Tepat di akhir masa kepengurusan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum
PB Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) pada 1999, banyak mahasiswa Lampung
secara sadar tertarik untuk menjadi kader HMI Cabang Bandar Lampung.
Pada masa itu, sosok Anas menjadi primadona kader-kader muda HMI. Bukan
hanya karena posisinya sebagai Ketua Umum PB HMI, tetapi juga berkat
kemampuan retorikanya yang artikulatif plus kemampuan menulis yang
mumpuni. Tidak salah jika akader-kader muda HMI kala itu menjadikan
sosok Anas sebagai idola baru.
Anas Urbaningrum adalah Idola baru setelah berakhirnya generasi
Nurcholish Madjid atau Cak Nur sebagai “perpustakaan berjalan” HMI. Pada
awalnya semua menduga bahwa pilihan Anas pasca HMI adalah dunia
akademik sebagai begawan kultural yang mencerahkan masyarakat dan
menjadi cermin bagi elit politik untuk tetap berkhidmat di track yang
benar, seperti apa yang dilakukan sosok Cak Nur semasa beliau hidup.
Ternyata kemudian Anas memilih menjadi seorang politisi. Partai
Demokrat entah kenapa menjadi pelabuhan hati seorang Anas. Apakah
pilihan ini adalah bagian dari upaya Anas menyebarkan benih-benih
ideologi Nasionalis-Religius HMI atau ada pertimbangan yang lain, hanya
Anas yang tahu.
Dugaan korupsi Partai Demokrat
BEBERAPA kasus dugaan korupsi yang akhir-akhir ini diduga menimpa
kader Partai Demokrat perlu menjadi catatan dan tanggapan serius dari
Anas. Sebab, ini soal reputasi dan citra partai. Sebagai ketua umum,
Anas mesti segera mengambil tindakan konkret untuk segera menyelesaikan
persoalan tersebut. Jika tidak, dapat dipastikan hal ini akan berdampak
terhadap loyalitas konstituen Demokrat yang selama ini mempunyai
ekspektasi luar biasa bagi pemberantasan korupsi di negeri ini.
Persoalan ini hendaknya jangan dipandang remeh oleh Anas karena
justru turning point kepemimpinan Anas akan diukur dari kasus kasus yang
sifatnya internal seperti ini. Jika pada titik ini Anas berhasil
mengatasi, maka publik akan menilai positif terhadap kematangan Anas
sebagai kandidat pemimpin masa depan negeri ini. Namun bila sebaliknya,
maka potensi konflik akan terus dipelihara dan dibiarkan begitu saja.
Akibatnya, riak-riak ketidakpercyaan kader Demokrat terhadap
kepemimpinan Anas akan mencuat.
Harus diakui Anas sebenarnya belum memiliki jam terbang yang cukup
untuk memimpin partai besar, apalagi ini sebagai the rulling party
(partai penguasa). Namun suka atau tidak suka, problem ini mesti segera
dibenahi. Anas harus mulai bergerak menjadi leader dan bukan hanya
sekedar konsolidator. Inilah sejatinya problem kepemimpinan Anas di
Demokrat.
Pertemanan pribadi yang berubah menjadi pertemanan politik (Anas
banyak membawa masuk rekan-rekan aktivis mahasiswa pada eranya menjadi
pengurus inti Demokrat) pada satu sisi ibarat mata pisau yang bisa
bermanfaat dan juga bisa membuat posisi Anas sekarat. Kecemburuan faksi
tradisional dalam tubuh Demokrat terhadap koneksi baru harus Anas
antisipasi. Jika tidak, hal ini lagi-lagi akan menjadi bomerang.
Kehadiran sosok Anas awalnya dianggap sebagai jalan tengah di antara
kebuntuan Andi Malarangeng dan Marzuki Ali. Politik kompromistis
terlihat kental sekali dalam terpilihnya Anas sebagai Ketua Umum
Demokrat. Secara umum Anas mempunyai personalitas yang baik dan tingkat
akseptabilitas di atas rata-rata pemimpin gaek politik Tanah Air,
seperti Megawati (PDIP), Aburizal Bakrie (Golkar), atau bahkan sosok
Prabowo (Gerindra) sekalipun. Sebuah jajak pendapat yang dilalkukan
Survey Inspire beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa Anas dipandang
publik sebagai figur potensial pemimpin masa depan Indonesia.
Namun, sekali lagi hal ini akan bergantung kepada kemampuan Anas
mengatasi problem internal serta “serangan” eksternal terhadap
eksistensi Demokrat, apalagi pada 2014 sosok SBY yang selama ini secara
tradisional menjadi mesin politik Demokrat tidak akan maksimal lagi.
Jadi, masa depan Demokrat pada tingkat tertentu bergantung kepada
bagaimana Anas membumikan citra positif Demokrat dengan kemampuan
kepemimpinan yang dimiliki oleh Anas itu sendiri.
Jika Anas gagal melakukan hal itu, maka Partai Demokrat akan tinggal
nama besar, sebuah partai yang di masa depan hanya akan dikenang
sebagai partai yang pernah berkuasa di Republik ini.
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Universitas Lampung dan Direktur
Lembaga Kajian Politik, Publik, dan Demokrasi KAHMI Lampung*.
Sumber:
Harian Pelita