• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Senin, 06 Februari 2012

Refleksi 65 Tahun HMI; Menggugat Efektivitas Organisasi Mahasiswa

Sekitar 65 tahun yang silam, di Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia atau UII) Yogyakarta, seorang pemuda bernama Lafran Pane, mahasiswa tingkat I UII Ia mengadakan pembicaraan dengan teman-temannya mengenai gagasan membentuk organisasi mahasiswa bernafaskan Islam dan setelah mendapatkan cukup dukungan. Pada November 1946, ia mengundang para mahasiswa Islam yang berada di Yogyakarta baik di Sekolah Tinggi Islam, Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada dan Sekolah Teknik Tinggi, untuk menghadiri rapat, guna membicarakan maksud tersebut.

Rapat-rapat ini dihadiri kurang lebih 30 orang mahasiswa yang di antaranya adalah anggota Persyerikatan Mahasiswa Yogyakarta dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Rapat-rapat yang digelar tidak menghasilkan kesepakatan. Namun Lafran Pane mengambil jalan keluar dengan mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir oleh Husein Yahya.

Pada 5 Februari 1947 (bertepatan dengan 14 Rabiulawal 1366 H), di salah satu ruangan kuliah Sekolah Tinggi Islam di Jalan Setyodiningratan 30 (sekarang Jalan Senopati) Yogyakarta, masuklah Lafran Pane yang langsung berdiri di depan kelas dan memimpin rapat yang dalam prakatanya mengatakan¡: "Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena semua persiapan yang diperlukan sudah beres". Sejak itu resmilah berdiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tidak terasa, organisasi ini sekarang telah berusia 65 tahun.

Mungkin terlalu panjang untuk mendeskripsikan peran HMI dalam percaturan politik dan gerakan mahasiswa di Indonesia. Tiap masa dan rentang waktu pergantian elite kekuasaan, HMI selalu menempatkan diri sebagai bagian dari proses tersebut. Sebagai organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia, HMI tak punya pilihan lain, ia harus sedemikian rupa menunjukkan kalau dirinya bersih, terhormat, dan bermoral tinggi. Bahwa HMI tidak pernah mengajarkan kader-kadernya untuk jadi penjahat, maling, koruptor, dan sejenisnya. Hal ini penting agar HMI tidak mengalami meminjam Francis Fukuyama the end of history. 

Tentu saja dalam usia seperti itu terlalu banyak harapan yang dibebankan kepada HMI. Hal yang lumrah kemudian jika Jenderal Soedirman menyebut HMI sebagai "Harapan Masyarakat Indonesia" meski Nurcholis Madjid (Cak Nur) pernah berkata bahwa HMI turut menghancurkan dan memperpuruk kehidupan bangsa. Tiga inti yang selalu diperkuat oleh HMI adalah penguatan internal organisasi, perkaderan, dan penyikapan terhadap realitas keumatan. Rumusan ini kemudian diperkuat dengan pengejewantahan Nilai Identitas Kader (NIK) atau Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang pernah dicetuskan Nurcholis Madjid.
Di dalam buku Ansor Harahap berjudul Melawan Tirani Lokal (2011), pada pengantar editornya saya menulis bahwa pasca-reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami sebuah situasi yang menyakitkan karena tersesat dalam belantara hitam bernama kepentingan. Ini sangat jelas terlihat dan dibaca tentang masih amburadulnya konsolidasi gerakan mahasiswa. 

Gerakan mahasiswa tahap selanjutnya mengalami krisis identitas. Perbedaan visi yang muncul pada gerakan mahasiswa seringkali mengarah pada persoalan friksi-friksi yang sifatnya teknis. Kenyataan demikian menyebabkan friksi-friksi gerakan mahasiswa kehilangan arah dan bentuk.

Hedonisme Sesaat
Dinamika gerakan mahasiswa pun saat sekarang lebih banyak berada pada ruang hedonisme sesaat. Maka tidak jarang, organisasi kemahasiswaan di bidang olahraga, kesenian, minat dan bakat, lebih mendapat tempat daripada organisasi mahasiswa yang cenderung dinilai bersifat politik praktis. Birokrasi kampus juga lebih memberi ruang kepada organisasi mahasiswa dengan spesifikasi minat dan bakat tersebut sambil berharap tidak ada riak yang terjadi di kampus.

Ada beberapa catatan penting yang bisa dilihat dari kondisi ini yakni terputusnya komunikasi sistemik antara generasi pasca-1998 dan seniornya, khususnya Angkatan 1998. Kaderisasi aktivis berlangsung sporadis dan umumnya intra kampus.Yang menggelitik, pasca-1998 kiprah organisasi mahasiswa ekstra kampus (HMI, PMKRI, GMNI, PMII) nyaris tak terdengar. Gerakan mahasiswa juga telah terjadi perubahan minat. Patut dipertanyakan, sejauh mana kemudahan akses informasi melalui ponsel dan internet dengan area hotspot di kampus-kampus mendorong terbentuknya jaringan komunitas yang menjadikan idealisme kerakyatan sebagai basis gerakan.

Adanya pandangan bahwa "musuh bersama" gerakan mahasiswa harus berbentuk rezim politik. Adalah keberuntungan sejarah bahwa akibat tekanan rezim politik, generasi 1908 hingga 1998 melahirkan monumen-monumen besar perjuangan mahasiswa. Namun, setiap zaman melahirkan aktivis melalui pemaknaan zeitgeist (jiwa zaman). Pasca-1998, gizi buruk, jeleknya layanan kesehatan dan fasilitas pendidikan, bahaya korupsi, tingginya pengangguran terdidik, dan aneka persoalan lingkungan tetap merupakan tantangan yang layak dijadikan "musuh bersama" gerakan mahasiswa.

Di dalam realitas sakit itu, HMI yang telah berusia 65 tahun harus lebih berperan jauh dalam usaha perbaikan kondisi keumatan secara gradual. Meski dianggap penting dan utama, mungkin pola gerakan HMI tidak lagi harus semata-mata berpedoman kepada proses kaderisasi saja. Pola kaderisasi semestinya tidak berhenti pada kuantitas tanpa mengukir kualitas gerakannya. 

Disini HMI seharusnya sudah sepatutnya bercermin kepada semangat radikalisme gerakan mahasiswa yang kini cenderung terpolarisasi dalam kelompok dan aliran. Radikalisme bukan diartikan pada tataran anarkisme seperti yang kerap terlihat dalam gerakan mahasiswa. Karena pada aspek ini, HMI tentu tidak akan mau tergerus di dalam peradaban yang sumbang. Peradaban yang harus diraih HMI adalah intelektualitas.Sigmund Freud berkata "peradaban dimulai ketika seorang yang marah, melontarkan kata-kata daripada melempar batu". HMI sekarang berada dalam pola gerakan mahasiswa yang tidak pernah sampai kepada tujuan akhir. Meminjam tulisan Daniel Dhakidae di Prisma, gerakan mahasiswa ibarat ombak yang tidak pernah berhasil mencapai pantai. Gerakan itu pecah berkeping-keping, melewati batu-batu karang atau pasir-pasir penghalang gerakan mereka"Lantas apa yang dapat diperbuat HMI di usianya 65 tahun ini? Jika mencermati pola gerakan secara nasional, tentu saja tantangan HMI begitu besar. Tantangan yang di depan mata setiap saat adalah lunturnya kepercayaan mahasiswa kepada HMI. Sudah jadi rahasia umum misalnya di beberapa kampus ternama di Jawa, gerakan HMI telah terpinggirkan. Kepercayaan mahasiswa perlahan namun pasti mulai memudar.

Seiring dengan itu, beberapa contoh kasus alumni HMI yang tersangkut hukum kemudian dijadikan senjata empuk untuk menghindar dari organisasi ini. Apalagi kita pahami bersama bahwa saat sekarang, relasi mahasiswa dengan lingkungannya juga semakin berubah. Kelompok diskusi mahasiswa tidak lagi terfokus kepada problem kemiskinan, ketidakadilan dan demokrasi, melainkan menuju gerakan dakwah atau keagamaan. Realitas ini sangat jamak kita temukan di kampus-kampus negeri, tidak terkecuali di Sumatera Utara.Sejatinya memang sulit untuk menafikan bahwa alumni HMI sangat berperan besar dalam proses politik di Indonesia ini. Bahkan semacam pembenaran bahwa riuh rendah politik di tanah air semata-mata karena peran kader-kader HMI di institusi negara tersebut. Tentu saja bukan karena alasan itu makanya alumni HMI berhimpun dalam wadah Korps Alumni HMI (Kahmi).
Semua realitas yang bertajuk HMI tidak berhenti pada mahasiswa, tetapi telah masuk ke wilayah negara dan bangsa. Akankah di usianya yang 65 tahun ini, HMI masih menafikan semua fakta tersebut? HMI boleh yakin usaha sampai, akan tetapi semuanya harus diperbarui dengan memantapkan kualitas kadernya. Selamad milad HMI ke-65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar