• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Minggu, 27 November 2011

Revolusioner Si Tan Malaka



           Tan Malaka-lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka-menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau.Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang-Sumatera Barat-Tan Malaka dilahirkan.Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang memebawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka danpermasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

Selengkapnya...

Rabu, 23 November 2011

Epistimologi Kiri Sebagai Gagasan Besar yang Menantang Sekaligus Melawan


Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari istilah “kiri” dan memang seharusnya istilah tersebut menjadi sangat amat biasa dalam setiap perbincangan. Tapi bukan hanya sebatas perbincangan saja, terminology tersebut menjadi sangat tidak biasa atau luar biasa di saat istilah tersebut diendapkan pada dimensi pemikiran. Istilah kiri mentimpan sejumlah gagasan besar yang menantang, melawan, merusak setiap tradisi yang dianggap “mapan” dan istilah kiri juaga memainkan peran signifikan atas munculnya ide-ide besar yang merubah keadaan.

Pada sudut pandang sejarah, terminology “kiri” sering dialamatkan pada pemikiran dan gerakan social yang berusaha melakuka dikte atau pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau yang dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Terminology “kiri” juga sering menjadi hantu ketika ia di labelkan pada setiap pemikiran dan gerakan social yang mengusung symbol-simbol revolusi sebagaimana sosialisme, marxisme dan komunisme. Bahakan dalam ruang kesadaran manusia sampai saat ini, “stigmatisasi” terminology kiri sedah melembaga. Terlebih ketika terminology kiri tersebut dikonveksikan pada keadaan dimana terdapat luka sejarah. Misalkan Indonesia, keadaan masyarakat Indonesia pernah disesaki oleh ide-ide membumihanguskan segala hal yang baunya “kiri”.



Masih segar dalam ingatan kita tanggal 19 April 2001 lalu, di Negeri ini terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap berbau kiri dn kekiri-kirian. Yang menjadi masalah, aksi tersebut difokuskan pada eberapa jenis buku yang berintikan sejumlah besar gagasan Marxisme atau yang dianggap mengganggu kemapanan kekuasaan pengetahuan dominan. Yang menggelikan adalah perlawanana atas pemikiran tersebut harus digerakkan secara naïf dengan membakar dan membumihanguskan pemikirannya (bukunya), bukan engan melawan melalui pelemparan gagasan-gagasan lain. Tindakan ini dapat dikatakan sebagai tindakan fisik untuk membungkan pikiran yang tidak mampu dilawan dengan pikiran. Fenomena tersebut menunjukkan minimnya pengetahuan masyarakat atas berbagai bentuk dan model pemikiran dan dapat juga menjadi sebuah fakta bahwa ada kesalahan fatal dalam pemahaman masyarakat atas terminology “kiri”.

Apakah selama ini masyarakat Indonesia terjebak pada konstruksi kesadaran yang salah kaprah…??? Bahwa hasil pemikiran yang “berbeda” dengan arus utama (mainstream) yang bertempang pada saat yang bersangkutan selalu sianggap sebagai model pemikiran “kiri”. Dan lebih parah, “kiri” selalu identik dengan komunisme, “kiri” selalu identik dengan kaum tak ber-Tuhan. Padahal, wacana pemikiran “kiri” adalah pemikiran dan gerakan social yang senantiasa melawan, mengkritik dan memang terkadang terkesan nakal yang bertujuan menghancurkan segala hal yang berbau “kemapanan” kekuasaan otoriter dan kapitalisme modern. Bisa saja kemapanan (termasuk kemapanan pengetahuan) memuat seperangkat prinsip yang manipulative untuk sekedar mempertahankan kemapanan tersebut. Dalam “stigmatisasi” dan vandalism dunia pemikiran kita-kita menyebutkan pembongkaran atas situasi mapan dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit utama pergerakan kiri terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung di balik jubah dan topeng ideology-ideologi.

Jika ditinjau dari perspektif epistemology, pemikiran dan gerakan kiri sesungguhnya lebih diletakkan pada pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan, yang kemudian diperlakukan sebagai satu-satunya kebenaran. Ketika sebuah pengetahuan ditampilkan sebagai kebenaran utama, maka ia cenderung diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya dan bahkan kebenaran absolute.

Yang mengerikan adalah pada saat bersamaan kebenaran utama itu akan meminggirkan realitas kebenaran yang lain. Setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan.

Karena itulah perspektif “kiri” dalam konteks ini sekedar membongkar asumsi dasar epistemologis penyusunan sebuah pengetahuan. Apa jangan-jangan setiap kemapanan pengetahuan sesungguhnya hanya tersembunyi berbagai kepentingan-kepentingan ideologis dan juga manipulasi atas kebenaran…??? Keberhasilan pembongkaran tidak saja akan meruntuhkan pilar-pilar yang menyusun sebuah pengetahuan, tetapi ia juga akan menjadi kekuatan efektif untuk mengubah keadaan-keadaan formal yang manipulative…!!!

Selengkapnya...

Selasa, 15 November 2011

Sekilas Mengenai Korps-HMI-wati


Betty Epsilon Idroos,
Ketua Kohati PB HMI periode 2006-2008



KOHATI adalah singkatan dari Korp HMI-wati, yang merupakan salah satu badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-wati dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan. KOHATI didirikan pada tanggal 2 Jumadil Akhir 1386 H, bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 pada Kongres HMI ke-8 di Solo. Secara detail mengenai kelembagaan ini dapat dilihat dalam folder PDK (Pedoman Dasar Kekohatian).

KOHATI sebagai salah satu badan khusus yang ada di HMI (pasal ‘57’ ART HMI) memiliki bidang kerja yang sangat khusus dan visioner, yakni keperempuanan. Bicara mengenai perempuan bukanlah hal yang terdengar asing di lingkungan kita, apalagi di kalangan aktivis dan juga sebagai mahasiswa. Pembicaraan mengenai perempuan itu tidak jauh dari seputar fisik perempuan, peran perempuan–publik dan domestik, tenaga kerja perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, dan segala isu lain yang menyangkut perempuan. Memang terdengar menjadi begitu spesialnya makhluk yang bernama perempuan ini, sehingga banyak didiskusikan di berbagai kalangan di berbagai tempat. Dan HMI, sebagai organisasi mahasiswa pertama di Indonesia juga harus berstrategi untuk mengembangkan misinya dalam bidang keperempuanan ini.

Sebagai organisasi kader, misi HMI dapat ‘dibantu’ dikembangkan dalam bidang keperempuanan. Namun perubahan yang mendasar dapat dilakukan dalam suatu wadah pengembangan organisasi, yang di HMI disebut dengan KOHATI. Eksistensi KOHATI menjadi satu hal yang sangat penting, karena ia menjadi “laboratorium hidup” dalam menghasilkan HMIWati yang berkualitas menghadapi masa depan. Kualitas yang dihasilkan adalah kualitas terbaik sebagai seorang putri terhadap orang tuanya, seorang ibu bagi anak-anaknya, seorang istri bagi suaminya kelak, serta menjadi seorang anggota masyarakat.

Adalah suatu hal naif bila dikatakan eksistensinya menjadi kehilangan makna. Di kelompok manapun, suatu kelembagaan berdasarkan segragasi seks niscaya diperlukan. KOHATI (Korp HMI Wati) sebagai sebuah lembaga keperempuanan yang ada di Himpunan Mahasiswa Islam tentulah juga memiliki peran penting dalam pergerakan perempuan di Indonesia. Sejak didirikannya pada tanggal 17 September 1966, peranannya dirasakan bukan hanya di lingkungan internal organisasi, namun pula masyarakat secara keseluruhan.

Sebagai lembaga perkaderan, KOHATI sesungguhnya memiliki tujuan yang mulia, yakni terbinanya muslimah yang berkualitas insan cita. Berbagai dinamika perkembangan KOHATI dari periode ke periode menunjukkan karakter dan pencirian yang berbeda-beda. Misalnya saja dapat dilihat pada awal pembentukannya, terdapat tiga semangat yang melatarbelakangi lahirnya KOHATI ini, yakni eksistensi, aktualisasi serta akselerasi.

Eksistensi yang dimaksud adalah adanya suatu semangat dan kesadaran dari kaum hawa untuk dapat menjadi subjek dalam pembangunan bangsa. Sedangkan, aktualisasi bermaksud untuk menyatakan dalam tindakan nyata untuk mengadakan pembaharuan dan perbaikan dalam menghadapi tantangan zaman yang senantiasa berubah. Serta, akselerasi adalah semangat dalam melakukan percepatan peran sosiologis dan politis, yang ditunjukkan sebagai lembaga.

Tentulah sejak didirikan, KOHATI mengalami tantangan zaman yang luar biasa mempengaruhinya. Almarhum Anniswati secara luar biasa pula pernah menuliskan bahwa ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama dengan keberadaan lembaga ini. Hal tersebut antara lain peningkatan kualitas KOHATI secara periodik dan kontinue di tingkat pusat, regional dan cabang; kepemimpinan KOHATI yang handal, kompak dan terdiri atas berbagai disiplin ilmu, adanya pemanfaatan para alumniwati di setiap periode bagi perkembangan KOHATI; adanya pembinaan langsung dari HMI; serta berbagai program tukar informasi. Dikatakan luar biasa karena keseluruhan yang disebutkan oleh beliau masih dirasakan sampai sekarang.


RELEVANSI KOHATI MASA KONTEMPORER

Sebuah thesis yang pernah dituliskan oleh seorang aktivis pergerakan perempuan, Shalah Qazan, di antaranya secara lantang, ia menuliskan bahwa suatu gagasan tanpa pergerakan akanlah lenyap dan terlupakan. Pergerakan tanpa mesin penggerak seperti suatu organisasi juga akan mati. Tentu kita juga sering mendengar sebuah pepatah yang amat terkait dengan thesis tersebut; suatu kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh suatu keburukan yang terorganisir.

Demikian pula halnya dengan peranan KOHATI. Masyarakat di luar sana, baik secara lokal, nasional dan ataupun internasional banyak membahas berbagai isu tentang keperempuanan. Persoalan ini sudah menjadi persoalan setiap daerah, dan bahkan sampai menjadi isu internasional. HMI harus dapat merespons hal yang dimaksud.

Salah satu yang diperlukan dalam melakukan perubahan itu adalah perluasan networking. Hal tersebut memerlukan sisterhood yang kuat. Sebagai suatu lembaga semi otonom yang ada di HMI, atau sebagai lembaga sayap keperempuanan yang ada di HMI tentulah kita tidak ingin ketinggalan isu. Perlu ada suatu pembahasan khusus tentang isu tersebut yang tertuang dalam suatu kelembagaan yang terstruktur, dan KOHATI-lah lembaga yang dipunyai HMI. Karenanya, sekali lagi ditekankan, gagasan tanpa pergerakan akan mati. Kita adalah perempuan yang sarjana dan sarjana yang perempuan. We have to do something! Majulah Tabah HMI wati, Harapan Bangsa, Membina Masyarakat Islam Indonesia!

Selengkapnya...

Rabu, 09 November 2011

The Perpetratos of History

Assalamu alaikum Wr. Wb


Salam Perubahan..!!
            Tak terasa pergantian gelap dan terang, siang dan malam, menghantarkan kita di akhir agenda Basic Training (Bastra) HmI komisariat Stikes Nani Hasanuddin Makassar yang  berlangsung di Asrama Mahasiswa Muna yang dilaksanakan dari tanggal 28-30 oktober 2011 dan  selesai sesuai jadwal dan waktu yang direncanakan .Dengan mengusung tema  “Membentuk Kepribadian Muslim yang Berkualitas Akademis, Sadar akan Fungsi dan Perannya dan Berorganisasi serta Hak dan Kewajibannya sebagai Kader Umat dan Bangsa” , dengan tema tersebut seyogyanya lepasan Bastra ini dapat memberi kontribusi yang positif bagi perkembangan dunia kemahasiswaan umumnya dan kampus tempat mahasiswa bernaung khususnya.


            Seperti kalimat yang diungkapkan Jalaluddin Rumi, Tak ada kelahiran tanpa rasa sakit, mungkin tepat disematkatkan kepada teman-teman panitia dan pengurus harian dalam menyusun, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan ini.Selama perencanaan dan kegiatan berlangsung banyak kendala-kendala yang muncul, namun niat tulus dan ikhlas dari teman-teman panitia yang bekerja keras untuk menyukseskan Bastra ke II ini akhirnya bisa teratasi. 


            Berbagai hal yang  muncul selama pelaksanaan Bastra ke II ini yang tentunya melahirkan nilai-nilai historis bagi perkembangan HmI di kampus Oranye ini, diantaranya kesuksesan Bastra ke II ini telah  mengubah nama dan status HmI kom.Stikes Nani Hasanuddin dari komisariat persiapan menjadi komisariat penuh.Selain itu pada angkatan ke II ini sebanyak 27  mahasiswa/mahasiswi yang mendaftar dan yang dinyatakan lulus sebanyak 23 orang.Kurangnya peserta yang mendaftar dan yang telah lulus  bukan menjadi masalah bagi kami, intinya jumlah kuantitas tidak menyurutkan kualitas yang dimiliki dan bisa jadi menjadi PR bagi kami untuk terus mensosialisasikan Hijau Hitam di Kampus Oranye dan menumbuhkan minat mahasiswa untuk menjadi salah satu kader dari beribu-ribu kader Hijau Hitam yang ada di Indonesia.Akhir kata, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :


·         Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makassar Timur yang diwakili Kakanda Usop
·         Master Of Training oleh Kakanda M.Husni
·         Vice Of Master oleh Kakanda Mulyadi
·         Ketua HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin oleh Kakanda Syarifudin
·         Kakanda-Kakanda Instruktur Utama dan Instruktur Madya
·         Ketua Panitia Bastra ke II oleh Adinda Lutfy Muammar
·         Pengurus Harian dan Panitia Bastra ke II HmI Kom.Stikes Nani Hasanuddin


Dan seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan berkontribusi serta sumbangsih positif dalam menyukseskan kegiatan Bastra ke II yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu,. dan apa yang kita berikan dan lakukan mendapatkan Ridha oleh Allah SWT.  Amin… !!!


Wabillahi Taufik Walhidayah
Yakin Usaha Sampai
Wassalamu Alaikum Wr.Wb
Gambar 01, Serah terima list peserta Basic Training angkatan ke II

Gambar 02 : Pemberian materi
Gambar 03 : Suasana saat peseta menerima materi
Gambar 04 : Bersama Pengurus Cabang HmI Mak-Tim


Selengkapnya...