Jika kita hitung tidak berapa lama lagi kita Muslim akan melaksanakan
puasa wajib, selain puasa-puasa sunnah lainnya, bahwa di Ramadhan nanti
puasa wajib dilandasi dengan iman dan ihtisab maka Ramadhan memberikan
hikmah yang dalam, sedangkan bagi mereka yang berpuasa hanya untuk
menggugurkan kewajiban maka yang kehadiran Ramadhan tidaklah membekas.
Diantara hikmah Puasa Ramadhan sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam
al-Qur’an (QS. 2: 183) adalah menjadikan mukmin pelakunya mencapai
derajat Muttaqin. “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Al-Imran: 134).
Parameter ketakwaan secara umum bisa kita klasifikasikan menjadi dua:
dimensi ritus-teologis (hablun min Allah) dan dimensi sosial-praksis
(hablun min Annas). Dari QS. Al-Baqarah ayat 2-4 dan QS. Ali-Imran ayat
134 bisa kita dapati bahwa parameter dimensi ritus-teologis adalah jika
seseorang iman kepada keghaiban, mendirikan shalat, beriman pada
kitab-kitab Allah dan adanya hari kiamat. Dalam keimanan kepada
keghaiban terkandung keimanan kepada Allah, Malaikat, dan hal ghaib lain
semacam takdir.
Dalam studi agama, keimanan pada keghaiban ini menjadi elemen utama setiap agama karena tanpa ketundukan terhadap kemisteriusan yang mempesona (mysterium tremendum) maka seseorang akan menjadi penganut agama yang tidak taat. Parameter lain dalam dimensi ini adalah seseorang cepat ingat kepada Allah jika ia berbuat salah.Pada dimensi sosial-praksis, parameter ketakwaan adalah kemauan berbagi rizki, pengendalian amarah, dan pemberian maaf. Sepintas parameter ketakwaan ini seperti terlalu sederhana, namun nyatanya memang cukup sentral dalam membentuk kehidupan sosial yang baik. Pelbagai masalah sosial bisa dirujuk pada dua persoalan inti yang saling berkait: kemiskinan dan kriminalitas.
Kemiskinan terjadi karena ketimpangan dalam distribusi kesejahteraan.
Sebagian kecil orang menikmati sebagian besar sumber daya, sementara
sebagian besar manusia berebut sisanya. Sebagaimana diutarakan Amien
Rais dalam bukunya “Selamatkan Indonesia”, pada akhir 90-an, 20%
penduduk dunia yang hidup di negara maju menikmati 86% penghasilan
dunia, sedangkan 20% paling bawah hanya menikmati 1% penghasilan dunia.
Kebutuhan pendidikan di semua negara berkembang sebesar 6 milyar dollar
AS setahun, kalah besar dibandingkan 8 milyar dollar belanja kosmetik
warga Amerika, 11 milyar dollar konsumsi Es krim di Eropa dan 17 milyar
dollar kebutuhan makanan hewan piaraan di Eropa dan AS. Ini adalah
contoh kecil tentang kesenjangan ekonomi.
Jadi kemauan menafkahkan sebagian rizkinya untuk berbagi dengan
sesama adalah kunci pemerataan kekayaan. Tentu perlu dibarengi dengan
sistem ekonomi yang berimbang dan tidak hanya menguntungkan negara maju
sebagaimana disampaikan Galbraith bahwa kesenjangan sosial-ekonomi di
era globalisasi adalah kejahatan yang sempurna (perfect crime).Kemiskinan ini pada akhirnya mempengaruhi tingginya
kriminalitas—dalam bahasa agama, kemiskinan lebih dekat dengan
kekufuran. Orang yang terhimpit kebutuhan ekonomi lebih sulit menahan
amarah, menyebabkannya terjebak pada dua kemungkinan: berbuat kriminal
atau sakit jiwa. Fakta memperkuat pernyataan ini, penjara dan rumah
sakit jiwa adalah dua tempat dengan penghuni melebihi kapasitas. Jika ketidakmampuan menahan amarah adalah penyebab kriminalitas, maka
ketidakmampuan memberi maaf adalah penyebab buntunya solusi
kriminalitas. Memberi maaf bisa memutus rantai konflik dan perselisihan,
sebaliknya membalas dendam tidak memadamkan konflik namun malah
memperpanjangnya.
Idul Fitri adalah kemenangan bagi mereka yang menemukan fitrahnya
melalui ibadah puasa Ramadhan. Sehingga memaknakan Idul Fitri berarti
menjadikan hikmah Ramadhan terwujud dalam keseharian kita. Tanpa
perwujudan ini, Idul Fitri kehilangan makna hakikinya dan berubah
menjadi sekedar ruang sosial yang tidak bernuansa ibadah. Idul Fitri
menjadi tidak lebih dari fenomena sosial: kita bertemu keluarga dan
saling mengucapkan selamat. Padahal seharusnya Idul Fitri lebih
bernuansa teologis: manusia menemukan jatidirinya melalui ibadah Puasa,
dan mewujudkannya dalam keseharian. Dimulai dari 1 Syawal.
Taqabbalallahu Minna wa Minkum. Lihatlah Bagaimana kita memaknai sebuah relasi sosial ini dalam kondisi yang tidak sebenarnya?
Silahkan kemukakan pendapat Anda….
http://pakode.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar