Abraham Samad,Ketua KPK 2011-2015 |
Tak
ada yang mengira kalau Abraham Samad dipilih Komisi III DPR jadi Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalahkan nama-nama tenar seperti Bambang
Widjojanto, Yunus Husein maupun ketua lama, Busyro Maqoddas.Bukan hanya
masyarakat yang terkejut, Pansel Pemilihan juga gusar. Bahkan salah seorang
anggota Pansel, Saldi Isra, sampai ngoceh di media, merasa tak pas dengan
pilihan DPR. Maklumlah, dua nama yang digadang-gadang paling pantas memimpin
KPK adalah Bambang Widjojanto –yang sepak-terjangnya sudah dikenal— atau Yunus
Husein yang dekat dengan istana. Abraham selama ini “hanya” berkutat dalam
persoalan hukum –termasuk pemberantasan korupsi—Makassar (dengan mendirikan
Anti Corruption Commitee [ACC]), dianggap tak memiliki “prestasi” dan rekam
jejak di atas orang-orang yang dikalahkannya.
Pendek kata, prestasi Abraham hanya “kelas daerah”, dan tak punya pengalaman berkiprah di tingkat nasional. Ada polarisasi pusat-daerah, tapi DPR tetap yakin pada pilihannya: anak muda pantas memimpin KPK. Belakangan muncul tudingan dari beberapa LSM yang mengatakan Abraham bisa dikendalikan, baik pemerintah maupun DPR. Jelas, in tak punya dasar. Tapi di luar persoalan itu, tugas Abraham dan KPK –juga para komisioner terpilih— memang sangat berat. Tugas pertama yang dibebankan adalah menuntaskan kasus aliran dana Century yang akhir-akhir ini hampir tak terdengar beritanya. Abraham diberi waktu 100 hari dan seperti janjinya dalam uji kelayakan di depan Komisi III DPR, dia akan mundur jika tak bisa menyelesaikan kasus ini.
Sudah
terbukti, KPK saat dipimpin Antasari Azhar maupun Busryo, juga tak mampu
menyelesaikan kasus ini karena ada “kekuatan besar” yang tak bisa dilawan.Kasus lain yang tak kalah menarik adalah fenomena banyaknya Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah yang memutus bebas beberapa terdakwa korupsi
yang merupakan tangkapan KPK. Pengadilan Tipikor Surabaya, Bandung, dan
terakhir Pontianak telah “membebaskan” para koruptor dari dakwaan jaksa. Ini
tamparan keras bagi KPK, karena sebelum ini —dengan cara kerja yang sangat
teliti— hampir semua tangkapan KPK tak ada yang lolos dari jeratan hukum.Kemudian
muncul wacana pembubaran Pengadilan Tipikor daerah, yang segera jadi
kontroversi. Masih banyak lagi persoalan besar yang harus diurus KPK di bawah
Abraham. Apa dengan pengalaman yang hanya berkutat di “daerah”, seorang Abraham
yang jelas secara pengalaman dan usia masih yunior dibanding para deputinya,
mampu tampil menembus tembok besar yang pasti akan menghadang, atau melawan
kekuasaan yang luar biasa kuat, atau mafia hukum yang berkeliaran yang bahkan
mungkin ada di kantornya. Integritas dan kejujuran saja tak cukup untuk tampil
di panggung hukum yang lebih besar ini, karena di sana juga perlu keberanian,
kecerdasan, ketegasan, tahan banting, siap menghadapi siapa saja, bahkan
lingkaran istana sekalipun.
Mampukah? Ini yang kita tunggu. Jika dia gagal, cap sebagai “orang daerah” dan polarisasi pusat-daerah tetap jadi garis api yang sulit ditembus. Tapi jika berhasil, stigma bahwa orang daerah tak pantas dapat panggung lebih besar, bisa ditepis. Kita pernah punya pendekar hukum yang juga dari Makassar, Baharuddin Lopa, yang tak pernah takut pada siapapun. Mampukah Abraham jadi “Lopa” baru? Kita tunggu.
Mampukah? Ini yang kita tunggu. Jika dia gagal, cap sebagai “orang daerah” dan polarisasi pusat-daerah tetap jadi garis api yang sulit ditembus. Tapi jika berhasil, stigma bahwa orang daerah tak pantas dapat panggung lebih besar, bisa ditepis. Kita pernah punya pendekar hukum yang juga dari Makassar, Baharuddin Lopa, yang tak pernah takut pada siapapun. Mampukah Abraham jadi “Lopa” baru? Kita tunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar