Dalam sebuah Diskusi dengan Seorang Budayawan ” D. Zawawi Imron (DZ) ” di
Yabina Jember, ia pernah bertanya kepada peserta diskusi (seminar), “Sebenarnya
HMI dengan Cak Nur itu lebih hebat yang mana?” kemudian Zawawi berpendapat
“Menurut saya, Cak Nur jauh lebih besar, jauh lebih hebat dari HMI!”
Dulu, waktu Soekarno berkuasa, seolah-olah Indonesia identik dengan
Soekarno, dan hal yang sama juga terjadi ketika Soeharto berkuasa. Pandangan di
atas dibarengi sedikit pengertian salah kaprah, bahwa rejim Soekarno hanya akan
berumur sepanjang usia Soekarno. Demikian pula dengan rejim Soeharto, yang
kekuasaannya akan berumur sepanjang usia Soeharto.
Hal yang lebih salah kaprah lagi, negara (Indonesia) diidentikkan dengan pemerintah,
padahal pemerintah hanyalah penyelenggara negara. Dus artinya, negara akan
abadi, sedangkan pemerintahan bisa berganti-ganti.
Amien Rais dulu menyebut “fenomena kayak beginian” sebagai “syirik
politik,” dan karena itu pandangan seperti itu harus diruntuhkan. Jika kita
konsekuen dengan cara berpikir yang realistis seperti itu, maka akan SANGAT
MENYESATKAN jika dikatakan HMI mati bersama wafatnya Cak Nur.
Memang cak Nur hebat, sanggup merumuskan NDP, dan meninggalkan warisan yang
amat berharga dalam perjalanan sejarah HMI. Namun kebesaran figur Noercholish
tak berarti harus berujung pada suatu cara pandang yang miopik, yang rada-rada
rabun gitu, dalam memandang fenomena HMI. Mengidentikkan HMI dengan Cak Nur
kurang tepat, meski tidak salah. Letak kurang tepatnya adalah… HMI memiliki
tradisi sejarah yang panjang, sangat pluralis, dan dibesarkan dalam
situasi-situasi yang crucial, diantaranya bahkan dalam suasana negara penuh
konflik.
Toh, Noercholish tak selalu hadir dalam suasana seperti itu. Namun Cak Nur
diuntungkan oleh sejarah karena dari sebagian “suasana crucial itu” Cak
Nur hadir, dan mirip sebagai “seorang penempa baja sejarah hmi ketika baja itu
tengah membara.” Ingat, Noercholish menjadi ketua umum PB HMI pada periode
1966-1971, sebuah periode yang sangat menentukan dalam sejarah Indonesia,
sebuah periode transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, yang bahkan
menurut istilah Cak Nur sendiri sebanding dengan sejarah civil war atau
perang sipil dalam sejarah Amerika Serikat.
Hasil dari peristiwa besar itu, di Indonesia komunisme terhapus dari
panggung politik Indonesia, dan umat Islam bersama ABRI menjadi tulang punggung
orde baru dan memegang amanat menjalankan kekuasaan negara. Di Amerika Serikat,
civil war menghapus sistem perbudakan, mengibarkan kemenangan demokrasi,
dan mengubur feodalisme.
Selanjutnya, HMI begitu dalam bermitra dengan kekuasaan Orde Baru, sebagian
juga karena strategi yang dirancang Cak Nur sendiri, yang menghendaki agar umat
Islam tidak terbiasa dengan mentalitas “di luar pagar”…artinya, tidak terbiasa
berada di luar birokrasi negara dan terus menerus mengembangkan gagasan tentang
negara Islam, yang ujung-ujungnya membawa umat Islam kepada pemberontakan
bersenjata.
Mungkin Cak Nur tidak terlalu jauh membayangkan bahwa strateginya itu di
belakang hari terbukti menjadi beban, khususnya, bagi anak-anak HMI. Memang,
cak Nur bersama rekan-rekannya sesama intelektual muslim dan aktivis HMI telah
merancang berdirinya ICMI, suatu bentuk “organisasi proto partai politik” yang
dibungkus sebagai gerakan sosial umat Islam, karena waktu itu tidak mungkin
umat Islam mendirikan partai politik di luar PPP, Golkar, dan PDI.
Cak Nur mewariskan ide-ide besar, juga strategi-strategi yang bersifat
gradual, dalam mengintegrasikan secara penuh umat Islam Indonesia ke dalam
Republik Indonesia. Semua anak HMI mahfum tentang hal itu, kecuali yang
diragukan ke-HMI-annya.
Maka menjadi jelas, bahwa struktur mental orang Indonesia yang
paternalistik, akan mudah membentuk kesadaran anti demokratis dalam memaknai
sepak terjang Cak Nur. Dalam bahasa sederhana, Cak Nur wafat, HMI tamat.
This is really a very misleading judgement!
Tengoklah sendiri, ketika Mas Anas Urbaningrum terpilih dalam Kongres HMI di
Yogya, dan suasana kongres diwarnai ricuh-ricuh, dengan enteng Cak Nur
bilang….HMI itu udah kayak besi tua, karatan…
Beberapa tahun sebelumnya, Cak Nur masih memuji bahwa suasana kongres yang
diwarnai ribut-ribut sesungguhnya mencerminkan dinamika di internal HMI, sebuah
dinamika yang memiliki arti positif jika disalurkan dengan benar.
Ini semua membuktikan bahwa membandingkan HMI dengan Cak Nur pada era 80-an
ke atas–suatu era yang jauh berbeda dengan era Cak Nur–sangat tidak
proporsional.
Cak Nur lebih besar dari HMI?
Ngapain kita musti masuk ke wilayah pertanyaan yang nggak produktif seperti
itu. Noercholish toh besar karena HMI juga. Memisahkan HMI dari Noercholish,
mengutip ungkapan almarhum Jenderal AH Nasution, sama saja dengan memisahkan
air dengan ikan.
Jujur saja, kita nggak usah hipokrit-lah bahwa karena kebijakan yang
digariskan terhadap HMI oleh generasi Noercholish dulu…justeru menjadi salah
satu sebab utama mengapa HMI menjadi seperti sekarang!
Jika ada kesalahan, maka kesalahan terbesar justeru pada perkaderan HMI
sendiri, yang membuat HMI menjadi gagap terhadap berkembangnya era
demokratisasi di Indonesia, terlebih-lebih karena para kadernya terlalu
terbiasa meniru abang-abangnya yang pingin berkuasa melalui birokrasi negara.
Memang… untuk ini Noercholish bisa disebut bersalah sekaligus berjasa…tapi
itulah harga sebuah pilihan politik!
Rasa marah, minder, gemes, dan mungkin muak di kalangan orang-orang yang
pernah aktif di HMI terhadap sepak terjang HMI dewasa ini, terutama setelah
mengamati Kongres HMI di Makassar, sangat masuk akal dan bisa dimengerti.
Memang, HMI perlu perubahan revolusioner!
Sayangnya, momentum terjadinya perubahan seperti itu tidak tersedia lagi.
Demokrasi menghendaki kesabaran, keuletan, dan ketelatenan…terutama dalam
membangun konsensus bagi lahirnya tradisi organisasi yang baik. Memasang
kepercayaan tinggi bahwa HMI akan mampu melakukan hal itu memang sangat
beresiko. Investasi ke arah itu memerlukan syarat mutlak, antara lain: Masa
depan anak-anak HMI harus ditentukan oleh anak-anak HMI sendiri, bukan oleh
alumninya, oleh kelompok-kelompok tertentu di luar HMI, apalagi oleh kekuasaan
negara sebagaimana di waktu lalu. HMI harus memilih jalan yang tegas, yakni
sebagai anak umat Islam sekaligus anak bangsa Indonesia. Ini semua membuka peluang
luar biasa besarnya bagi “rekayasa masa depan HMI,” karena hampir
seluruhnya mengandalkan kreatifitas yang bersifat lokal.
Meniru Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), sejak lama
setelah berakhirnya kepemimpinan Datuk Anwar Ibrahim di ABIM yang sangat
bersejarah, telah dimapankan model-model organisasi yang bersifat federatif,
dan sepenuhnya menyatu ke dalam barisan umat Islam Malaysia, sekaligus menjadi
penyuplai utama dalam sistem politik Malaysia yang didominasi para puak Melayu.
Di Indonesia, masalahnya sedikit rumit karena HMI harus menerima kenyataan
bahwa umat Islam Indonesia tidaklah satu, terpecah-pecah ke dalam berbagai
organisasi, dan masing-masing dalam hubungannya satu sama lain seringkali
memiliki sejarah yang tak jarang diwarnai konflik.
Mungkin….suatu saat akan ada orang mengatakan… HMI nggak perlu ada, toh
sudah ada IMM yang Muhammadiyah banget, atau PMII yang NU banget itu… atau ada
lagi organisasi mahasiswa onderbouw Ormas Islam yang lain…
Pandangan seperti ini sama simplisistis-nya dengan pandangan Zawawi Imron!
HMI hari ini memang menghadapi krisis yang berat, dan begitu banyak kader
HMI, atau alumni HMI yang kehilangan kepercayaan diri, diserang rasa minder
yang hebat, dan mengutip cak Nur, mengidap semacam psikose yang symptom atau
gejalanya berupa “adegan banting gelas” karena “minuman yang dijanjikan
terasa manis dan segar ternyata pahit dan menyakitkan tenggorokan.”
Bagi sebagian besar keluarga HMI “sindroma banting gelas” ini masih akan
berumur lama, karena sindroma ini baru akan bisa disembuhkan jika HMI mampu
melakukan reformasi mendasar, baik dalam hal perkaderan, pedoman organisasi,
attitude, keberpihakan, dan koreksi terus menerus terhadap perjalanan
sejarahnya.
HMI adalah sebuah institusi…sama seperti TNI juga sebuah institusi.
Reformasi institusional dalam sejarah terbukti baru berjalan efektif jika
terjadi pertemuan dua faktor utama, yaitu faktor obyektif dan faktor subyektif.
Faktor obyektif adalah kondisi eksternal yang ada di luar HMI, dalam hal ini
perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam masyarakat, yang mempengaruhi
pula terjadinya perubahan dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia.
Sedangkan faktor subyektifnya adalah kesadaran yang muncul di kalangan para
kader HMI, yang merasa terpanggil oleh tugas sejarah, untuk memprakarsai
langkah-langkah reformasi di internal HMI sendiri.
Tentu saja… Kita bersukur masih ada orang seperti Zawawi Imron yang
“maksain” membanding-bandingkan kebesaran HMI sebagai institusi dengan figur
Noercholish Madjid sebagai pribadi.
Kita bersukur karena lontaran itu diungkapkan oleh orang yang kayaknya
berada di luar HMI–dus artinya pemahamannya terhadap sejarah HMI bisa kita
maklumi jika sangat terbatas–tetapi masih berada dalam lingkaran keluarga besar
umat Islam Indonesia.
Penilaian semacam itu semestinya bisa memberi arti positif kepada para kader
HMI, terutama dalam memperkuat komitmennya dengan memperbaiki secara terus-menerus
proses-proses perkaderan yang ada di HMI, dan tidak menyerah atau pasrah kepada
situasi.
Insyaallah…. dalam beberapa tahun ke depan, kader-kader semacam itu akan
mampu memacu geliat HMI sebagai sebuah organisasi perkaderan, yang kehadirannya
masih tetap aktual dan kontekstual dengan tuntutan situasi dewasa ini.
Akhirnya … perlu di tegaskan bahwa SAMA SEKALI TIDAK ADA DORONGAN DAN
SUASANA APOLOGETIK dari posting yang panjang ini….
Kita semua prihatin melihat keberadaan HMI saat ini, tapi jangan sekali-kali
kita kehilangan kepercayaan kepada masa depan. Justeru karena kita ber-Islam,
ber-Iman, dan ber-Ikhsan… kita harus tetap realistis sekaligus optimis
memandang masa depan.
Laa Takhof Wa Laa Takhzan….
Yakin Usaha Sampai..
http://pbhmi.org/hmi-dan-nurcholish-madjid/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar