Beberapa waktu lalu sidang paripurna membahas kenaikan BBM berlangsung dan memutuskan kalau BBM tidak dinaikkan (batal dinaikkan) dan menyisahkan beberapa moment fenomenal untuk diperbincangkan. Perdebatan yang alot tentang pasal 7 ayat 6 dan tambahan ayat yang memberikan keluasaan pemerintah menaikkan harga BBM membuat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyatakan walk out dari ruang sidang karena sudah tidak relevan lagi dengan kesepakatan partai, sampai akhirnya opsi kedua yang didukung mayoritas peserta sidang. Selang dua hari kabar tidak sedap menghinggapi telinga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait ketidakonsistenannnya dalam menyatakan pendapat dan memberikan putusan terkait pandangan PKS tentang kenaikan BBM yang menolak secara tegas, mengingat PKS adalah anggota koalisi pemerintahan SBY Jilid II. PKS dianggap membangkan terhadap pemerintahan SBY dan kroni-kroninya, selain itu PKS dinyatakan melanggar beberapa point dalam kontrak politik yang ditanda tangani enam pimpinan partai koalisi termasuk PKS. Dalam kontrak politik sendiri dinyatakan bahwa parpol harus mem-back up secara penuh keputusan yang ditetapkan pemerintah terhadap suatu kebijakan dan apabila menolak parpol yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan otomatis out dari koalisi.
Bukan tanpa alasan PKS membelot terhadap
pemerintah dan anggota koalisi, namun keputusan yang diambil sudah dipikirkan
secara matang. Ketua Umum DPP PKS Mahfudz Ziddiq menyatakan bahwa PKS tidak mencurangi
pemerintah dan hanya membela kepentingan rakyat, bukan tidak mungkin ketika BBM
dinaikkan saat kondisi rakyat seperti ini, citra SBY yang menurun jelas akan
lebih menurun jika BBM tetap dinaikkan dan untuk perbaikan struktur
pemerintahan SBY yang tidak lama lagi akan ditinggalkannya. Kegerahan terhadap
PKS nampaknya ditunjukkan oleh anggota koalisi lainnya yaitu dari fraksi PPP,
entah karena ingin meraih perhatian pemerintah atau karena alasan yang lainnya
menyatakan kalau “PKS sudah tidak pantas
duduk di kursi koalisi sebab sudah ada beberapa black list dalam menolak
putusan pemerintah antara lain kasus century, kasus mafia pajak dan kenaikan
BBM,” tegas Surya Dharma Ali. Namun pembelaan lain dilontarkan dari
Presiden PKS Lutfie Hassan Ishaq, ia menyatakan bahwa “PKS hanya mengingatkan pemerintah tentang keadaan rakyatnya sekarang.
Dan PKS tidak seperti anak kandung pemerintah yang dikasihani untuk menduduki
kursi menteri, namun PKS bekerja keras sebagai tim pemenangan SBY Jilid II ini.
Intinya PKS tidak akan keluar sampai ada kata cerai dari SBY sebagai penentu
nasib PKS, pun PKS dikeluarkan kita tidak akan menolak atau mengajukan somasi,
kita legowo”.
Memang tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik,
keputusan PKS untuk “mengkhianati” koalisi perlu dipahami secara mendalam.
Koalisi dibentuk untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan penguasa, jadi
ketika PKS berseberangan dengan kesepakatan koalisi bukan berarti menantang
pemerintah namun justru menyelamatkan pemerintah sebagai perpanjangan tangan
dari rakyat, pemerinyah harusnya mensejahterahkan rakyat bukan menyensarakannya. Nasib PKS tinggal
menghitung hari dan sudah berada diujung tanduk, langkah selanjutnya adalah jika
memang PKS dikeluarkan apakah mengubah jalurnya menjadi oposisi ?? Akan tetapi, ketika masih dipertahankan
dimanakah ketegasan seorang SBY yang notabene PKS sebagai anggota koalisi
“nakal” yang beberapa kali menyatakan sikap berseberangannya, Pertanyaannya
kemudian Siapakah yang berkhianat ?? Apakah PKS yang tidak konsisten dan menusuk
dari belakang
anggota koalisi lainnya
karena tidak mendukung putusan pemerintah untuk menaikkan harga
BBM ?? atau anggota koalisi yang berkhianat terhadap rakyat untuk tetap
menaikkan harga BBM ditengah masyarakat yang dipusingkan dengan dinamika
ekonomi, sosial,
dan krisis multidimensional yang kian hari kian terpuruk..??
Dalam konteks kekinian, mayoritas masyarakat kaum
buruh, tani, dan rakyat miskin kota peduli dengan masalah ini ?? Sama sekali
tidak !! yang mereka pikirkan bagaimana bisa mendapatkan sesuap nasi untuk hari
esok, pemerintah seharusnya tidak sibuk berspekulasi dengan berbagai masalah
konyol, tidak jelas, serta pengalihan isu lainnya, Intinya jangan seperti
perkutut yang saling patuk-mematuk atau cecurut yang hanya bisa kentut, tapi
sibuk memikirkan nasib rakyatnya yang penuh carut marut yang sudah
berlarut-larut dari berbagai sudut dan hanya disuguhkan dengan atribut yang
berbuntut pada hasil yang keriput. Kekayaan alam dan budaya akan terdepresiasi
oleh waktu yang terbuang percuma, pertambahan jumlah penduduk yang tidak
terkendali, tingkat kesadaran sosial yang rendah serta perilaku penguasa yang
korup dan sebagainya. Selain itu, Kebanggaan
sebagai bangsa berdaulat telah terkikis
oleh menguatnya perilaku feodalistik, nepotisme negatif dan demokrasi
vandallistik. Sanggupkah pemerintah mewujudkan bangsa yang berkiblat pada Pancasila dan UUD 1945, dengan bahasa verbal dan ideologis yang
satu serta dengan segenap daya memelihara sumber-sumber kehidupan yang ada di
bumi pertiwi yang satu ini ? Semua jawaban akan kembali kepada setiap individu
yang menyatakan diri sebagai anak-anak bangsa Indonesia. Pemuda adalah refleksi
sebuah generasi.
“…Dihati dan lidahmu kami berharap, suara kami
tolong dengar lalu sampaikan, jangan ragu jangan takut karang menghadang,
bicaralah yang lantang jangan hanya diam...saudara dipilih bukan dilotre, meski
kami tak kenal siapa saudara, kami tak sudi memilih para juara, juara diam, juara
he’..he’..he’.., juara ha..ha..ha..
Iwan fals (surat buat wakil rakyat)