Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebuah organisasi kemahasiswaan tertua
saat ini di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi yang berusia hampir
sama dengan usia Republik ini, yang tepatnya lahir pada tanggal 5
Febuari 1947 tentu sudah begitu banyak hal yang terjadi pada organisasi
ini.Pertumbuhan, perkembangan, kejayaan bahkan sampai pada kemunduran
dan perpecahan pernah dialami pada organisasi yang didirikan oleh bapak
HMI yaitu Prof. Lafran Pane di sebuah ruangan kuliah STI di Jogjakarta,
tepatnya UII kini, 66 Tahun silam. Kita tentu masih ingat bagaimana
tahun 70-an hingga 80-an HMI mengalami fase kejayaan yang banyak
melahirkan tokoh-tokoh/cendikiawan muslim serta aktivis lokal maupun
nasional di republik ini. Inilah benih-benih remontisme masa lalu yang
sering kita banggakan, kita tentu masih juga ingat bagaimana pada
Kongres di Padang HMI terpecah dua antara HMI DIPO dan HMI MPO akibat
azas tunggal yang di tetapkan oleh rezim yang berkuasa saat itu,
terlepas dari segala motif dan tujuannya.
Baru di kongres di Palembang ishlah dua kubu HMI ini terjadi secara
struktural walau hanya berhasil pada tataran KAHMI (Korps Alumni HMI)
nya saja, semoga kedepan bisa lebih dipertegas dan berbagai problematika
yang terjadi di Internal HMI, tidak terlepas dari warisan
konflik-konflik yang tidak mencerdaskan tersebut, baik Dualisme
Kepemimpinan dimasa lalu maupun citra HMI yang tergerus dari kader
intelektual menjadi aktivis demonstran yang keluar dari subtansi fungsi
dan peran HMI yang terkesan bergerak-gerak saja, tanpa ada sebuah
langkah yang kongkrit buat menjawab problematika keumatan maupun
kebangsaan, baik pada level komisariat sampai ke pengurus besar kita.
Ini jelas memberikan preseden yang buruk bagi HMI di masyarakat.
Tentunya kita juga masih ingat seperti kata jendral besar kita Jendral
Sudirman bahwa “HMI yaitu Harapan Masyarakat Indonesia”.
Kondisi HMI yang sangat mengkhawatirkan pada saat ini bukannya tidak
direspon oleh banyak pihak. Ada begitu banyak respon yang terjadi, baik
itu respon negatif yang mengatakan bahwa sudah selayaknya HMI dibubarkan
atau respon positif yang masih optimis dengan perbaikan HMI. Kita yang
masih peduli dengan keberlangsungan organisasi ini sudah selayaknya
merespon secara positif masalah yang terjadi di organisasi ini. Respon
positif itu dapat kita tunjukkan dengan pemberian solusi-solusi atas
masalah yang terjadi di HMI hari ini, dimana pemberian solusi harus
mengacu kepada akar masalah yang terjadi di HMI. Pertanyaan selanjutnya
yang timbul adalah, apa akar masalah hingga HMI seperti ini?. Akar
masalah tersebut jelas bukan berada dari luar organisasi ini, tetapi
justru berada di diri setiap kader HMI, karena kita sendirilah yang
menjalankan roda Organisasi ini. Sebab masa lalu adalah orang tua kita
dan kita adalah anak untuk masa depan.
Kita harus jujur mengatakan bahwa hari ini pelaku yang membuat HMI
menjadi mundur adalah diri kita sendiri, kita yang mengatakan diri kita
sebagai kader HMI ternyata tidak mampu menjalankan tugas dan fungsi
sebagai kader sebagaimana mestinya. Banyak analisa yang mengatakan kita
terlalu larut dalam euforia dan terbuai dengan ke jayaan masa lalu dan
HMI itu sendiri kehilangan senjata Trisula nya yakni:
1. Budaya intelektual yang semakin lema
2. Wawasan ke Islaman yang kurang
3. Wawasan ke HMI-an yang mundur pada sebagian besar kader HMI
Tentunya saat ini kita di hadapkan dengan dua pilihan yang pasti, kita
berdamai dengan realitas yang ada atau kita berjuangan untuk melawan
realitas untuk meujudkan karakter kader HMI yang intelektual dan
beridiologis dalam mengemban mission-mission HMI yang jelas tekmaktub
dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI ”Terbinanya insan Akademis, Pencipta,
Pengabdi yang Bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”. Inilah misi suci yang
diemban oleh seluruh kader HMI setanah air. Kondisi diatas terjadi
hampir di seluruh cabang-cabang maupun komisariat-komisariat
se-Indonesia.
Kalau kita mencoba melihat kondisi HMI sebagai contoh pengamatan yang
terjadi di HMI Cabang Pekanbaru dewasa ini, secara jujur kita harus
mengakui terjadi Degradasi dan Frustasi intelektual kader-kader gejala
pisikologisnya ditandai kurang semangat dan lemahnya milintansi kader.
Banyak faktor yang mengakibatkan kodisi-kondisi itu, baik faktor luar
maupun faktor dalam tubuh HMI cabang itu, sedikit kita mengurai kondisi
luar HMI yang tidak kondusif yang terlihat dari kondisi kampus yang
tidak mendukung bagi kemajuan HMI ataupun watak Mahasiswa yang Hedonis
serta Apatis di perparah dengan adanya indikasi intervensi-intervensi
senior pada ranah-ranah yang bersifat politis serta ”kurangnya sebuah
apresiasi terhadap ide dan gagasan gagasan baru kader dalam
beraktualisasi diri yang positif”.
Di tubuh HMI kita banyak menghabiskan energi dalam hal warisan-warisan
konflik kepentingan masa lalu (komflik kongres maupun confercab) yang
berimplikasi terhadap cabang-cabang dan akan bermuara terhadap
komisariat yang merupakan ujung tombak HMI. Miss-comunikasi kerab
terjadi baik kader terhadap alumni maupun PB kepada cabang-cabang
ataupun cabang kepada komisariat yang jelas-jelas adalah ujung tombak
pengkaderan HMI. Kurangnya kesadaran kader terhadap fungsi dan tanggung
jawab kader, serta upaya distribusi kader yang sering terabaikan tidak
hanya distribusi yang sifatnya penguasaan jabatan-jabatan strategis di
kampus-kampus tapi juga distribusi kader yang telah berproses di HMI
yang minim perhatian juga mandeknya regenerasi istruktur pengelola
latihan serta kurangnya upaya trasformasi ilmu dari pendahulu-pendahulu
yang tanpa kita sadari telah terabaikan.
Kondisi diatas adalah gambaran realitas yang terjadi hampir di sebagian
besar Cabang dan Komisariat, jika kita memilih berdamai dengan realitas
diatas, perubahan tentunya sesuatu hal yang mustahil akan terjadi
(utopia) semata, dengan semarak dies natalis (Milad) HMI-64 pastinya
setiap kader punya semangat dan rasa cinta akan impian perubahan ke arah
yang lebih baik dalam arti kata berjuang melawan realitas yang ada
sebab diam tanpa sebuah iktiar dalam perjuagan itu sama halnya mati
sebelum mati.Tentunya sebuah perjuangan yang baik mesti memenuhi
syarat-syarat tertentu yakni mesti ada upaya rekayasa yang terorganisir,
sistematis maupun terpimpin.
Solusi kongkrit untuk mengatasi problematika yang terjadi di atas untuk
meujudkan kader yang intelektual dan beridiologis harus di lakukan
perencanaan-perencanaan yang strategis yang meliputi:
1. Upaya singkronisasi antara kebutuhan kader dan tercapainya
misi-misi HMI (mission sacree), dengan program pemetaan minat bakat
mahasiswa & kader tersebut,yang menitik beratkan kepada upaya
menjawab “students need & students interest”.
2. Konsilidasi dan silaturahim internal maupun exsternal HMI baik
terhadap lintas kader maupun antar kader dan alumi untuk menatap arah
dan tujuan HMI kedepan dengan program komunikasi dua arah dan sejajar.
3. Memotivasi peran-peran kekohatian dalam upaya meujudkan
pribadi-pribadi perempuan yang muslimah propesional yang berkarakter
melalui pelatihan-platihan dan seminar-seminar baik itu tataran lokal
maupun lintas regional, serta nasional dalam upaya menjawab isu-isu
gender. seputar keperempuaanan.
4. Mensuport terciptanya regenerasi instruktur dalam pengelolaan
latihan seiring dengan komitmen yang dihasilkan dalam munas pertama BPL
di depok
5. Penguatan intelektual dan penanaman basis ideologis kader pasca
LK1 dan LK2 dengan program FGD dan kajian-kajian keislaman jum’atan
serta bedah NDP yang bernilai subtansi dasar perjuangan kader.
6. Menggalakkan lembaga-lembaga kekaryaan yang telah fakum seperti
Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), dan lembaga yang berbasis keilmuan
lainnya di seluruh cabang dan komisariat seindonesia
7. Upaya penyikapan dan pengelolaan isu-isu kekinian baik tataran
kampus, lokal maupun nasional & internasional dengan sinkronisasi
peran kader dan alumni, upaya mewujudkan peradaban baru Indonesia yang
Darusalam (terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT).
8. Serta upaya yang tersistematis untuk melakukan pendataan kangotaan
yang berbasis online se-Indonesia upaya peralihan dari paradigma sistem
ke paradigma online. Seiring dengan membaca semangat zaman yang
berbasis teknologi
Dengan peningkatan kesadaran atas fungsi dan tanggung jawab kader-kader
HMI maka sudah saatnya KITA beralih dari fase kemunduran menuju fase
kebangkitan dalam upaya menciptakan kader-kader HMI yang Intlektual dan
Idiologis sebab kita mesti yakin dengan kemampuan yang kita miliki
dengan kekuatan keyakinan akan melahirkan keberanian dalam menghadapi
tantangan dan ancaman masa depan yang menjadikan sesuatu yang mustahil
menurut akal, akan menjadi mungkin dengan spirit Illahiah dan iktiar
inilah hakekat tertinggi dari Yakin Usaha Sampai (YAKUSA), amien.
Epistemologi pemikiran NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan)
Kalaulah kita sepakati bahwa Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) kader
HMI yang sejatinya lahir dari rahim kandungan ayat suci Al-Qur’an itu,
yang terdiri dari poin-poin dasar keislaman yang prinsipil dan
strategis, yang lansung mempengaruhi cara pikir dan pandangan hidup bagi
kader himpunan. NDP ini ditulis oleh seorang Cendikiaan Muslim Indonsia
yaitu ayahanda kita Nurcholis Madjid yang nota bene kader yang
dilahirkan oleh HMI, merupakan dasar dalam sejarah dan tegaknya
militansi yang bersemangat idiologis kader. Maka upaya me-rebuilding
paradigma kader menuju penguatan dan pengokohan basis idiologis mestilah
diupayakan dengan sungguh-sunguh, karna dengan perjuangan yang bersifat
idiologis adalah prasyarat, untuk menghancurkan dan menaklukkan segala
bentuk penindasan-penindasan baik penindasan fisik maupun penindasan
intelektual itu sendiri dalam wujud nyata sebuah kesadaran kader yang
bersifat meyeluruh (kolektif) dengan sasaran utama menuju muslim
intelektual dan profesional.
Upaya me-rebuilding paradigma kader yang berbasis idiologis, dan
intelektual, adalah sebuah upaya nyata dalam membangun kembali disini,
yaitu mengembangkan budaya intelektual kader dan memperkokoh wawasan
keislaman serta wawasan ke HMI-an dan juga penafsiran lebih lanjut
terhadap misi-misi HMI (mission sacree) secara tegas dapat dikatakan
bahwa misi suci HMI ialah berusaha menciptakan masyarakat yang adil dan
makmur menuju visi bintang ‘Aras (kemerdekaan, keadilan dan
kesejahteraan dalam wadah kerajaan Tuhan Allah SWT). Arti kata lain,
mengarah kembali pemikiran atau pola pikir kader, agar sejalan dengan
prinsip-prinsip nilai-nilai dasar perjuangan, jadi membangun semangat
idiologis kader tidak semata-mata untuk memberi lebel hijau hitam pada
mahasiswa tapi lebih kepada mereorientasikan framework pemikiran
mahasiswa dalam wujud kader HMI. Yang menjadi suatu pertanyaan yang
menarik yang mesti di pertanyakan yakni mengapa framework pemikiran
mesti direoriantasikan? Masalahnya sangat sederahana dan komplek
tergantung sudut pandang kita dalam peninjauan masalahnya bukan dalam
artian kita mengampangkan permasalahan yang ada namun lebih kepada
merubah cara pikir atau cara pandang kita terhadap solusi pada tujuan
yang jelas yaitu kembali kepada nilai-nilai dasar perjuangan yang
bersemangat ketauhidan kepada Allah SWT yang terkesan kini telah terjadi
anomali ketauhidan.
NDP yang merupakan hasil (by-product) dari serangkaiaan dialektika
pemikiran dan ilmu, serta gejolak batin seorang kader HMI cabang ciputat
Ca’ Nur dalam lawatan nya ke timur tengah (baca: Sejarah Lahirnya NDP)
mampu memberi warna baru bagi arah dan idiologi perjuangan HMI itu
sendiri, walau target utama dari NDP mesti menjadi pandangan hidup Islam
(worldview Islamic) kader yang dapat digunakan sebagai pisau analisis
dalam hal penyikapan berbagai problematika hidup, baik masalah keumatan
maupun kebangsaan. Namun realitasnya seperti apa? Kita tidak bisa
menapikkan, annomaly pemikiran dari pemahaman kader itu sendiri telah
banyak terjadinya pergeseran dari capaian target yang semestinya
pemahaman secara umum kader terjebak pada ranah-ranah pemikiran yang
cendrung onani pemikiran seperti contoh terjebak pada dialektika
ketuhanan yang tidak subtantif. Asumsi kita ini bisa terjadi oleh
pemahaman filsafat dan wawasan keislaman kader yang kurang ataupun
terlalu terseret arus paham rasionalisme yang pada titik klimaknya
menjadikan akal sebagai Tuhan, yang melahirkan presepsi ketuhanan yang
beragam kondisi ini jelas akan melahirkan sebuah prespsi baru dari sisi
ketuhanan itu yang sejatinya.
Secara harviah/Epistemologinya antara Islam dan NDP itu sendiri sesuatu
yang tak bisa dipisahkan seperti “Ibu yang melahirkan anaknya”, jadi
sesungguhnya untuk memahami NDP sudah semestinya setiap kader harus
memiliki wawasan keislaman yang jelas yang berlandaskan Al-Qur’an dan
Hadis seperti yang termaktub di dalam hymne HMI yang berazaskan Islam
(Angaran Dasar HMI).
Peradaban Indonesia yang Darussalam
Dengan momentum dies natalis (Milad) HMI ke-66 tahun, sudah semestinya
kita selaku organisasi mahasiswa Islam kembali kepada misi suci (mission
sacree) lahirnya HMI, untuk mewujudkan Indonesia yang darussalam, di
tengah-tengah pergolakan Geopolitik Nasional maupun Internasional, yang
ditandai gejolak politik di beberapa Negara Islam seperti Revolusi mesir
maupun Revolusi yang terjadi di Tunisia yang sejatinya babak baru
munculnya sebuah wajah politik dan tatanan pemerintahan dengan
digantikan rezim penguasa mengingatkan kita pada peristiwa Reformasi
yang bergulir di Indonesia 15 tahun silam, yang berhasil melengserkan
orde baru (rezim Soeharto) yang membawa angin segar perubahan baik
tatanan politik, sosial, ekonomi dan budaya (baca: Saatnya kaum muda
menatap masa depan Indonesia) untuk mewujudkan sebuah peradaban baru
Indonesia.
Peradaban merupakan arti dari kata tamaddun (yang secara literal berarti
peradaban, civilization). Dalam kenyataannya, peradaban sering
didefinisikan sebagai “kota yang berlandaskan kebudayaan” (city-bases
culture) atau “kebudayaan kota” (culture of the city). Kata tamaddun
dalam bahasa Arab secara tepat berarti “peradaban” dalam pengertiannya
yang modern. Kata lain yang berasal dari akar madaniyah yang secara
harfiah berarti “urbanisme”. Tetapi pengertian teknis dari istilah ini
adalah “Peradaban”. Kata Hadharah yang sama halnya dengan peradaban yang
seiring digunakan oleh orang arab tersebut. Namun kata itu, kurang bisa
diterima oleh kaum muslim non-arab yang lebih senang mengunakan istilah
Tamaddun untuk istilah peradaban. Ibnu Khaldun adalah seorang pemikir
besar Muslim pertama yang meyusun konsep tentang peradaban di abad XIV
yang lebih di kenal dengan nama Ilm Al-Umran.
Barulah di abab ke-19 para Pemikir Barat menulis tentang Peradaban arti
kata lain umat Muslim lebih maju 500 tahun dari pada sarjana-sarjana
pemikir barat. Tamadun ataupun Hadharah secara Terminologi yakni
peradaban perbedaan istilah diatas tidak lah merupakan suatu yang mesti
dipertentangkan namun kembali kepada subtansi dasar dari tujuan yang
semestinya. Ibnu Khaldun mengunakan istilah Umran untuk mengartikan
ungkapan peradaban beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan peradaban
adalah “Organisasi sosial”. Ketika organisasi sosial di lahirkan
peradaban muncul, jika organisasi itu menjadi jaya (populous), sebuah
Umran besar atau Peradaban besar menjelma, dalam arti kata lain inilah
cikal bakal berdirinya sebuah Negara (Daulah).
Kalau kita kembali ke era awal penyusunan UUD 1945. Pemikiran yang lahir
dalam perdebatan siding-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia), antara lain menyangkut masalah dasar
negara dan materi yang harus diatur dalam suatu undang-undang dasar,
atas permintaan ketua BPUKI Dr. KRT. Radjitman Wedyodiningrat, apa yang
menjadi dasar negara bagi negara Indonesia?
Ada tiga pembicara yang menyampaikan pendapatnya diantaranya Muhammad
Yamin mengenai Peri-Ketuhanan sebagai dasar negara selain
Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Kerakyatan dan Kesejahteraan
Rakyat. M. Yamin mengatakan bahwa bangsa Indonsia yang akan bernegara
merdeka itu ialah bangsa berperadaban luhur dan peradabannya itu
mempunyai Tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu maka dengan sendirinya
kita insaf bahwa Negara Kesejahteraan Indonesia Merdeka itu akan
ber-Ketuhanan. Tuhan akan melindungi Negara Indonesia yang merdeka itu
(Baca: Yamin, Naskah I.op.cit hal. 94). Soepomo memiliki pandangan lain
bahwa menurut nya tentang agama yang harus dipisahkan dari urusan negara
dengan demikian urusan agama mesti diserahkan kepada golongan-golongan
agama yang bersangkutan. Dalam artian negara nasional yang bersatu itu
tidak berarti bahwa negara itu bersifat a-Relegius. Itu bukan Negara
Nasional yang bersatu dan hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar
moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.
Pada kesempatan terakhir tepatnya 1 Juni 1945 Soekarno tentang Dasar
Negara yang lebih dikenal dengan sebutan Pancasila mengenai dasar
ke-Tuhanan yang Maha Esa, dinyatakan bukan Bangsa Indonesia saja yang
ber-Tuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendak nya ber-Tuhan.
Soekarno menekankan bahwa menjalankan sikap beragama haruslah
berkeadaban yang diartikan dengan sikap hormat menghormati satu sama
lain atau beragamalah dengan penuh toleransi seperti yang diteladani
oleh Nabi Muhammad SAW.
Dengan arti kata kita tidak memaksa persatuan tapi lebih kepada
mengelola berbagai perbedaan menjadikannya satu kesatuan yang utuh dalam
sebuah bingkai peradaban Indonesia yang Darussalam.
Jadi spirit kelahiran HMI pada tahun 1947 adalah sebuah kesadaran
akan wawasan keumatan dan kebangsaan yang dimotori oleh kaum muda yang
nota bene Mahasiswa Islam yang fungsi dan perannya sebagai sebuah
organisasi Perjuangan (Angaran Dasar HMI) yang terus mengawal dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Indonesia.
Jadi tak dapat kita nafikan bahwa sanya. HMI yang lahir dengan
semangat wawasan keumatan dan kebangsaan itu, yang kini genap berusia 65
tahun merupakan elemen yang ada di Bangsa Indonesia yang kita cintai
ini sudah sepatutnya menjadi garda terdepan bersama elemen-elemen
kemahasiswaan dan pemuda-pemudi lainnya untuk mewujudkan sebuah
peradaban Indonesia yang Darusalam dalam arti kata lain mwujudkan
masyarakat adil dan makmur serta diridhoi Allah SWT.
Rasyid Ridho Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar