• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Senin, 31 Desember 2012

HMI ; Lembaga Pencetak Peradaban

Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya, Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar : 18)

Himpunan mahasiswa Islam atau yang akrab dengan HMI. Organisasi yang dibangun di Yogyakarta oleh Lafran Pane dan rekannya telah ada sejak 65 tahun lalu (februari, 05-1947). HmI lahir dari rahim kemerdekaan, adik kandung bangsa Indonesia. Disini, di organisasi ini, Kita diajarkan tentang bagaimana berpikir rasional dan kritis. Kita mesti mempunyai landasan kerangka berpikir. Tidak serta-merta menerima mentah-mentah pemikiran atau konsepsi yang ada dan akan ada. Jika tidak, maka agama, pemikiran, konsepsi dan budaya hanya akan menjadi dogma. Persis, seperti yang dikatakan Karl Marx berabad silam. Dogma yang hanya menjadi pemaksaan, titipan dan warisan pemikiran dari neneka moyang belaka.
 
Anologi sebuah minuman, Kita tidak boleh menjustifikasi bahwa susu lebih nikmat ketimbang kopi, padahal Kita belum sama sekali mencicipi setetes saja kopi tersebut. Itu tidak berimbang, itu tidak adil. Kita tidak bisa menjustifikasi bahwa ajaran yang ini lebih benar ketimbang ajaran itu, tanpa mempelajari keduanya terlebih dahulu. Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Darinya itu, metode komparatif perlu Kita lakukan. Sebuah metode yang memperbandingkan dua atau lebih obyek perbandingan. Itulah gunanya belajar, inilah gunanya membaca. Apakah sejauh ini, perkataan saya tidak rasional ? Jika konyol, mohon tinggalkan !  Jika Anda sepakat, mari Kita lanjutkan :
 
Sejujurnya, kami amat berterima kasih  kepada HmI yang telah memperkenalkan kami lebih akrab dengan buku. Membaca menjadi begitu penting. Setidaknya, hal ini yang membedakan manusia dengan binatang. Wahyu pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah perintah membaca (QS. Al-alaq: 1). Di HmI, kami bersaing dengan diri sendiri untuk lebih cerdas lagi. Parameternya sederhana, siapa yang lebih banyak daftar pustakanya, maka Ia yang lebih tampan. Jadi, Kita dinilai dari ketebalan bahan bacaan. Kami selalu ngiler dan sakau bila melihat ada buku tak bertuan. Jika gadget atau dompet Anda tertinggal di sekertariat HmI, tenanglah itu tidak akan hilang. Tapi, jika buku Anda yang tertinggal. 1, 2, 3 detik pasti sudah raib disambar makhluk tak halus. Hingga-hingga muncullah sebuah pepatah baru : ” Sebodoh-bodohnya orang yang meminjamkan bukunya, lebih bodoh lagi peminjam yang mengembalikan buku pinjamannya “.

HMI adalah lembah pencetak peradaban. kita ditempa untuk menjadi kader yang cerdas dengan buku dan analisa. Yang lain bisa bermain domino, tapi kami merencanakan efek domino sebuah revolusi. Yang lain bisa galau di media sosial. Tapi kami galau jika melupakan realitas sosial. Kami percaya, islam bukanlah agama individualistis. Islam mengajarkan kepekaan sosial. Dibalik tanggung jawab pribadi, ada tanggung jawab sosial. Dibalik dosa pribadi, ada dosa sosial. Inilah alasan mengapa kami sering turun ke jalan. Atau paling tidak, melawan lewat kata.
 
Memang, tidak semua kader HMI adalah pahlawan-pahlawan bangsa. Ada juga yang ujung-ujungnya jadi koruptor. Tapi tidak sedikit kader HMI yang memberi andil untuk membangun peradaban, agama dan bangsa. Jusuf Kalla contohnya. Jangan karena segaris luka gores di kaki, kecantikan berubah menjadi keburukan. Hanya Tuhan yang Maha sempurna. Rasulullah SAW. bersabda : Islam itu tinggi, dan tiada yang dapat menandingi ketinggiannya (HR. Ad-daraquthni). Jadi, ajaran islam yang tinggi, bukan muslim (penganutnya). Lihatlah kemurnian dan kesempurnaan ajaran, bukan pada kader atau penganutnya. Adalah kesalahan berpikir, bila Kita berlaku over generalis. Islam dan HMI tidak akan rusak, seburuk apapun perilaku kader dan penganutnya. Intinya, pelajari ajarannya, bukan manusianya.
 
Masih banyak hal yang harus dipelajari oleh kader HMI, termasuk penulis. Basis Kita hanya tertuju pada politic oriented. Klimaksnya adalah jabatan dan politik di pemerintahan atau organisasi. Kita seakan melupakan Need for Achievementdan Need for Affiliate. Kita terlalu ambisi terhadap Need for Power. Pemimpin itu karakter bukan jabatan. Karakter yang dibangun oleh pribadi yang tak pernah berhenti belajar. Pemimpin adalah konsekwensi, bukan orientasi. Konsekwensi bagi pribadi yang selalu tulus mengabdi dan melayani. Kita juga masih jumawa di bidang agama. Sementara mandul pada disiplin ilmu masing-masing. Jika Kita bisa lebih prestatif dan aplikatif terhadap ilmu, Kita telah memenuhi janji Insan Cita. Insan akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Itulah tujuan Kita.
 
Manusia yang berilmu ditinggikan derajatnya dua kali lipat. Namun, manusia berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, pertanggung jawabannya juga dua kali lipat. Khittah perjuangan HmI dapat disimpul dalam tiga kata saja : Beriman-Berilmu-Beramal. Bulan ini adalah bulan cinta, Kita harus merayakannya. Karena pada bulan ini, Nabi Muhammad SAW. yang penuh cinta dan kasih sayang, dilahirkan. Bulan ini adalah bulan perjuangan. Kita harus menyerukannya. Karena pada bulan ini, Organisasi HMI yang tak kenal lelah berjuang, didirikan. Yakin usaha sampai. Allahumma Shalli ‘Aala Muhammad, wa aali Muhammad !
  • Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum   mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. (Qs. Ar-Ra’d: 11).
         Wallahu a’lam.
Selengkapnya...

Menuju Kader HMI yang Berintelektual dan Berideologi dalam Peradaban Indonesia Baru

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi kemahasiswaan tertua saat ini di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi yang berusia hampir sama dengan usia Republik ini, yang tepatnya lahir pada tanggal 5 Febuari 1947 tentu sudah begitu banyak hal yang terjadi pada organisasi ini.Pertumbuhan, perkembangan, kejayaan bahkan sampai pada kemunduran dan perpecahan pernah dialami pada organisasi yang didirikan oleh bapak HMI yaitu Prof. Lafran Pane di sebuah ruangan kuliah STI di Jogjakarta, tepatnya UII kini, 66 Tahun silam. Kita tentu masih ingat bagaimana tahun 70-an hingga 80-an HMI mengalami fase kejayaan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh/cendikiawan muslim serta aktivis lokal maupun nasional di republik ini. Inilah benih-benih remontisme masa lalu yang sering kita banggakan, kita tentu masih juga ingat bagaimana pada Kongres di Padang HMI terpecah dua antara HMI DIPO dan HMI MPO akibat azas tunggal yang di tetapkan oleh rezim yang berkuasa saat itu, terlepas dari segala motif dan tujuannya.

Baru di kongres di Palembang ishlah dua kubu HMI ini terjadi secara struktural walau hanya berhasil pada tataran KAHMI (Korps Alumni HMI) nya saja, semoga kedepan bisa lebih dipertegas dan berbagai problematika yang terjadi di Internal HMI, tidak terlepas dari warisan konflik-konflik yang tidak mencerdaskan tersebut, baik Dualisme Kepemimpinan dimasa lalu maupun citra HMI yang tergerus dari kader intelektual menjadi aktivis demonstran yang keluar dari subtansi fungsi dan peran HMI yang terkesan bergerak-gerak saja, tanpa ada sebuah langkah yang kongkrit buat menjawab problematika keumatan maupun kebangsaan, baik pada level komisariat sampai ke pengurus besar kita. Ini jelas memberikan preseden yang buruk bagi HMI di masyarakat. Tentunya kita juga masih ingat seperti kata jendral besar kita Jendral Sudirman bahwa “HMI yaitu Harapan Masyarakat Indonesia”.



Kondisi HMI yang sangat mengkhawatirkan pada saat ini bukannya tidak direspon oleh banyak pihak. Ada begitu banyak respon yang terjadi, baik itu respon negatif yang mengatakan bahwa sudah selayaknya HMI dibubarkan atau respon positif yang masih optimis dengan perbaikan HMI. Kita yang masih peduli dengan keberlangsungan organisasi ini sudah selayaknya merespon secara positif masalah yang terjadi di organisasi ini. Respon positif itu dapat kita tunjukkan dengan pemberian solusi-solusi atas masalah yang terjadi di HMI hari ini, dimana pemberian solusi harus mengacu kepada akar masalah yang terjadi di HMI. Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, apa akar masalah hingga HMI seperti ini?. Akar masalah tersebut jelas bukan berada dari luar organisasi ini, tetapi justru berada di diri setiap kader HMI, karena kita sendirilah yang menjalankan roda Organisasi ini. Sebab masa lalu adalah orang tua kita dan kita adalah anak untuk masa depan.

Kita harus jujur mengatakan bahwa hari ini pelaku yang membuat HMI menjadi mundur adalah diri kita sendiri, kita yang mengatakan diri kita sebagai kader HMI ternyata tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagai kader sebagaimana mestinya. Banyak analisa yang mengatakan kita terlalu larut dalam euforia dan terbuai dengan ke jayaan masa lalu dan HMI itu sendiri kehilangan senjata Trisula nya yakni: 

   1. Budaya intelektual yang semakin lema 
   2. Wawasan ke Islaman yang kurang
   3. Wawasan ke HMI-an yang mundur pada sebagian besar kader HMI

Tentunya saat ini kita di hadapkan dengan dua pilihan yang pasti, kita berdamai dengan realitas yang ada atau kita berjuangan untuk melawan realitas untuk meujudkan karakter kader HMI yang intelektual dan beridiologis dalam mengemban mission-mission HMI yang jelas tekmaktub dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI ”Terbinanya insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Inilah misi suci yang diemban oleh seluruh kader HMI setanah air. Kondisi diatas terjadi hampir di seluruh cabang-cabang maupun komisariat-komisariat se-Indonesia. 

Kalau kita mencoba melihat kondisi HMI sebagai contoh pengamatan yang terjadi di HMI Cabang Pekanbaru dewasa ini, secara jujur kita harus mengakui terjadi Degradasi dan Frustasi intelektual kader-kader gejala pisikologisnya ditandai kurang semangat dan lemahnya milintansi kader. Banyak faktor yang mengakibatkan kodisi-kondisi itu, baik faktor luar maupun faktor dalam tubuh HMI cabang itu, sedikit kita mengurai kondisi luar HMI yang tidak kondusif yang terlihat dari kondisi kampus yang tidak mendukung bagi kemajuan HMI ataupun watak Mahasiswa yang Hedonis serta Apatis di perparah dengan adanya indikasi intervensi-intervensi senior pada ranah-ranah yang bersifat politis serta ”kurangnya sebuah apresiasi terhadap ide dan gagasan gagasan baru kader dalam beraktualisasi diri yang positif”. 


Di tubuh HMI kita banyak menghabiskan energi dalam hal warisan-warisan konflik kepentingan masa lalu (komflik kongres maupun confercab) yang berimplikasi terhadap cabang-cabang dan akan bermuara terhadap komisariat yang merupakan ujung tombak HMI. Miss-comunikasi kerab terjadi baik kader terhadap alumni maupun PB kepada cabang-cabang ataupun cabang kepada komisariat yang jelas-jelas adalah ujung tombak pengkaderan HMI. Kurangnya kesadaran kader terhadap fungsi dan tanggung jawab kader, serta upaya distribusi kader yang sering terabaikan tidak hanya distribusi yang sifatnya penguasaan jabatan-jabatan strategis di kampus-kampus tapi juga distribusi kader yang telah berproses di HMI yang minim perhatian juga mandeknya regenerasi istruktur pengelola latihan serta kurangnya upaya trasformasi ilmu dari pendahulu-pendahulu yang tanpa kita sadari telah terabaikan. 

Kondisi diatas adalah gambaran realitas yang terjadi hampir di sebagian besar Cabang dan Komisariat, jika kita memilih berdamai dengan realitas diatas, perubahan tentunya sesuatu hal yang mustahil akan terjadi (utopia) semata, dengan semarak dies natalis (Milad) HMI-64 pastinya setiap kader punya semangat dan rasa cinta akan impian perubahan ke arah yang lebih baik dalam arti kata berjuang melawan realitas yang ada sebab diam tanpa sebuah iktiar dalam perjuagan itu sama halnya mati sebelum mati.Tentunya sebuah perjuangan yang baik mesti memenuhi syarat-syarat tertentu yakni mesti ada upaya rekayasa yang terorganisir, sistematis maupun terpimpin. 

Solusi kongkrit untuk mengatasi problematika yang terjadi di atas untuk meujudkan kader yang intelektual dan beridiologis harus di lakukan perencanaan-perencanaan yang strategis yang meliputi: 

  1. Upaya singkronisasi antara kebutuhan kader dan tercapainya misi-misi HMI  (mission sacree), dengan program pemetaan minat bakat mahasiswa & kader tersebut,yang menitik beratkan kepada upaya menjawab “students need & students interest”. 
  2. Konsilidasi dan silaturahim internal maupun exsternal HMI baik terhadap lintas kader maupun antar kader dan alumi untuk menatap arah dan tujuan HMI kedepan dengan program komunikasi dua arah dan sejajar.
  3. Memotivasi peran-peran kekohatian dalam upaya meujudkan pribadi-pribadi perempuan yang muslimah propesional yang berkarakter melalui pelatihan-platihan dan seminar-seminar baik itu tataran lokal maupun lintas regional, serta nasional dalam upaya menjawab isu-isu gender. seputar keperempuaanan. 
  4. Mensuport terciptanya regenerasi instruktur dalam pengelolaan latihan seiring dengan komitmen yang dihasilkan dalam munas pertama BPL di depok
  5. Penguatan intelektual dan penanaman basis ideologis kader pasca LK1 dan LK2 dengan program FGD dan kajian-kajian keislaman jum’atan serta bedah NDP yang bernilai subtansi dasar perjuangan kader. 
  6. Menggalakkan lembaga-lembaga kekaryaan yang telah fakum seperti Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), dan lembaga yang berbasis keilmuan lainnya di seluruh cabang dan komisariat seindonesia
 7. Upaya penyikapan dan pengelolaan isu-isu kekinian baik tataran kampus, lokal maupun nasional & internasional dengan sinkronisasi peran kader dan alumni, upaya mewujudkan peradaban baru Indonesia yang Darusalam (terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT). 
 8. Serta upaya yang tersistematis untuk melakukan pendataan kangotaan yang berbasis online se-Indonesia upaya peralihan dari paradigma sistem ke paradigma online. Seiring dengan membaca semangat zaman yang berbasis teknologi

Dengan peningkatan kesadaran atas fungsi dan tanggung jawab kader-kader HMI maka sudah saatnya KITA beralih dari fase kemunduran menuju fase kebangkitan dalam upaya menciptakan kader-kader HMI yang Intlektual dan Idiologis sebab kita mesti yakin dengan kemampuan yang kita miliki dengan kekuatan keyakinan akan melahirkan keberanian dalam menghadapi tantangan dan ancaman masa depan yang menjadikan sesuatu yang mustahil menurut akal, akan menjadi mungkin dengan spirit Illahiah dan iktiar inilah hakekat tertinggi dari Yakin Usaha Sampai (YAKUSA), amien. 

Epistemologi pemikiran NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan)

Kalaulah kita sepakati bahwa Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) kader HMI yang sejatinya lahir dari rahim kandungan ayat suci Al-Qur’an itu, yang terdiri dari poin-poin dasar keislaman yang prinsipil dan strategis, yang lansung mempengaruhi cara pikir dan pandangan hidup bagi kader himpunan. NDP ini ditulis oleh seorang Cendikiaan Muslim Indonsia yaitu ayahanda kita Nurcholis Madjid yang nota bene kader yang dilahirkan oleh HMI, merupakan dasar dalam sejarah dan tegaknya militansi yang bersemangat idiologis kader. Maka upaya me-rebuilding paradigma kader menuju penguatan dan pengokohan basis idiologis mestilah diupayakan dengan sungguh-sunguh, karna dengan perjuangan yang bersifat idiologis adalah prasyarat, untuk menghancurkan dan menaklukkan segala bentuk penindasan-penindasan baik penindasan fisik maupun penindasan intelektual itu sendiri dalam wujud nyata sebuah kesadaran kader yang bersifat meyeluruh (kolektif) dengan sasaran utama menuju muslim intelektual dan profesional. 

Upaya me-rebuilding paradigma kader yang berbasis idiologis, dan intelektual, adalah sebuah upaya nyata dalam membangun kembali disini, yaitu mengembangkan budaya intelektual kader dan memperkokoh wawasan keislaman serta wawasan ke HMI-an dan juga penafsiran lebih lanjut terhadap misi-misi HMI (mission sacree) secara tegas dapat dikatakan bahwa misi suci HMI ialah berusaha menciptakan masyarakat yang adil dan makmur menuju visi bintang ‘Aras (kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan dalam wadah kerajaan Tuhan Allah SWT). Arti kata lain, mengarah kembali pemikiran atau pola pikir kader, agar sejalan dengan prinsip-prinsip nilai-nilai dasar perjuangan, jadi membangun semangat idiologis kader tidak semata-mata untuk memberi lebel hijau hitam pada mahasiswa tapi lebih kepada mereorientasikan framework pemikiran mahasiswa dalam wujud kader HMI. Yang menjadi suatu pertanyaan yang menarik yang mesti di pertanyakan yakni mengapa framework pemikiran mesti direoriantasikan? Masalahnya sangat sederahana dan komplek tergantung sudut pandang kita dalam peninjauan masalahnya bukan dalam artian kita mengampangkan permasalahan yang ada namun lebih kepada merubah cara pikir atau cara pandang kita terhadap solusi pada tujuan yang jelas yaitu kembali kepada nilai-nilai dasar perjuangan yang bersemangat ketauhidan kepada Allah SWT yang terkesan kini telah terjadi anomali ketauhidan. 

NDP yang merupakan hasil (by-product) dari serangkaiaan dialektika pemikiran dan ilmu, serta gejolak batin seorang kader HMI cabang ciputat Ca’ Nur dalam lawatan nya ke timur tengah (baca: Sejarah Lahirnya NDP) mampu memberi warna baru bagi arah dan idiologi perjuangan HMI itu sendiri, walau target utama dari NDP mesti menjadi pandangan hidup Islam (worldview Islamic) kader yang dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam hal penyikapan berbagai problematika hidup, baik masalah keumatan maupun kebangsaan. Namun realitasnya seperti apa? Kita tidak bisa menapikkan, annomaly pemikiran dari pemahaman kader itu sendiri telah banyak terjadinya pergeseran dari capaian target yang semestinya pemahaman secara umum kader terjebak pada ranah-ranah pemikiran yang cendrung onani pemikiran seperti contoh terjebak pada dialektika ketuhanan yang tidak subtantif. Asumsi kita ini bisa terjadi oleh pemahaman filsafat dan wawasan keislaman kader yang kurang ataupun terlalu terseret arus paham rasionalisme yang pada titik klimaknya menjadikan akal sebagai Tuhan, yang melahirkan presepsi ketuhanan yang beragam kondisi ini jelas akan melahirkan sebuah prespsi baru dari sisi ketuhanan itu yang sejatinya. 

Secara harviah/Epistemologinya antara Islam dan NDP itu sendiri sesuatu yang tak bisa dipisahkan seperti “Ibu yang melahirkan anaknya”, jadi sesungguhnya untuk memahami NDP sudah semestinya setiap kader harus memiliki wawasan keislaman yang jelas yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis seperti yang termaktub di dalam hymne HMI yang berazaskan Islam (Angaran Dasar HMI).

Peradaban Indonesia yang Darussalam 

Dengan momentum dies natalis (Milad) HMI ke-66 tahun, sudah semestinya kita selaku organisasi mahasiswa Islam kembali kepada misi suci (mission sacree) lahirnya HMI, untuk mewujudkan Indonesia yang darussalam, di tengah-tengah pergolakan Geopolitik Nasional maupun Internasional, yang ditandai gejolak politik di beberapa Negara Islam seperti Revolusi mesir maupun Revolusi yang terjadi di Tunisia yang sejatinya babak baru munculnya sebuah wajah politik dan tatanan pemerintahan dengan digantikan rezim penguasa mengingatkan kita pada peristiwa Reformasi yang bergulir di Indonesia 15 tahun silam, yang berhasil melengserkan orde baru (rezim Soeharto) yang membawa angin segar perubahan baik tatanan politik, sosial, ekonomi dan budaya (baca: Saatnya kaum muda menatap masa depan Indonesia) untuk mewujudkan sebuah peradaban baru Indonesia. 

Peradaban merupakan arti dari kata tamaddun (yang secara literal berarti peradaban, civilization). Dalam kenyataannya, peradaban sering didefinisikan sebagai “kota yang berlandaskan kebudayaan” (city-bases culture) atau “kebudayaan kota” (culture of the city). Kata tamaddun dalam bahasa Arab secara tepat berarti “peradaban” dalam pengertiannya yang modern. Kata lain yang berasal dari akar madaniyah yang secara harfiah berarti “urbanisme”. Tetapi pengertian teknis dari istilah ini adalah “Peradaban”. Kata Hadharah yang sama halnya dengan peradaban yang seiring digunakan oleh orang arab tersebut. Namun kata itu, kurang bisa diterima oleh kaum muslim non-arab yang lebih senang mengunakan istilah Tamaddun untuk istilah peradaban. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir besar Muslim pertama yang meyusun konsep tentang peradaban di abad XIV yang lebih di kenal dengan nama Ilm Al-Umran. 

Barulah di abab ke-19 para Pemikir Barat menulis tentang Peradaban arti kata lain umat Muslim lebih maju 500 tahun dari pada sarjana-sarjana pemikir barat. Tamadun ataupun Hadharah secara Terminologi yakni peradaban perbedaan istilah diatas tidak lah merupakan suatu yang mesti dipertentangkan namun kembali kepada subtansi dasar dari tujuan yang semestinya. Ibnu Khaldun mengunakan istilah Umran untuk mengartikan ungkapan peradaban beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan peradaban adalah “Organisasi sosial”. Ketika organisasi sosial di lahirkan peradaban muncul, jika organisasi itu menjadi jaya (populous), sebuah Umran besar atau Peradaban besar menjelma, dalam arti kata lain inilah cikal bakal berdirinya sebuah Negara (Daulah). 

Kalau kita kembali ke era awal penyusunan UUD 1945. Pemikiran yang lahir dalam perdebatan siding-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), antara lain menyangkut masalah dasar negara dan materi yang harus diatur dalam suatu undang-undang dasar, atas permintaan ketua BPUKI Dr. KRT. Radjitman Wedyodiningrat, apa yang menjadi dasar negara bagi negara Indonesia? 

Ada tiga pembicara yang menyampaikan pendapatnya diantaranya Muhammad Yamin mengenai Peri-Ketuhanan sebagai dasar negara selain Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat. M. Yamin mengatakan bahwa bangsa Indonsia yang akan bernegara merdeka itu ialah bangsa berperadaban luhur dan peradabannya itu mempunyai Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu maka dengan sendirinya kita insaf bahwa Negara Kesejahteraan Indonesia Merdeka itu akan ber-Ketuhanan. Tuhan akan melindungi Negara Indonesia yang merdeka itu (Baca: Yamin, Naskah I.op.cit hal. 94). Soepomo memiliki pandangan lain bahwa menurut nya tentang agama yang harus dipisahkan dari urusan negara dengan demikian urusan agama mesti diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Dalam artian negara nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa negara itu bersifat a-Relegius. Itu bukan Negara Nasional yang bersatu dan hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam. 

Pada kesempatan terakhir tepatnya 1 Juni 1945 Soekarno tentang Dasar Negara yang lebih dikenal dengan sebutan Pancasila mengenai dasar ke-Tuhanan yang Maha Esa, dinyatakan bukan Bangsa Indonesia saja yang ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendak nya ber-Tuhan. Soekarno menekankan bahwa menjalankan sikap beragama haruslah berkeadaban yang diartikan dengan sikap hormat menghormati satu sama lain atau beragamalah dengan penuh toleransi seperti yang diteladani oleh Nabi Muhammad SAW. 

Dengan arti kata kita tidak memaksa persatuan tapi lebih kepada mengelola berbagai perbedaan menjadikannya satu kesatuan yang utuh dalam sebuah bingkai peradaban Indonesia yang Darussalam. 

Jadi spirit kelahiran HMI pada tahun 1947 adalah sebuah kesadaran akan wawasan keumatan dan kebangsaan yang dimotori oleh kaum muda yang nota bene Mahasiswa Islam yang fungsi dan perannya sebagai sebuah organisasi Perjuangan (Angaran Dasar HMI) yang terus mengawal dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Indonesia. 

Jadi tak dapat kita nafikan bahwa sanya. HMI yang lahir dengan semangat wawasan keumatan dan kebangsaan itu, yang kini genap berusia 65 tahun merupakan elemen yang ada di Bangsa Indonesia yang kita cintai ini sudah sepatutnya menjadi garda terdepan bersama elemen-elemen kemahasiswaan dan pemuda-pemudi lainnya untuk mewujudkan sebuah peradaban Indonesia yang Darusalam dalam arti kata lain mwujudkan masyarakat adil dan makmur serta diridhoi Allah SWT.

Rasyid Ridho Siregar
Selengkapnya...

Rabu, 17 Oktober 2012

HMI Bukan Syiah

Beberapa hari ini, banyak adik-adik aktivis HMI meminta pandangan perihal pernyataan dari Dr Jalaluddin Rakhmat. Tak kurang, Ketua HMI Cabang Jember, Jamal Bakhtier, juga mengirim pesan via SMS meminta saran pendapat, bagaimana menyikapi pernyataan Kang Jalal –panggilan akrab Dr Jalaluddin Rakhmat di www.tempo.co. Ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) ini dalam wawancara yang dimuat Tempo, Senin, 3 September 2012, mengeluarkan pernyataan yang sangat sensitif dalam konteks konflik antar aliran dalam Islam. “Syiah masuk ke HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan mulai tersebar ke kampus di daerah lain. Aktivis HMI menyebarkan ajaran Syiah secara sistematis, yakni melalui pelatihan kepemimpinan”. 

Sontak, pernyataan dosen Universitas Pajadjaran Bandung Fakultas Ilmu Komunikasi, Ilmu Tasawwuf Universitas Paramadina dan sejumlah perguruan tinggi ternama di Tanah Air ini, meresahkan beberapa kalangan di HMI. Khawatir pernyataan ini menurunkan minat berHMI mahasiswa-mahasiswa baru, dijadikan komoditi black campaigne, serta nyata-nyata pernyataan ini tak berdasar dan menyesatkan opini publik. Apa alasan, Kang Jalal mengeluarkan pernyataan tersebut? saya yakin banyak aktivis maupun alumni HMI bingung. Kok tiba-tiba HMI yang tak ada hubungannya dengan merebaknya konflik Sunni-Syiah di beberapa tempat di Tanah Air, dikait-kaitnya dengan penyebaran Syiah secara sistematis di berbagai kampus sejak awal masuknya Syiah periode kedua pasca revolusi Iran tahun 1979. Padahal, HMI jelas-jelas bukan Syiah. 

HMI merupakan organisasi kemahasiswaan yang menggotong visi dan misi keislamaan dan keindonesiaan sekaligus, dulu, kini dan nanti. HMI sebagai organisasi kader yang berasas Islam tak pernah secara ideologis dan administratif menyebut Islam Syiah satu kata pun. Tak ada satupun dokumen organisasi yang menyebut perihal tersebut. Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak HMI secara individu maupun organisasi, sedikitpun tak mencerminkan faham Syiah. Saya kebetulan sampai hari ini seringkali diminta oleh adik-adik HMI sebagai instruktur NDP, baik pada LK-1 (Latihan Kader 1) maupun pada LK-2 (Latihan Kader 2). Jadi, saya faham betul secara tekstual dan kontekstual isi NDP tersebut. Saya pastikan sepasti-pastinya, tak ada satu pun bab di NDP yang menguraikan faham Syiah secara eksplisit maupun implisit. Dalam NDP tersebut, memuat: dasar-dasar kepercayaan, pengertian-pengertian dasar tentang kemanusiaan, kemerdekaan manusia (ikhtiar), dan keharusan universal (takdir), Ketuhanan Yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, individu dan masyarakat, keadilan sosial dan keadilan ekonomi, kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, kesimpulan dan penutup. 

NDP yang semula merupakan NDI (Nilai Dasar Islam) yang ditulis oleh Cak Nur, adalah filsafat sosial yang menjadi landasan perjuangan HMI dalam melakukan perubahan masyarakat, sesuai dengan tujuan HMI: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertangung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Jadi, jelas sekali pernyataan Kang Jalal tak punya dasar sama sekali. Kayak, “orang mengigau”. Sepertinya, Kang Jalal tak punya pengetahuan yang cukup tentang HMI, sehingga mengait-ngaitkan HMI dengan penyebaran Syiah di Tanah Air. Padahal, antara keduanya tak punya hubungan apapun baik secara historis, ideologis maupun praksis sosial. HMI punya watak dasar, sebagai organisasi kemahasiswaan yang independen. HMI secara etis hanya tunduk dan patuh pada kebenaran, dan secara organisatotis tak terikat dan mengikat dengan organisasi manapun. HMI adalah HMI, yang bukan NU, bukan Muhammadiyah, bukan Al-Khairiyah, bukan Al-Irsyad, bukan Persis, bukan Wasiliyah, bukan MMI, FPI, bukan JAT, bukan HTI, bukan IJABI, dan bukan yang lainnya. Bahwasannya kemudian, banyak kader-kader HMI yang pasca organisasi, menjadi aktivis ormas keagamaan tertentu, itu bukti bahwa HMI merupakan organisasi kader yang dibutuhkan oleh umat dan bangsa. 

Namun, semua menyadari, tak ada satupun yang berhak mengklaim keberislaman HMI. Di akhir tulisan ini, saya mengutip pernyataan saya dalam Dirgahayu HMIku, HMImu, HMI Kita: “HMI kita adalah organisasi ekstrauniversiter yang tampil dengan wajah warna warni, baik faham keislaman maupun dalam faham keindonesian. HMI kita merupakan “tenda besar” yang mengayomi terhadap keanekaragaman aliran dalam Islam maupun dalam Indonesia. HMI organisasi kemahasiswaan yang terbuka pada ragam aliran tersebut. Tak ada bedanya, antara sunni dan syiah, antara kaum liberal dan kaum sosialis. Semua memiliki kedudukan yang sama di hadapan konstitusi dan organisasi. Keterbukaan dan keluwesan ini yang mendorong HMI kita tak terjebak pada pemikiran dan gerakan ekstrim. Para aktivisnya dituntut untuk saling memberi dan menerima perbedaan yang ada. Perbedaan bukan sesuatu yang tabu, melainkan itu sunatullah untuk menguji makhluk dalam menerima kebenaran dan berpegang teguh pada kebenaran tersebut. Sebab, tiap orang pada hakekatnya cendrung pada “kebenaran”. 

*Moch Eksan, Presidium Majlis Daerah KAHMI (Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) Jember.
 http://sosbud.kompasiana.com/2012/09/05/hmi-bukan-syiah/
Selengkapnya...

Rabu, 26 September 2012

Airmata Rasulullah SAW

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.

Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril. 


Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." 

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai ding! in, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita.

Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka. Amin...

Usah gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangi mu di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang mengasihmu diakhirat..
Selengkapnya...

Rohis Bukanlah Kaderisasi Teroris !

Beberapa hari terakhir ini, marak unjuk rasa memprotes stigma negatif terhadap umat Islam. Aksi protes itu dipicu dari infografis dalam acara dialog yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta, yang membahas masalah terorisme. Ya, beberapa bulan terakhir ini, sejumlah terduga (belum tersangka) teroris diciduk aparat Densus 88 Antiteror Polri dari berbagai tempat.
Stasiun televisi tersebut, dalam infografisnya, antara lain menyebutkan bahwa bibit terorisme berasal dari kegiatan Rohani Islam (Rohis) di sekolah-sekolah menengah. Sontak saja, info tertulis di layar televisi tersebut mendapat reaksi keras dari para aktivis Islam, mulai dari jejaring sosial (Facebook, Twitter, dll), hingga aksi turun ke jalan, seperti dilakukan sejumlah aktivis di berbagai kota.

Padahal, ekstrakurikuler Rohani Islam, yang sejak lama tumbuh di sekolah-sekolah menengah atas bukan merupakan benih terorisme, seperti ditegaskan Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, di Jakarta, Minggu (23/9).

"Di mana-mana, tidak ada kegiatan kerohanian Islam di sekolah manapun yang menekankan siswa menjadi teroris," kata Syahganda, sebagaimana dikutip Antara.

Hampir selalu ada aktivitas ekstrakurikuler keagamaan di tiap Organisasi Siswa Intra Sekolah. Secara umum, aktivitas ekstrakurikulier itu adalah kerohanian Islam dan kerohanian Kristen, yang diwadahi sekolah.

Syahganda, menanggapi aksi protes sejumlah aktivis rohani Islam dan alumninya di Jakarta serta kota-kota lainnya, menegaskan bahwa aktivitas kerohanian itu memiliki andil besar dalam membangun moralitas keberagamaan para siswa di Tanah Air.

Namun, kelompok-kelompok yang diduga teroris dan jaringannya di Tanah Air banyak mengatasnamakan aksi mematikannya berdasarkan klaim sepihak, bahwa ada ancaman eksistensi atau gerakan mengacaukan ajaran agama yang mereka anut.

Sementara itu, Yogi, seorang pengunjuk rasa di Padang, Sumatera Barat, menanggapi stigma negatif terhadap Rohis ini, menegaskan bahwa di negara yang mayoritas Islam, yang menjadi fondasi penting kebangsaan, umat Islam malah sering dijadikan kambing hitam, dan tertuduh "di rumahnya" sendiri, dan dituduh oleh saudaranya sendiri.

"Menuduh sekolah sebagai tempat perekrutan teroris generasi baru, telah menimbulkan keresahan pada kami, para guru, pihak sekolah, dan para orangtua, sedangkan masjid di sekolah merupakan benteng moral yang bisa menjaga kami untuk tetap konsisten, dalam menyeimbangkan ilmu pengetahuan dengan iman dan taqwa," kata Yogi.

Ditambahkannya, aktivitas ekstrakulikuler kerohanian Islam memberikan pengayaan moral di zaman hedonistik yang banyak diwarnai pergaulan bebas generasi muda, yang makin memprihatinkan.
Menanggapi aksi protes yang terus merebak, dalam aku Twitter-nya, Metro TV, beberapa waktu lalu memberikan bantahan, dengan menegaskan bahwa Metro TV tak pernah memberitakan bahwa Rohis sarang teroris.
Selengkapnya...

Senin, 13 Agustus 2012

Kemerdekaan Ikhlas dan Sejati

Kemerdekaan memiliki beragam makna. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dibacakan Soekarno tidak secara eksplisit menerangkan apa makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Ketika Soekarno menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, tentu yang dimaksudnya adalah kemerdekaan dari penjajahan Jepang.

Tetapi apa makna kemerdekaan itu bagi rakyat Indonesia merupakan tugas para generasi setelahnya untuk menjawabnya. Karena itu, dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati. Apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dapat mengambil makna kemerdekaan tersebut dari Alquran. Dalam kitab suci ini ditunjukkan berbagai kisah kemerdekaan orang-orang terdahulu yang dapat mengilhami kita, bagaimana seharusnya menjadi bangsa merdeka di era globalisasi.


Pertama, makna kemerdekaan dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim ketika ia membebaskan dirinya dari orientasi asasi yang keliru dalam kehidupan manusia. Dalam Surat Al-An’am Ayat 76-79 dikisahkan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan.Pencarian spiritual tersebut merupakan upaya Ibrahim dalam membebaskan hidupnya dari orientasi hidup yang diyakininya keliru, namun hidup subur dalam masyarakatnya.

Seperti diketahui, masyarakat Ibrahim saat itu menyembah berhala. Bagi Ibrahim, penyembahan terhadap berhala merupakan kesalahan besar. Sebab manusia telah melakukan penghambaan yang justru menjatuhkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia.

Bentuk penghambaan yang menjatuhkan harkat-martabat manusia seperti itu juga terjadi pada era modern. Penghambaan terhadap materialisme dan hedonisme telah mengantarkan manusia modern untuk melakukan korupsi tanpa perasaan bersalah, mengorbankan nyawa-nyawa tak berdosa, menghalalkan berbagai cara untuk meraih kursi dan posisi, dan seterusnya. Penghambaan-penghambaan yang demikian bukan hanya melukai harkat-martabat manusia, namun juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang hakikatnya menjadi tujuan dari proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 63 tahun yang lalu.

Kedua, makna kemerdekaan juga dapat dipetik dari kisah Nabi Musa ketika membebaskan bangsanya dari penindasan Firaun. Kekejaman rezim Firaun terhadap bangsa Israel dikisahkan dalam berbagai ayat Alquran. Rezim Firaun merupakan representasi komunitas yang menyombongkan diri dan sok berkuasa di muka bumi (mustakbirun fi al-ardh). Keangkuhan rezim penguasa ini membuat mereka tak segan membunuh dan memperbudak kaum laki-laki bangsa Israel dan menistakan kaum perempuannya. Keangkuhan inilah yang mendorong Musa tergerak memimpin bangsanya untuk membebaskan diri dari penindasan, dan akhirnya meraih kemerdekaan sebagai bangsa yang mulia dan bermartabat (QS Al-A’raaf:127, Al-Baqarah:49, dan Ibrahim:6).

Mengakhiri Keangkuhan Seperti halnya kisah sukses Nabi Musa, Proklamasi 17 Agustus 1945 hakikatnya juga merupakan momen yang mengakhiri episode keangkuhan dan penindasan rezim kolonial. Sebuah keangkuhan yang membuat bangsa kita miskin dan terhina selama ratusan tahun. Namun jangan lupa, berakhirnya keangkuhan dan penindasan rezim kolonial tidak serta merta membebaskan rakyat Indonesia dari keangkuhan dan penindasan rezim lain dalam bentuk yang berbeda.

Tugas terberat dari sebuah bangsa merdeka sesungguhnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan dirinya sebagai bangsa merdeka, serta bebas dari hegemoni internal dan eksternal yang menindas. Merdeka dari hegemoni penindasan internal berarti bebas dari penguasa-penguasa pribumi yang bertindak dan bertingkah laku laksana penjajah asing.Kita memerlukan pemerintahan yang sayang dan cinta kepada rakyatnya sendiri. Tidak hanya cinta sebatas bibir, namun juga mencintai dan mengayomi dalam bentuk dan tindakan nyata.

Merdeka dari hegemoni eksternal artinya bebas dari pengaruh dan tekanan asing (terutama di bidang politik, ekonomi, dan budaya). Bangsa yang merdeka, namun di bawah tekanan politik negara lain, sesungguhnya bukan bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka, tapi menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya kepada pihak asing tanpa share yang adil, bukan pula bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka, namun sangat inferior terhadap identitas budaya bangsa lain, bukan pula bangsa yang merdeka. Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia haruslah kemerdekaan yang holistik dan integral dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, kisah sukses Nabi Muhammad dalam mengemban misi profetiknya di muka bumi (QS Al-Maa’idah:3) menjadi sumber ilham yang tak pernah habis bagi bangsa Indonesia untuk memaknai kemerdekaan secara lebih holistik dan integral. Ketika diutus 14 abad silam, Nabi Muhammad menghadapi sebuah masyarakat yang mengalami tiga penjajahan sekaligus: disorientasi hidup, penindasan ekonomi, dan kezaliman sosial.

Disorientasi hidup diekspresikan dalam penyembahan patung oleh masyarakat Arab Quraisy. Rasulullah berjuang keras mengajarkan kepada umat manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan ‘’tuhan-tuhan’’ yang menurunkan harkat dan derajat manusia (QS Luqman:13; Yusuf:108; Adz-Dzaariyaat:56; Al-Jumu’ah:2). Penindasan ekonomi itu dilukiskan Alquran sebagai sesuatu yang membuat kekayaan hanya berputar pada kelompok-kelompok tertentu saja (QS Al-Hasyr:7). Rasulullah mengkritik orang-orang yang mengumpulkan dan menghitung-hitung harta tanpa memedulikan kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi (QS Al-Humazah:1-4; Al-Maa’uun:2-3).

Rasulullah mengkampanyekan pembebasan budak, kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan kesederajatan bangsa-bangsa. Dalam khutbah terakhirnya di Arafah, saat haji wadaĆ­, beliau menegaskan bahwa tak ada perbedaan antara hitam dan putih, antara Arab dan non-Arab. Semuanya sama di mata Tuhan. Tidak ada celah yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya, kecuali tingkat ketakwaan mereka kepada Tuhan-Nya (QS Al-Hujuraat:13).

Apa makna kemerdekaan bagi kita? Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam dapat mengambil makna kemerdekaan tersebut dari Alquran. Alangkah indahnya jika bangsa Indonesia mampu memaknai kemerdekaannya seperti yang diilhamkan Alquran. Rakyat merasakan kemerdekaan ekonominya dan meraih kesejahteraan bersama. Tidak ada lagi penghisapan ekonomi, baik oleh oknum pribumi maupun pihak asing.

Seluruh warganegara Indonesia sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Tidak ada lagi tawar menawar hukum dan perlakuan istimewa bagi kaum berduit dalam proses peradilan. Bagi kelompok difabel, tak ada lagi perbedaan untuk memeroleh akses ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan. Kemerdekaan tidak hanya dirasakan oleh manusia-manusia Indonesia di Jawa, namun juga manusia-manusia Indonesia di Aceh, pedalaman Irian Jaya, serta pulau-pulau terpencil. Manusia Indonesia di wilayah-wilayah ini harus dapat merasakan kemerdekaan yang ikhlas dan sejati, bukan kemerdekaan yang terpaksa dan semu, seperti yang mungkin mereka rasakan pada zaman Orde Baru. Dirgahayu Republik Indonesia!
Selengkapnya...

Senin, 23 Juli 2012

Berbagi kepada Sesama; Ruang Sosial Islam

Jika kita hitung tidak berapa lama lagi kita Muslim akan melaksanakan puasa wajib, selain puasa-puasa sunnah lainnya, bahwa di Ramadhan nanti puasa wajib dilandasi dengan iman dan ihtisab maka Ramadhan memberikan hikmah yang dalam, sedangkan bagi mereka yang berpuasa hanya untuk menggugurkan kewajiban maka yang kehadiran Ramadhan tidaklah membekas. Diantara hikmah Puasa Ramadhan sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an (QS. 2: 183) adalah menjadikan mukmin pelakunya mencapai derajat Muttaqin. “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Al-Imran: 134).

 
Parameter ketakwaan secara umum bisa kita klasifikasikan menjadi dua: dimensi ritus-teologis (hablun min Allah) dan dimensi sosial-praksis (hablun min Annas). Dari QS. Al-Baqarah ayat 2-4 dan QS. Ali-Imran ayat 134 bisa kita dapati bahwa parameter dimensi ritus-teologis adalah jika seseorang iman kepada keghaiban, mendirikan shalat, beriman pada kitab-kitab Allah dan adanya hari kiamat. Dalam keimanan kepada keghaiban terkandung keimanan kepada Allah, Malaikat, dan hal ghaib lain semacam takdir.

Dalam studi agama, keimanan pada keghaiban ini menjadi elemen utama setiap agama karena tanpa ketundukan terhadap kemisteriusan yang mempesona (mysterium tremendum) maka seseorang akan menjadi penganut agama yang tidak taat. Parameter lain dalam dimensi ini adalah seseorang cepat ingat kepada Allah jika ia berbuat salah.
Pada dimensi sosial-praksis, parameter ketakwaan adalah kemauan berbagi rizki, pengendalian amarah, dan pemberian maaf. Sepintas parameter ketakwaan ini seperti terlalu sederhana, namun nyatanya memang cukup sentral dalam membentuk kehidupan sosial yang baik. Pelbagai masalah sosial bisa dirujuk pada dua persoalan inti yang saling berkait: kemiskinan dan kriminalitas.
 
Kemiskinan terjadi karena ketimpangan dalam distribusi kesejahteraan. Sebagian kecil orang menikmati sebagian besar sumber daya, sementara sebagian besar manusia berebut sisanya. Sebagaimana diutarakan Amien Rais dalam bukunya “Selamatkan Indonesia”, pada akhir 90-an, 20% penduduk dunia yang hidup di negara maju menikmati 86% penghasilan dunia, sedangkan 20% paling bawah hanya menikmati 1% penghasilan dunia. Kebutuhan pendidikan di semua negara berkembang sebesar 6 milyar dollar AS setahun, kalah besar dibandingkan 8 milyar dollar belanja kosmetik warga Amerika, 11 milyar dollar konsumsi Es krim di Eropa dan 17 milyar dollar kebutuhan makanan hewan piaraan di Eropa dan AS. Ini adalah contoh kecil tentang kesenjangan ekonomi.

Jadi kemauan menafkahkan sebagian rizkinya untuk berbagi dengan sesama adalah kunci pemerataan kekayaan. Tentu perlu dibarengi dengan sistem ekonomi yang berimbang dan tidak hanya menguntungkan negara maju sebagaimana disampaikan Galbraith bahwa kesenjangan sosial-ekonomi di era globalisasi adalah kejahatan yang sempurna (perfect crime).Kemiskinan ini pada akhirnya mempengaruhi tingginya kriminalitas—dalam bahasa agama, kemiskinan lebih dekat dengan kekufuran. Orang yang terhimpit kebutuhan ekonomi lebih sulit menahan amarah, menyebabkannya terjebak pada dua kemungkinan: berbuat kriminal atau sakit jiwa. Fakta memperkuat pernyataan ini, penjara dan rumah sakit jiwa adalah dua tempat dengan penghuni melebihi kapasitas. Jika ketidakmampuan menahan amarah adalah penyebab kriminalitas, maka ketidakmampuan memberi maaf adalah penyebab buntunya solusi kriminalitas. Memberi maaf bisa memutus rantai konflik dan perselisihan, sebaliknya membalas dendam tidak memadamkan konflik namun malah memperpanjangnya.
 
Idul Fitri adalah kemenangan bagi mereka yang menemukan fitrahnya melalui ibadah puasa Ramadhan. Sehingga memaknakan Idul Fitri berarti menjadikan hikmah Ramadhan terwujud dalam keseharian kita. Tanpa perwujudan ini, Idul Fitri kehilangan makna hakikinya dan berubah menjadi sekedar ruang sosial yang tidak bernuansa ibadah. Idul Fitri menjadi tidak lebih dari fenomena sosial: kita bertemu keluarga dan saling mengucapkan selamat. Padahal seharusnya Idul Fitri lebih bernuansa teologis: manusia menemukan jatidirinya melalui ibadah Puasa, dan mewujudkannya dalam keseharian. Dimulai dari 1 Syawal. Taqabbalallahu Minna wa Minkum. Lihatlah Bagaimana kita memaknai sebuah relasi sosial ini dalam kondisi yang tidak sebenarnya?
Silahkan kemukakan pendapat Anda….

http://pakode.wordpress.com/
Selengkapnya...

Diskusi Publik “Menuju Pemilu 2014: Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan”

Lebih dari satu dekade reformasi telah digulirkan, namun hingga saat ini sejumlah masalah masih menimpa bangsa Indonesia. Di bidang politik, hukum, dan keamanan, bangsa kita adalah raksasa rapuh. Di sektor kesejahteraan rakyat, sejumlah luka bangsa masih belum hilang: angka kemiskinan yang tinggi, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal, serta anak-anak busung lapar yang belum hilang dari angka statistik. Di bidang ekonomi dan industri, kita tidak berdaulat atas nasib ekonomi kita sendiri. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab semuanya, salah satunya adalah kegagalan para elit kita memimpin bangsa ini. Tiadanya pemimpin yang berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya dan berperan sebagai problem solver bagi masalah lingkungannya, telah menyeret bangsa ini pada persoalan-persoalan yang tak berujung. 

Soekarno sebelumnya dielu-elukan rakyatnya, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Ia digoyang dan dijatuhkan oleh rakyat. Mati dalam kesendirian. Begitu juga Soeharto, bapak pembangunan ini pun tersungkur di masa akhir jabatannya. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid lebih menyedihkan lagi. Hanya seumur jagung memerintah. Kursinya dicopot beramai-ramai lewat sebuah mekanisme yang hampir tidak masuk akal. Karena itu, bangsa Indonesia memerlukan pemimpin baru. Pemimpin yang menjadi problem solver. Pemimpin yang lahir dari generasi baru, bukan dari generasi lawas pewaris kepemimpinan pola lama. Bukan juga berasal dari individu yang terlibat dan menyangga kepemimpinan masa lalu, melainkan seorang tokoh yang berani, jujur dengan cita-cita perjuangan, memiliki komitmen dan keteguhan terhadap ideologi, serta sabar dalam berjuang. Pemimpin yang mampu memberikan visi, arah, dan tujuan, membangun kepercayaan, memberikan harapan dan optimisme, serta memiliki keberanian melihat dirinya sebagai katalis. Pemimpin yang seperti ini membawa antusiasme, sumber daya, toleransi terhadap risiko, disiplin seorang entrepreneur, dan bukan pemimpin bertipe makelar yang hanya mencari untung bagi kepentingan pribadinya sendiri.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Pusat Penelitian Politik LIPI akan menyelenggarakan diskusi publik dengan judul “Menuju Pemilu 2014: Problematika Pemimpin dan Kepemimpinan Nasional Masa Depan” pada hari Rabu, 20 Juli 2011 yang bertempat di Ruang Seminar LIPI, Gedung Widya Graha lt 1. Acara dibuka oleh Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris sekaligus memberikan sambutan. Pembicara pertama yaitu  Eva Kusuma Sundari (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI) membahas tentang Bagaimana Parpol dan Parlemen Membentuk Pemimpin, yaitu:
  1. Parpol masih buruk yaitu belum punya sistem dan cara untuk menghasilkan pemimpin yang baik. Tidak punya indikator performa.
  2. Parpol belum punya gagasan reform untuk dirinya maupun bangsa, contohnya bisa dilihat pada ketiadaan pendidikan politik yang baik dalam badan parpol. Kader belajar sendiri di lapangan, tidak dibekali pendidikan, pengetahuan, dan skill berpolitik
  3. Parpol kuat diwarnai hubungan-hubungan personal berbasis kedekatan pertemanan dan kekeluargaan.
  4. Anggota parpol tidak loyal, loncat dari satu parpol ke parpol lain, bukti tidak ada ideologi dan indikator performa
  5. Parlemen dalam proses kerjanya juga tidak punya gagasan reform yang mendasar dan tidak punya indikator performa antara lain kerapkali bekerja berdasarkan suka atau tidak suka, dan hubungan kedekatan personal.
  6. Parlemen bekerja tidak berdasarkan meritokrasi yaitu memberikan penghargaan berdasarkan pencapaian merit (proven ability) seseorang yaitu bagaimana orang yang berkompeten.
  7. Parlemen cenderung mengarah kepada kleptokrasi, yaitu upaya-upaya memperkaya diri dari uang publik.
Selain itu, Eva juga membahas tentang Bagaimana Peran Perempuan Dalam Politik dan Kesempatan Menjadi Pemimpin yaitu:
  1. Perempuan di parlemen, masih kecil perannya  (dampaknya hampir tdk ada)
  2. Secara umum kesempatan perempuan Indonesia untuk menjadi pemimpin bangsa masih tertutup
  3. Perempuan dimana kalau tidak punya hubungan pertemanan, kekeluargaan, klan maka kecil kesempatannya untuk berpolitik dan menjadi pemimpin
  4. Sistem pemilu tidak adil pada perempuan antara lain dari kesempatan awal sampai pada proses menjadi bagian dari sistem politik.
Ada beberapa rekomendasi menurut anggota DPR RI ini, yaitu:
  1. Sistem pemilu: no money politics, adil gender, berdasarkan kemampuan, bukan suara terbanyak tapi nomor urut berdasarkan kemampuan.
  2. Parpol Reform: Kaderisasi parpol yang sistematis dan terukur.
  3. (Pendidikan politik yang baik dan adil gender untuk masyarakat luas).
  4. Mengupayakan sistem merit yang solid dalam parlemen dan parpol (penghargaan berdasarkan kompetensi) yaitu performance indikator yang jelas.
Pembicara selanjutnya yaitu Budiarto Shambazy, ia membahas tentang “Situasi dan Prospek Politik Dewasa Ini”. Menurutnya politik nasional memasuki masa krisis yang belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini. Sejak Oktober 2010 pemerintah, seperti diungkapkan dengan tepat oleh WikiLeaks, praktis sudah tidak berjalan lagi alias lumpuh. Penyebab utama kelumpuhan pemerintah adalah sosok Presiden SBY yang tidak efektif lagi karena watak kepemimpinan yang lemah. Kevakuman kepemimpinan nasional tersebut juga gagal diisi oleh Wakil Presiden Boediono. Keraguan terhadap keabsahan hasil Pemilu-Pilpres 2009 juga tampak jelas pada proses penyidikan Skandal Century oleh DPR. Keputusan Rapat Paripurna DPR amat jelas: aparat hukum (dalam hal ini Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung) harus menyidik dan menyelidiki hubungan antara bail out Rp 6,9 trilyun Bank Century dengan dugaan politik uang yang dilakukan oleh partai dan capres-cawapres tertentu.

Wartawan senior Kompas ini menilai kemungkinan yang terjadi pada saat pilpres 2014, barangkali sangat bisa terjadi adalah proses konstitusional dan political bargains di kalangan elit yang memerintah, yang berpusat di masalah keabsahan Pemilu-Pilpres 2009, akhirnya akan berujung pada penyelenggaraan pemilu-pilpres ulang sebelum 2014. Pemilu-pilpres ulang bisa diselenggarakan secara murah, cepat, dan jurdil jika melibatkan bantuan/keterlibatan pihak-pihak asing seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN, dan negara-negara sahabat. Kita menengarai terdapat puluhan juta pemilih yang dirampas haknya, padahal rakyatlah yang berhak menentukan pilihan masing-masing—bukan lewat cara-cara persekongkolan elit politik di dalam kompleks MPR-DPR, kudeta, atau Pemilu-Pilpres 2014 yang tak mustahil amburadul lagi pelaksanaannya seperti tahun 2009.

Pembicara ketiga Sofjan Wanandi yaitu salah satu Pengusaha yang mengutarakan pendapat serta pemikirannya pemimpin dan kepemimpinan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Selain itu, Bpk. Sofjan Wanandi memberikan pandangannya terhadap kondisi bangsa Indonesia dari sudut pandang seorang pelaku ekonomi. Para pengusaha perlu mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam mengembangkan sektor usahanya agar dapat menarik investor dari luar maupun dalam negeri. Selama ini, Pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pengusaha dalam menjalankan perekonomian maupun sektor bisnis dalam pemerintahan. Menurut Sofjan, bila pemerintah bisa bekerjasama dengan pengusaha, maka baik sektor perekonomian dan bisnis dapat berjalan dengan baik dan lebih efisien.


Pembicara terakhir yaitu Prof. Dr. Syamsuddin Haris dengan tema “Krisis Kepemimpinan Politik dan Tantangan 2014”. Menurutnya bangsa kita saat ini tengah mengalami krisis kepemimpinan politik, baik tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat nasional, krisis kepemimpinan politik itu tidak hanya tampak pada kepemimpinan lembek Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melainkan juga terlihat dari kinerja kepemimpinan partai-partai politik hasil Pemilu 2009. Sedangkan di tingkat lokal, krisis kepemimpinan politik tampak dalam kinerja kepala-kepala daerah yang minim kreatifitas dan terobosan, dan sebaliknya justru tersandera berbagai kasus hukum akibat korupsi dan penyalahgunaan dana APBD. Ia membahas tentang enam dimensi krisis kepemimpinan politik yang bisa diidentifikasi dan tengah melanda bangsa kita dewasa ini, yaitu Krisis komitmen etis, Krisis keteladanan, Krisis kecerdasan dan kreatifitas, Krisis kapasitas manajerial, Krisis tanggung jawab, dan Krisis kewibawaan.

Selanjutnya, peneliti yang akrab disapa pak Haris ini, membahas bagaimana partai-partai politik adalah institusi paling bertanggung jawab dalam menghasilkan para pemimpin politik bangsa kita saat ini. Menurutnya, para politisi dan pemimpin parpol yang “bermasalah” tidak memiliki hak moral untuk menjadi calon pemimpin bangsa kita di masa depan. Realitas politik sejauh ini memperlihatkan, para politisi dan pemimpin parpol yang “bermasalah” lebih merupakan beban ketimbang solusi bagi bangsa kita. Terakhir ia membahas bagaimana adanya kerjasama dan konsolidasi sipil dari berbagai elemen kekuatan masyarakat sipil. Kerjasama dan konsolidasi itu tidak hanya diperlukan untuk mencari sumber kepemimpinan politik baru, melainkan juga guna mendorong dan mendesak parpol-parpol kita yang masih peduli agar benar-benar berpihak pada  nasib rakyat kita dan masa depan bangsa ini.

http://www.politik.lipi.go.id/
Selengkapnya...