Mengapa ada pemujuaan
terhadap makhluk ???
Faktor-faktor yang
menimbulkan penyembahan manusia kepada ciptaan adalah ketidaktahuannya dan
tuntutan alami yang mutlak dalam dirinya yang pada umumnya mempercayai adanya suatu
penyebab bagi setiap fenomena. Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat
alami, merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada suatu pewenang
kuat yang mampu menciptakan sistem yang unik ini. Namun, di sisi lain, ketika
ia bermaksud menempuh jalan ini tanpa tuntunan para nabi -pemandu Ilahi dan
telah ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan perjalanan rohani manusia- ia
mencari perlindungan pada makhluk-makhluk tak-bernyawa, hewan, ataupun sesama
manusia sebelum ia dapat mencapai tujuannya yang sesungguhnya, yakni Tuhan Yang
Esa, dan mendapatkan jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan
dan mencari perlindungan pada-Nya.
Oleh karena itu, ia membayangkan bahwa
inilah obyek yang dicari-carinya. Melihat ini, para ilmuwan mengakui, setelah
mengkaji kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan kepada manusia
oleh para nabi serta argumentasi mereka, bahwa tujuan para nabi bukanlah untuk
meyakinkan manusia tentang adanya pencipta alam semesta. Sesungguhnya, peran
mereka yang mendasar ialah membebaskan manusia dan cengkeraman syirik
(politeisme) dan penyembahan berhala. Dengan kata lain, mereka datang untuk
mengatakan kepada manusia, "Hai manusia! Allah yang kita semua percaya
akan keberadaan-Nya adalah ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan
memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah sebagai Yang Esa.
Jangan menerima mitra atau sekutu apa pun bagi-Nya."
Kalimat "tiada Tuhan
selain Allah," membuktikan apa yang kami katakan di atas. Inilah titik
mula dakwah Nabi Muhammad. Maksud kalimat ini ialah, tak ada sesuatu yang patut
disembah selain Allah, dan ini berarti bahwa adanya Pencipta telah merupakan
fakta yang diakui, sehingga manusia dapat diajak untuk menerima
kemaha-esaan-Nya. Kalimat ini menunjukkan bahwa di mata manusia zaman itu,
bagian pertama –adanya Tuhan yang menguasai alam semesta- bukanlah hal yang
perlu dipertengkarkan. Disamping itu, kajian terhadap kisah-kisah Qur'ani dan
percakapan para nabi dengan umat zamannya memperjelas masalah ini.
[Catatan kaki: Tetapi,
bagaimana konsepsi mereka tentang berhala? Apakah mereka memandangnya patut
disembah dan hanya untuk menjadi perantara, ataukah mereka berpikir bahwa
berhala-berhala itu pun mempunyai kekuasaan seperti Allah? Masalah ini berada
di luar bahasan kita sekarang, walaupun pandangan pertama itu kuat dan
terbukti.]
TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
Jawara Tauhid ini dilahirkan
di lingkungan gelap penyembahan berhala dan penyembahan manusia. Manusia
menundukkan kerendahan hati kepada berhala yang dibuat dengan tangannya
sendiri, atau kepada bintang-bintang. Dalam situasi ini, hal yang mengangkat
kedudukan Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran dan ketabahannya.Tempat kelahiran pembawa
panji tauhid ini adalah Babilon. Para sejarawan telah menyatakan negeri itu
sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka telah mencatat banyak
riwayat tentang keagungan dan kehebatan peradaban wilayah itu. Sejarawan Yunani
kenamaan, Herodotus (483-425 SM), menulis, "Babilon dibangun di sebuah lapangan
persegi-panjang setiap sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920
km. Pernyataan ini, betapapun dibesar-besarkan, mengungkapkan realitas yang tak
terbantah-apabila dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.
Namun, dari pemandangannya
yang menarik dan istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi yang dapat dilihat
sekarang selain tumpukan lempung, di antara sungai Tigris dan Efrat, yang
diliputi kebungkaman maut. Kebungkaman itu kadang-kadang dipecahkan oleh para
orientalis yang melakukan penggalian untuk mendapatkan informasi tentang
peradaban Babilonia.Nabi Ibrahim, pelopor tauhid,
dilahirkan di masa pemerintahan Namrud putra Kan'an. Walaupun Namrud menyembah
berhala, ia juga mengaku sebagai tuhan (dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan
rakyat yang mudah percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
Mungkin nampak agak ganjil
bahwa seorang penyembah berhala mengaku pula sebagai dewa. Namun, Al-Qur'an
memberikan kepada kita suatu contoh lain tentang kepercayaan ini. Ketika Musa
mengguncang kekuasaan Fir'aun dengan logikanya yang kuat dan menguak
kebohongannya dalam suatu pertemuan umum, para pendukung Fir'aun berkata
kepadanya, "Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya
membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?"
(QS, Surah al-A'raf, 7:127). Telah termasyhur bahwa Fir'aun mengaku sebagai
tuhan dan biasa menyerukan, "Aku adalah tuhanmu yang tertinggi."
Namun ayat ini menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.
Dukungan terbesar yang
diperoleh Namrud datang dari para astrolog dan penenung yang dipandang sebagai
orang-orang pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini membuka jalan bagi
Namrud untuk memanfaatkan kaum tertindas dan kalangan bodoh. Selain itu,
sebagian famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala dan juga memahami astrologi,
termasuk pengikut Namrud. Ini saja sudah merupakan halangan besar bagi Ibrahim,
karena di samping harus berjuang melawan kepercayaan umum itu, ia juga harus
menghadapi perlawanan kaum kerabatnya sendiri.
Namrud telah menerjunkan diri
ke dalam laut kepercayaan takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk
pesta dan minum-minum ketika para astrolog membunyikan lonceng bahaya pertama
seraya mengatakan, "Pemerintahan Anda akan runtuh melalui seorang putra
negeri ini." Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia
telah lahir atau belum?" Para astrolog itu menjawab bahwa ia belum lahir.
Ia kemudian memerintahkan supaya diadakan pemisahan antara
perempuan dan laki-laki-di malam yang, menurut ramalan para astrolog, kehamilan
musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para algojonya membunuh
anak-anak laki-laki. Para bidan diperintahkan untuk melaporkan rincian tentang
anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.
Pada malam itu juga terjadi
kehamilan Ibrahim. Ibunya hamil dan, seperti ibu Musa putra 'Imran, ia
merahasiakan kehamilan itu. Setelah melahirkan, ia menyelamatkan diri ke suatu
gua yang terletak di dekat kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang.
Ia meninggalkan anaknya di suatu sudut gua, dan mengunjunginya di waktu siang
atau malam, tergantung situasi. Dengan berlalunya waktu, Namrud merasa aman. Ia
percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya telah dibunuh.
Ibrahim menjalani tiga belas
tahun kehidupannya dalam sebuah gua dengan lorong masuk yang sempit, sebelum
ibunya membawanya keluar. Ketika muncul di tengah masyarakat, para pendukung
Namrud merasa bahwa ia orang asing. Terhadap hal itu, ibunya berkata, "Ini
anak saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog." (Tafsir al-Burhan, I,
h. 535). Ketika keluar dari gua,
Ibrahim memperkuat keyakinan batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan
langit, bintang-bintang yang bersinar, dan pohon-pohonan yang hijau. Ia
menyaksikan masyarakat yang aneh. Dilihatnya sekelompok orang yang
memperlakukan sinar bintang dengan sangat tolol. Ia juga melihat beberapa orang
dengan tingkat kecerdasan yang bahkan lebih rendah. Mereka membuat berhala
dengan tangan sendiri, kemudian menyembahnya. Yang terburuk dari semuanya ialah
bahwa seorang manusia, dengan
mengambil keuntungan secara tak semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat,
mengaku sebagai tuhan mereka dan menyatakan diri sebagai pemberi hidup kepada
semua makhluk dan penakdir semua peristiwa. Nabi Ibrahim merasa harus
mempersiapkan diri untuk memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.
IBRAHIM BERJUANG MELAWAN
PENYEMBAHAN BERHALA
Kegelapan penyembahan berhala
telah meliputi seluruh Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan dunia
dan langit telah merenggut hak menalar dan berpikir dari berbagai lapisan
masyarakat. Sebagiannya memandang tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri,
sedang yang lainnya memperlakukan mereka sebagai perantara untuk memperoleh
nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
RAHASIA POLITEISME
Orang Arab sebelum datangnya
Islam percaya bahwa setiap makhluk dan setiap gejala tentulah mempunyai
penyebab tersendiri, dan bahwa Tuhan Yang Esa tidak mampu menciptakan semuanya.
Pada masa itu, ilmu pengetahuan memang belum menemukan hubungan antara makhluk
dan fenomena alami serta berbagai kejadian. Sebagai akibatnya, orang-orang itu
mengkhayalkan bahwa semua mahluk dan berbagai fenomena alami berdiri
sendiri-sendiri dan tidak ada kaitan satu sama lain. Karena itu, mereka
menganggap bahwa untuk setiap fenomena seperti hujan dan salju, gempa bumi dan
kematian, paceklik dan kesukaran, perdamaian dan ketentraman, kekejaman dan
pertumpahan darah, dan sebagainya, ada tuhannya masing-masing. Mereka tak
menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah suatu kesatuan, di mana bagiannya
saling terkait dan masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.
Pikiran bersahaja manusia
masa itu belum mengetahui rahasia penyembahan kepada Allah Yang Esa dan tidak
menyadari bahwa Allah yang menguasai alam semesta adalah Tuhan Yang Mahakuasa
dan Mahatahu, Pencipta yang bebas dari segala kelemahan dan cacat. Kekuasaan,
kesempurnaan, pengetahuan, dan kebijaksanaanNya tiada berbatas. Ia di atas
segala sesuatu yang dianggapkan kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia
miliki.
Tak ada kemungkinan yang tak dapat
diciptakan-Nya. Ia adalah Allah Yang Esa yang mampu menciptakan segala makhluk
dan fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa pun. Ia dapat menciptakan makhluk
lain dengan cara yang sama sebagaimana Ia menciptakan makhluk-makhluk yang ada
sekarang.
Karena itu, secara nalar,
adanya perantaraan dari suatu wewenang yang dapat mengurangi kemandirian
kehendak Allah yang tidak bersekutu, tidak dapat diterima. Kepercayaan bahwa
alam semesta mempunyai dua pencipta, yang satu merupakan sumber kebaikan dan
cahaya sedang yang satu lagi merupakan sumber kejahatan dan kegelapan, juga tak
dapat diterima. Kepercayaan bahwa ada perantaraan oleh seseorang, seperti
Maryam dan 'Isa, dalam hal penciptaan alam semesta, atau bahwa pengaturan
tatanan dunia fisik telah dikuasakan pada seorang manusia, merupakan
manifestasi syirik dan kelebih-lebihan. Penganut tauhid, dengan rasa hormat
yang sewajarnya kepada para nabi dan orang suci, memelihara keyakinan pada
Pencipta Alam Semesta, dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Metode yang digunakan para
nabi untuk memberi pelajaran dan tuntutan kepada manusia ialah metode logika
dan penalaran, karena mereka berurusan dengan pikiran manusia. Mereka berhasrat
mendirikan pemerintahan yang didasarkan pada keimanan, pengetahuan, dan keadilan,
dan pemerintahan semacam itu tak dapat didirikan melalui kekerasan, peperangan,
dan pertumpahan darah. Oleh karena itu, kita harus membedakan pemerintahan para
nabi dengan pemerintahan Fir'aun dan Namrud. Tujuan dari kelompok yang kedua
ini ialah amannya kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan segala cara yang
mungkin, sekalipun negara akan runtuh setelah mereka mati. Sebaliknya,
orang-orang suci bermaksud mendirikan pemerintahan yang membawa maslahat pada
individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau lemah pada suatu waktu
tertentu, sementara ia hidup maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu tentu
saja tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.
Ibrahim pertama-tama berjuang
melawan kepercayaan kaum kerabatnya yang menyembah berhala, di mana Azar
merupakan pentolannya. Sebelum mencapai keberhasilan penuh dalam bidang ini, ia
sudah harus berjuang pada bidang operasi lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang
kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas dari yang pertama. Berlawanan dengan
agama para famili Ibrahim, mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi
yang hina dan tak berharga, lalu memuja bintang di langit. Ketika melawan
pemujaan bintang, Ibrahim menyatakan dengan kata-kata sederhana sejumlah
kebenaran filosofis dan ilmiah yang belum dipahami oleh manusia di zaman itu,
bahkan sekarang pun argumennya menimbulkan kekaguman para sarjana yang sangat
mengenal seni logika dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah
mengutip argumen-argumen Ibrahim, dan kami mendapat kehormatan untuk
mengutipnya dengan penjelasan singkat.
Untuk dapat menuntun
masyarakatnya, suatu malam Ibrahim menatap ke langit di saat terbenamnya
matahari dan terus terjaga hingga ia terbenam lagi di hari berikutnya. Selama
24 jam ini ia berdebat dan berdiskusi dengan tiga kelompok, dan menyalahkan kepercayaan mereka dengan
argumen-argumennya yang kuat.
Kegelapan malam mendekat dan
menyembunyikan segala tanda kehidupan. Bintang Venus yang cemerlang muncul dari
suatu sudut cakrawala. Untuk merebut hati para pemuja Venus, Ibrahim
menyesuaikan diri dengan mereka dan mengikuti garis pikiran mereka seraya
mengatakan, "Itu adalah pemeliharaku." Namun, ketika bintang itu
tenggelam dan menghilang di suatu sudut, ia berkata, "Saya tak dapat menerima
tuhan yang tenggelam." Dengan penalarannya yang alami, ia menolak
kepercayaan para pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.
Pada tahap berikutnya,
matanya tertuju pada bundaran bulan yang bercahaya terang dengan keindahannya
yang memukau. Dengan maksud merebut hati pemuja bulan, secara lahiriah ia
bersikap seakan bulan itu tuhan, tapi kemudian ia merontokkan kepercayaan itu
dengan logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa membenamkan
bulan itu di balik cakrawala, dan cahaya serta keindahannya lenyap dari
muka bumi, maka tanpa menyinggung perasaan para pemuja bulan itu, Ibrahim
berkata, "Apabila Tuhanku yang sesungguhnya tidak membimbing aku, tentulah
aku tersesat, karena tuhan ini terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu
tatanan dan sistem yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang lain."
Kegelapan malam berakhir dan
matahari pun muncul, membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke
muka bumi. Para pemuja matahari memalingkan wajah mereka kepada tuhannya. Untuk
menaati aturan perdebatan, Ibrahim juga bersikap seolah mengakui ketuhanan
matahari. Namun, terbenamnya matahari mengukuhkan bahwa ia tunduk pada suatu
sistem alam semesta yang umum, dan Ibrahim secara terbuka menolaknya sebagai
yang patut disembah.(lihat QS,al-An'am, 6:75-79) Tak diragukan bahwa saat
tinggal di gua, melalui anugerah Ilahi yang luar biasa, Ibrahim mendapatkan
dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid, yang merupakan
kekhususan para nabi. Namun, setelah memperhatikan dan mengkaji benda-benda
langit, ia juga memberikan bentuk argumentasi pada pengetahuan itu. Dengan
demikian, di samping menunjukkan jalan yang benar kepada manusia dan memberikan
kepada mereka sarana bimbingan, Ibrahim
telah meninggalkan pengetahuan yang tak ternilai untuk digunakan oleh orang-orang
yang mencan kebenaran dan realitas.
PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
Ibrahim sangat menyadari
bahwa Allah menguasai alam semesta, tetapi pertanyaannya adalah: Apakah sumber
kekuatan itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau suatu Wujud Yang Mahakuasa,
yang lebih tinggi daripadanya? Setelah mengkaji kondisi-kondisi benda yang
berubah-ubah ini, Ibrahim mendapatkan bahwa wujud-wujud yang cerah dan bersinar
itu sendiri tunduk pada ketetapan -terbit, terbenam, dan lenyap- menurut sistem
tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak berubah-ubah. Ini membuktikan
bahwa mereka tunduk pada kehendak dari sesuatu yang lain; suatu kekuatan yang
lebih besar dan lebih kuat mengontrol mereka dan membuat mereka berotasi pada
orbit yang telah ditentukan.
Marilah kita bahas masalah
ini lebih lanjut. Alam semesta sepenuhnya memiliki "peluang-peluang"
dan "kebutuhan-kebutuhan." Berbagai makhluk dan fenomena alami tak
pernah lepas dari Yang Mahakuasa. Mereka membutuhkan Tuhan Yang Mahatahu dalam
setiap detik, siang dan malam - Tuhan yang tidak pernah lalai akan kebutuhan
mereka. Benda-benda langit itu hadir dan diperlukan pada suatu saat dan tak
hadir serta tak berguna pada saat lainnya. Wujud seperti itu tidak mempunyai
kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan dan wujud lainnya, untuk memenuhi
kebutuhan dan keperluan mereka Teori ini dapat diperluas
dalam bentuk berbagai pernyataan teoritis dan filosofis. Misalnya, kita mungkin
mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan berputar pada sumbunya
masing-masing. Apabila gerakannya itu tanpa pilihan dan atas paksaan
semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih kuat yang mengendalikannya.
Apabila
gerakannya sesuai dengan kehendaknya sendiri, haruslah dilihat apakah tujuan
dari gerakan itu. Apabila mereka bergerak untuk mencapai kesempurnaan, seperti
benih yang bangkit dari bumi untuk tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu
berarti mereka memerlukan suatu wujud yang independen, kuasa, dan bijaksana
yang akan menyingkirkan kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada
mereka sifat kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi mereka menuju kepada
kelemahan dan kekurangan, dan halnya seperti orang yang melewati usia puncaknya
dan memasuki sisi usia yang salah, maka itu berarti gerakannya cenderung kepada
kemunduran dan kehancuran, dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi
sebagai tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.
METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA
NABI
Sejarah para nabi menunjukkan
bahwa mereka memulai program reformasi dengan mengundang para anggota keluarga
mereka kepada jalan yang benar, kemudian mereka memperluas dakwah itu kepada
orang lain. Ini pulalah yang dilakukan Nabi Muhammad segera setelah beliau
ditunjuk sebagai nabi. Pertama-tama beliau mengajak kaumnya sendiri kepada
Islam, dan meletakkan fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai dengan perintah Allah, "Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS,
asy-Syu'ara', 26:2l3) Ibrahim juga mengambil metode
yang sama. Mula-mula beliau berusaha mereformasi kaum kerabatnya. Azar
menduduki posisi yang sangat tinggi di kalangan familinya, karena, selain
terpelajar dan seorang seniman, ia juga ahli astrologi. Di istana Namrud,
kata-katanya sangat berpengaruh, dan kesimpulan - kesimpulan astrologinya
diterima semua penghuni istana.
Ibrahim sadar bahwa apabila
ia herhasil meraih Azar ke pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari
para penyembah berhala. Oleh karena itu, ia menasihatinya dengan cara sebaik
mungkin supaya tidak mcnyembah benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa
alasan, Azar tidak menerima ajakan dan nasihat Ibrahim. Namun, sejauh berhubungan dengan
kita, hal terpenting dalam episode ini ialah metode dakwah dan bentuk
percakapan Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam dan cermat terhadap
ayat-ayat Al-Qur'an yang merekam percakapan ini, metode argumen dan dakwah yang
ditempuh para nabi itu menjadi amat sangat jelas. Marilah kita lihat bagaimana
Ibrahim mengajak Azar kepada jalan yang benar: "Ingatlah ketika Ibrahim
berkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang
tidak mendengar; tidak melihat, dan tidak menolong kamu sedikitpun. Wahai
ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak
datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan
yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya
aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga
jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45) Sebagai jawaban atas ajakan
Ibrahim, Azar berkata, "Beranikah engkau menyangkal tuhan-tuhanku, hai
Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu! Kalau tidak, engkau akan dirajam
sampai mati. Keluarlah segera dari rumahku!" Ibrahim yang murah hati
menerima kata-kata kasar Azar ini dengan ketenangan sempurna seraya menjawab,
"Salam atasmu. Aku akan memohon kepada Tuhanku untuk mengampunimu." Adakah jawaban yang lebih
pantas dan ucapan yang lebih patut daripada kata-kata Ibrahim ini?
APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?
Ayat-ayat yang dikutip di
atas, maupun ayat (15) surah at-Taubah dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan
memberi kesan hubungan Azar dengan Ibrahim sebagai ayah dan anak. Namun, perlu
diinformasikan di sini bahwa dari perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar
sebagai ayah Ibrahim tidaklah sesuai dengan konsensus para ulama mereka yang
percaya bahwa nenek moyang Nabi Muhammad maupun semua nabi lainnya
adalah orang-orang takwa yang beriman tauhid. Ulama besar Syi'ah, Syekh Mufid,
memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang disepakati seluruh
ulama Syi'ah dan sejumlah besar ulama Sunni (lihat Awa'il al-Malaqat, hal. 12).
Oleh karena itu, timbul pertanyaan: Apakah sesungguhnya maksud ayat-ayat yang
nampak jelas itu, dan bagaimana masalah ini harus dipecahkan?
Banyak mufasir Al-Qur'an
menegaskan bahwa walaupun kata ab dalam bahasa Arab biasanya digunakan dalam
arti "ayah," kadang-kadang kata itu juga digunakan dalam leksikon
Arab dan terminologi Al-Qur'an dalam arti "paman." Dalam ayat
berikut, misalnya, kata ab berarti "paman"
"Adakah kamu hadir
ketika Ya'qub kedatangan [tanda-tanda] maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya,
'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah
Tuhanmu dan Tuhan ab-Smu, [yakni] Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq, [yaitu] Tuhan
Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya." (QS, al-Baqarah,
2:133) Tiada keraguan bahwa Isma'il
adalah paman Ya'qub, bukan ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang
saudara Isma'il. Walaupun demikian, putra-putra Ya'qub memanggilnya "ayah
Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata ini mengandung dua makna, maka pada
ayat-ayat yang berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan yang benar oleh
Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah "paman." Dan boleh
jadi pula Ibrahim memanggilnya "ayah," karena ia telah bertindak
sebagai wali baginya dalam waktu yang panjang, dan Ibrahim memandangnya sebagai
ayahnya.
AZAR DALAM AL-QUR'AN
Dengan maksud untuk
mendapatkan keputusan Al-Qur'an tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami
merasa perlu mengundang perhatian pembaca pada keterangan dua ayat:
1. Sebagai akibat usaha keras
Nabi, Arabia disinari cahaya Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini dengan
sepenuh hati, dan menyadari bahwa syirik dan pemujaan berhala akan berakhir di
neraka. Walaupun mereka bahagia karena telah memasuki agama yang benar, mereka
merasa sedih mengingat nenek moyang mereka yang penyembah berhala. Mendengar
ayat-ayat yang menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan, terasa
berat bagi mereka. Untuk menjauhkan siksaan mental ini, mereka memohon kepada
Nabi untuk berdoa kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang telah
mati sebagai orang kafir, sama sebagaimana Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun,
ayat berikut diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
"Tiadalah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik,
walaupun orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Permintaan
ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu
janji yang telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas bagi Ibrahim
bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah, Ibrahim pun berlepas diri darinya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya bagi
penyantun." (QS, at-Taubah, 9:113-114)
Akan nampak lebih masuk akal
apabila percakapan Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar untuk
mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan putusnya hubungan serta
perpisahan mereka, terjadi ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih
tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina, Mesir, dan Hijaz. Setelah
mengkaji ayat ini, dapat disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan
penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda, memutuskan hubungannya
dengan Azar dan tak pernah memikirkannya lagi sesudah itu.
2. Di bagian terakhir masa
hidupnya, yakni ketika ia telah lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian
besar tugasnya (yakni pembangunan Ka'bah) dan membawa istri dan anaknya ke
gurun kering Mekah, ia berdoa dari lubuk hatinya bagi sejumlah orang, termasuk
kedua orang tuanya, dan memohon agar
doanya dikabulkan Allah. Pada waktu itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami,
beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang mukmin pada hari
terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS, Ibrahim 14:41)
Ayat ini menunjukkan dengan
jelas bahwa doa itu diucapkan setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika
Ibrahim sudah berada di usia tuanya. Apabila sang ayah dalam ayat ini, yang
kepadanya telah ia persembahkan cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar
itu, maka ini akan berarti bahwa
Ibrahim tidak berlepas diri darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau
juga berdoa untuknya. Padahal, ayat pertama, yang diwahyukan sebagai jawaban
atas permohonan para keturunan musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu
waktu, ketika ia masih muda, Ibrahim telah memutuskan segala hubungan dengan
Azar dan menjauh darinya – berlepas diri berarti tidak lagi saling berbicara,
tidak peduli, dan tidak saling mendoakan keselamatan.
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama,
terlihat jelas bahwa orang yang dibenci Ibrahim di usia mudanya, yang dengannya
ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan cinta, bukanlah orang yang
diingatnya hingga usia tuanya, yang untuk keampunan dan keselamatannya ia
berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal. 319; al-Mizan, VII, 170).
IBRAHIM, SI PENGHANCUR
BERHALA
Saat perayaan mendekat,
penduduk Babilon berangkat ke hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga
mereka, dan melaksanakan upacara perayaan itu. Kota menjadi sepi. Perbuatan
Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah mencemaskan mereka. Karena itu, mereka
mendesak Ibrahim untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara
perayaan. Namun, usul dan desakan mereka datang Bertepatan dengan sakitnya
Ibrahim. Karena itu, sebagai jawabannya, Ibrahim mengatakan sedang sakit dan
tak akan menyertai upacara perayaan itu. Sesungguhnya, itulah hari
gembira bagi sang tokoh tauhid, sebagaimana bagi para musyrik itu. Bagi kaum
musyrik, itu adalah pesta perayaan yang sangat tua. Mereka pergi ke kaki gunung
di lapangan-lapangan hijau untuk melaksanakan upacara perayaan dan menghidupkan
adat kebiasaan nenek moyang mereka. Bagi si jawara tauhid, hari itu pun
merupakan hari raya besar pertama yang telah lama dirindukannya, untuk
menghancurkan manifestasi kekafiran dan kemusyrikan, ketika kota sedang bersih
dan lawan-lawannya.
Ketika "keloter"
terakhir penduduk meninggalkan kota, Ibrahim merasa bahwa saat itulah
kesempatannya. Dengan hati penuh keyakinan dan iman kepada Allah, beliau
memasuki rumah berhala. Di dalamnya beliau menemukan penggalan-penggalan kayu
berpahat, berhala-berhala yang tak bernyawa. Ia ingat akan banyaknya makanan
yang biasa dibawa oleh para penyembah berhala ke kuil mereka sebagai sajian
untuk beroleh rahmat. Beliau lalu mengambil sepiring roti yang ada di situ.
Sambil mengunjukkannya kepada berhala-berhala itu, beliau berkata mengejek,
"Mengapa tidak kamu makan segala macam makanan ini?" Tentulah tuhan
buatan kaum musyrik itu tak mampu bergerak sedikit pun, apalagi memakan
sesuatu. Keheningan membisu menguasai kuil berhala yang luas itu, yang hanya terpecah
oleh pukulan-pukulan keras Ibrahim pada tangan, kaki, dan tubuh berhala-berhala
itu. Ia menghancurkan semua berhala itu, hingga menjadi tumpukan puing kayu dan
logam yang berhamburan di tengah kuil itu. Tetapi, ia membiarkan berhala yang
paling besar, lalu meletakkan kapak di bahunya. Ini dilakukannya dengan
sengaja. Ia tahu bahwa ketika kembali dari hutan, kaum musyrik akan memahami
kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi yang nampak itu sebagai
sengaja dibuat-buat, karena tak akan mungkin mereka percaya bahwa penghancuran
berhala-berhala lain itu telah dilakukan oleh berhala besar yang sama sekali
tak berdaya untuk bergerak atau melakukan sesuatu. Pada saat itu, beliau pun
akan menggunakan situasi itu untuk dakwah. Mereka sendiri akan mengaku bahwa
berhala itu sama sekali tidak mempunyai kekuatan. Maka bagaimana mungkin ia
akan menjadi penguasa dunia?
Matahari bergerak turun di
cakrawala. Orang mulai pulang berkelompok-kelompok ke kota. Waktu untuk
melaksanakan upacara pemujaan berhala pun tiba, dan sekelompok penyembah
berhala memasuki kuil. Pemandangan yang tak terduga, yang dengan jelas
menunjukkan nistanya dan rendahnya tuhan-tuhan mereka, menghentakkan mereka
semua. Hening seperti maut meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi,
salah seorang di antara mereka memecahkan kesunyian dengan berkata, "Siapa
yang telah melakukan kejahatan ini?" Kutukan terhadap berhala oleh Ibrahim
di waktu lalu, dan kecamannya yang terang-terangan terhadap pemujaan berhala,
meyakinkan mereka bahwa hanya dialah yang mungkin melakukan semua itu.
Sidang pengadilan pun diadakan di bawah pengawasan Namrud, dan si remaja
Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.
Si ibu dituduh menyembunyikan
kelahiran anaknya dan tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk
dibunuh. Ia memberikan jawaban atas tuduhan itu, "Saya menyimpulkan bahwa
sebagai akibat keputusan terakhir pemerintah waktu itu -yakni pembunuhan
anak-anak- manusia di negara ini sedang dimusnahkan. Saya tidak memberitahukan
kepada kantor pemerintah tentang putra saya, karena saya hendak melihat
bagaimana ia maju di masa depan. Apabila ia membuktikan diri sebagai orang yang
telah diramalkan para pendeta peramal itu, akan ada alasan bagi saya untuk
melaporkannya kepada polisi agar mereka tidak lagi menumpahkan darah anak-anak
lain. Dan apabila ia ternyata bukan orang itu, maka saya telah menyelamatkan
seorang muda di negara ini dari pembunuhan." Argumen ibu itu sangat
memuaskan para hakim. Sekarang Ibrahim diperiksa.
"Keadaan menunjukkan bahwa berhala besar telah melakukan semua pukulan
itu. Dan apabila berhala itu dapat berkata, sebaiknya Anda tanyakan
kepadanya." Jawaban bernada ejekan dan penghinaan ini dimaksudkan untuk
mencapai sasaran lain. Ibrahim yakin bahwa orang-orang itu akan berkata,
"Ibrahim! Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala itu tak dapat berbicara.
Mereka pun tidak mempunyai kehendak atau akal." Dalam hal itu, Ibrahim
dapat meminta perhatian sidang pengadilan tentang satu hal yang mendasar.
Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan yang diharapkannya. Sehubungan dengan
pernyataan orang-orang itu yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan tidak berdayanya
berhala-berhala itu, Ibrahim berkata, "Apabila mereka memang demikian,
mengapa kamu menyembah dan berdoa kepada mereka untuk mengabulkan permohonan
kamu?"
Kejahilan, keras kepala, dan
peniruan membuta menguasai hati dan pikiran para hakim. Terhadap jawaban
Ibrahim yang tak terbantah itu, mereka tidak beroleh pilihan lain kecuali
memberikan keputusan yang sesuai dengan keinginan pemerintah masa itu. Ibrahim
harus dibakar hidup-hidup. Setumpukan besar kayu bakar
dinyalakan, dan jawara tauhid itu dilemparkan ke dalam api yang berkobar.
Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih dan rahmat-Nya kepada
Ibrahim dan menjadikanNya kebal. Allah mengubah neraka buatan manusia itu
menjadi taman hijau yang sejuk.
PELAJARAN DARI RIWAYAT
IBRAHIM
Walaupun orang Yahudi mengaku
sebagai pelopor kafilah penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur di kalangan
mereka dan tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada sekarang. Di antara
kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an yang telah meriwayatkannya. Oleh karena itu,
kami sebutkan di bawah ini beberapa pokok yang mengandung pelajaran bagi
manusia, suatu hal yang memang merupakan tujuan pokok Al-Qur'an ketika
meriwayatkan sejarah berbagai nabi.
1. Riwayat ini merupakan
bukti yang jelas tentang keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari
kekasih Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan manifestasi dan
sarana kemusyrikan tak dapat disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan
dan kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan kebenciannya yang luar
biasa terhadap penyembahan berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan
secara terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari praktek yang
memalukan itu, aku akan membuat keputusan tentang mereka." Dan pada hari
kepergian orang-orang ke hutan, beliau berkata secara terang-terangan,
"Demi Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya." (QS, al-Anbiya',
21:57) 'Allamah Majlisi mengutip
dari Imam Ja'far ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan
ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan keberanian dan kesabaran
Ibrahim, yang tidak mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan
memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."(lihat Bihar al-Anwar,
V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan
penghancuran berhala oleh Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan
permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para hakim, terbukti bahwa gerakan
ini sebenarnya mempunyai aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai
sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan kesadaran hati nurani
manusia, beliau harus menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang
besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka dapat mengadakan
penyelidikan lebih jauh tentang sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata
pada akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu sebagai ejekan, dan
sama sekali tak akan percaya kalau penghancuran itu dilakukan oleh berhala
besar itu. Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk mendakwahkan
pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut pengakuan kalian sendiri, berhala
besar itu tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian
menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula, para nabi hanya
menggunakan logika dan argumen sebagai senjata mereka yang ampuh, dan itu
senantiasa membawa hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran berhala
ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan ini tentulah mengandung makna
besar bagi misinya, dari sisi pandang alasan penalaran,
sehingga beliau sedia mengorbankan nyawanya untuk itu.
3. Ibrahim sadar bahwa
sebagai akibat tindakannya, hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan
umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri, atau sekurang-kurangnya
berjanji akan berhenti membuat "lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya
menguasai semangat dan emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia mendekati setiap berhala dan
menawarkan mereka makan, secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau
menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan kayu, dan menganggap semua
itu sebagai sesuatu yang benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan disusul oleh kematiannya
sendiri. Ketika muncul di pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka,
"Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya ialah yang ini.
Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika ia dapat berbicara." Lelucon
demikian di hadapan pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap
sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih
menakjubkan lagi ialah sikap Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar,
dan mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di tengah api -yang
kayu bakarnya tadinya dikumpulkan orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci
keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat sehingga bahkan burung
rajawali tak berani terbang di atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun
dan langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan segala pertolongan
kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa keinginanmu?" Ibrahim menjawab,
"Aku mempunyai hasrat. Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali
kepada Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh Shaduq, hal.
274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini jelas menunjukkan keluhuran dan
kebesaran rohani Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas
dan gelisah karena dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin melihat
bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan. Dengan satu sentakan, tubuh
Ibrahim, si jawara tauhid Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan
Ibrahim mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara yang amat
mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa sengaja berpaling kepada Azar dan
berkata, "Tuhan Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal.
64).
Walaupun adanya kejadian itu,
Ibrahim tak dapat mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya,
pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah, untuk membuang Ibrahim.
Ini membuka suatu bab baru dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal
perjalanannya ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di Babilonia
memutuskan membuang Ibrahim dari negeri itu. Beliau pun meninggalkan tempat
kelahirannya, lalu pergi ke Mesir dan Palestina. Amaliqa, yang menguasai
wilayah-wilayah itu, menyambutnya dengan hangat dan memberikan kepadanya banyak
hadiah, satu di antaranya adalah seorang budak perempuan bernama Hajar. Istri Ibrahim, Sarah, belum
melahirkan anak hingga saat itu. Oleh karena itu, ia menyarankan Ibrahim supaya
kawin dengan Hajar, dengan harapan kiranya beliau diberkati seorang putra, yang
akan menjadi sumber kebahagiaan dan kesenangan mereka. Perkawinan
dilangsungkan, dan Hajar kemudian melahirkan seorangputra yang diberi nama
Ismai'l. Itu terjadi jauh sebelum Sarah hamil dan melahirkan seorang putra yang
diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42;Bihar al-Anwar, hal. 118).
Setelah beberapa waktu,
sebagaimana diperintahkan Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan ibunya, Hajar ke
selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah yang tak dikenal.
Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya kafilah dari Sunah ke Yaman dan
sebaliknya yang memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah, tempat ini
benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir membakar sebagaimana
bagian-bagian tanah Arab lainnya. Tinggal di tempat yang
mengerikan itu sungguh sulit bagi seorang perempuan yang telah melewatkan
hari-harinya di negeri Amaliqa. Terik gurun yang membakar dan anginnya yang
amat sangat panas memberikan bayangan kematian di hadapan mata. Ibrahim sendiri
sangat prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang kendali hewan
tunggangannya dengan maksud mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan
anaknya, air matanya mengalir, dan ia berkata
kepada Hajar, "Wahai.Hajar! Semua ini dilakukan menurut perintah Yang
Mahakuasa, dan perintah-Nya tak dapat dilawan. Bersandarlah pada rahmat Allah,
dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan kamu." Kemudian Ibrahim berdoa
kepada Allah dengan penuh khusyuk, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan buah-buahan kepada
penduduknya yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah,
2:126).
Ketika sedang menuruni bukit,
Ibrahim menengok ke belakang dan berdoa kepada Allah untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka. Walaupun perjalanan tersebut
tampak sangat sulit dan susah, di kemudian hari terbukti bahwa hal itu
mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah pembangunan Ka'bah yang
memberikan dasar yang agung bagi para penganut tauhid untuk mengibarkan panji
penyembahan kepada Allah Yang Esa di Arabia, dan merupakan fundasi gerakan
keagamaan yang besar, yang akan mendapat bentuk di kemudian hari, yaitu gerakan
besar yang beroperasi di negeri ini melalui pengunci segala nabi.
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER
AIR ZAM-ZAM
Ibrahim mengambil kendali
hewan tunggangannya. Dengan air mata, ia memohon diri kepada tanah Mekah,
Hajar, dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan dan minuman yang
dapat diperoleh si anak dan ibunya habis, dan air susu Hajar pun kering.
Kondisi putranya mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing itu
dan membasahi pangkuannya. Dalam keadaan amat bingung, ia bangkit berdiri lalu
pergi ke bukit Shafa. Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu sangat mengecewakannya.
Tangisan dan keresahan putranya tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke
sana ke mari. Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah
untuk mencari air, tetapi pada akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu
kembali kepada putranya.
Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya
yang terakhir. Kemampuannya meratap atau menangis sudah tiada. Namun, justru
pada saat itu doa Ibrahim terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air
jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang ibu, yang sedang
menatap putranya dan mengira ia akan mati beberapa saat lagi, merasa sangat
gembira melihat air itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut putus
asa vang telah merentangkan bayangannya pada kehidupan mereka pun terusir oleh
angin rahmat Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar,II, hal.
100). Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak hari itu, membuat
burung-burung air terbang di atasnya, membentangkan sayapnya yang lebar sebagai
penaung kepala ibu dan anak yang telah menderita itu. Orang-orang dari suku
Jarham, yang tinggal jauh dari lembah ini, melihat burung-burung yang
beterbangan ke sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah ada air
di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk mengetahui keadaan itu. Setelah
lama berkeliling, kedua orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika
mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang anak sedang duduk di tepi
suatu genangan air. Mereka segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para
pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang kemah mereka di sekitar
sumber air yang diberkati itu, dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan
pahitnya kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa sebagai pemuda
yang ramah. Ia pun mengadakan ikatan perkawinan dengan wanita suku Jarham.
Dengan demikian, ia beroleh dukungan dan menjadi anggota masyarakat mereka.
Oleh karena itu, dari sisi ibu, keturunan Isma'il berfamili dengan suku Jarham.
MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya
yang tercinta di tanah Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang
Ibrahim berpikir untuk pergi melihat putranya. Pada salah satu perjalanannya,
ia sampai di Mekah dan mendapatkan bahwa putranya tidak ada di rumah. Waktu
itu, Isma'il telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan telah kawin dengan seorang
gadis suku Jarham. Ibrahim bertanya kepada istri Ismai'l, "Di mana
suamimu?" Perempuan itu menjawab, "Ia telah keluar untuk
berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia mempunyai makanan.
Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat
kekasaran istri putranya. Ia lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila
Isma'il pulang, sampaikan kepadanya salam saya, dan katakan pula kepadanya
untuk mengganti ambang pintu rumahnya." Kemudian Ibrahim pergi. Ketika kembali, Isma'il
mencium bau ayahnya. Dari keterangan istrinya, ia menyadari bahwa orang yang
telah mengunjungi rumahnya adalah memang ayahnya. Ia juga mengerti bahwa pesan
yang ditinggalkan ayahnya berati bahwa beliau (Ibrahim) menghendakinya
menceraikan istrinya sekarang dan menggantikannya dengan yang lain, karena
beliau memandang istrinya yang sekarang tidak pantas menjadi kawan
hidupnya.(lihat Bihar al-Anwar, hal. 112,
sebagaimana dikutip dari Qishash al-Anbiya')
Mungkin dapat dipertanyakan
mengapa setelah melakukan perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak menunggu sampai
putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi tanpa melihatnya. Para
sejarawan menerangkan bahwa Ibrahim pulang dengan tergesa-gesa karena telah
berjanji kepada Sarah bahwa beliau tak akan tinggal lama di sana. Setelah
perjalanan ini, ia juga diperintahkan Allah Yang Mahakuasa untuk melaksanakan
suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah guna menarik hati orang
yang beriman tauhid Al-Qur'an menyatakan bahwa
menjelang hari-hari terakhir Ibrahim, Mekah telah tumbuh menjadi sebuah kota,
karena, setelah menyelesaikan tugasnya, ia berdoa kepada Allah, "Ya
Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak
cucuku dari menyembah berhala." (QS Ibrahim, 14:35). Dan ketika tiba di
gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang
aman sentosa." (QS al-Baqarah, 2:126).
--------------------------------
oleh Ja'far Subhani, hal. 50
- 69
Judul buku: AR-RISALAH
Sejarah Kehidupan Rasulullah
SAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar