yang harus dikedepankan untuk membawa HMI kembali
menjadi organisasi bagi kader umat dan kader bangsa yang menjadi
kebanggaan dan harapan masyarakat Indonesia. Buat apa berstatus pengurus
Komisariat, pengurus Korkom, pengurus Cabang, pengurus Badko dan
pengurus Besar tapi tidak dapat memberikan kemajuan bagi HMI.
Kemudian dari segi pendanaan organisasi, tidak dapat disangkal
bahwa kebanyakan HMI hanya mengandalkan PT Proposalindo bagi kegiatan
yang dilakukan tanpa memikirkan transparansi penggunaan dana kepada
donatur atau alumni yang telah memberikan dana bantuan tersebut.
Selain itu menurut penulis, kini banyak kader maupun alumni yang
senang hanya beromantisme sejarah belaka bahkan ada yang melakukan
kultus individu terhadap beberapa tokoh HMI. Menurut penulis, rasa kagum
merupakan hal yang wajar asalkan kita senantiasa berupaya untuk
memperbaiki diri tetapi jangan sampai menjadi kultus individu atau
romantisme akut tanpa melihat kondisi kekinian.
Mencermati kondisi saat ini, maka mendesak untuk melahirkan cara
pandang baru yang lebih proporsional terhadap sejarah masa lalu.Sehingga
dibutuhkan kacamata yang lebih jernih untuk memandang. Sejarah bukan
untuk dimitoskan. Prestasi masa lalu tak untuk disanjung- sanjung.
Sejarah adalah pelita dan masa lalu adalah lilin penerang bagi masa
datang.
Setidaknya semangat ( ghirah ) untuk terus menggelorakan
nilai-nilai perjuangan HMI dalam berperan secara nyata bagi umat dan
bangsa mutlak untuk senantiasa dipupuk dan diimplementasikan. Hal ini
tentu bukan hanya sekadar berani tampil beda. Tapi, kesanggupan
merumuskan gagasan-gagasan yang kreatif dan produktif bagi kebangkitan
kembali HMI.
Penutup
Ibarat air sungai, nampaknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat ini
sudah sangat jauh dari mata air. Bahkan boleh jadi sudah mendekati
muara. Kejernihan air sungai semakin keruh tidak lagi terlihat warna
aslinya sebab bercampur dengan ragam "limbah" di sepanjang aliran.
Kalaupun nampak kejernihan itu, barangkali hanya bisa dilihat dari
catatan sejarah "kebesaran HMI" dan penuturan alumni yang telah mewarnai
panggung sejarah Indonesia.
HMI nampak kering dan miskin akan nilai-nilai intelektual dan
akademis. Budaya organisasi yang mengarah pada tumbuhnya pemikiran baru
tidak lagi nampak dan hanya tinggal kenangan. Kondisi HMI yang demikian
tentu bukan terjadi tanpa dibarengi sebab, dan dari sadar akan sebab
itulah kita bisa secepatnya mengembalikan HMI dalam jalur yang
semestinya. Orientasi kader dalam memaknai HMI sebagai wadah perjuangan
keumatan dan kebangsaan adalah problem yang sudah lama terkena polusi
oleh orientasi politis.
Tidak salah memang orientasi ini tumbuh,
sebagai salah satu soft skill politik yang semestinya dimiliki kader
HMI. Disamping pendewasaan politik bagi setiap kader. Namun budaya yang
memacu tumbuhnya nilai-nilai intelektual semestinya tidak boleh
ditinggalkan, lebih ditonjolkan, dan mulai kembali dibangun. Sebab HMI
menjadi besar dan berkembang tidak semata karena track record para kader
dalam bidang politik semata. Justru melalui dimensi pemikiran dan
pergerakan itulah HMI memiliki nilai lebih.
*Nurul Huda (Mantan Sekretaris Umum HMI Cabang Lebak, Banten)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar