• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Senin, 06 Mei 2013

HMI, Politik dan Korupsi


Lebih sebulan lalu HMI genap berusia  66 tahun (jika dihitung berdasarkan kalender masehi), tepat diusianya yang tergolong matang, HMI dihadapkan pada situasi dan kondisi yang beragam, baik dari aspek internal maupun eksternal, dari sisi internal HMI telah menjadi bagian penting dari sejarah republik ini dengan terlibat dan turut aktif dalam setiap fase perubahan bangsa, terutama dimasa masa transisi dari orla ke orba, masuk dan menjadi katalisator orba, serta terlibat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari era reformasi,

jika menengok sejarah, ideologi HMI pertama kali digagas oleh Cak Nur tahun 1966 lewat yang namanya Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebagai prinsip organisasi yang oleh andito disebut berkarakter developmentalistik. ideologi yang berkarakter demikian dibentuk sebagai respon atas gagasan orde baru yang bawa oleh soeharto, intinya HMI pada masa itu tak mau lagi seperti zaman soekarno, dimana mereka hanya berada “diluar” HMI ini masuk ke “dalam” orba”.



Namun demikian sejak berdirinya sampai hari ini HMI masih mencantumkan independensi sebagai sifat organisasi. ini yang menarik untuk diulas serta menyebabkan beragam karakter dan nilai yang bermetamorfosis di HMI. lihatlah Tokoh tokoh HMI zaman dulu, ada Deliar Noer, Dawam Rahardjo, Ismail Hasan Metarium, Ridwan saidi, AM Fatwa, dll yang tetap memilih diluar, namun disi lain ada pula Akbar Tanjung dan gerbong politik yang mengikutinya masuk dalam golkar serta menjadi bagian inti dari orba.

Intinya HMI dibentuk sebagai kekuatan islam politik (sebagaimana NU dan Muhammadiyah) yang menjembatani kepentingan ummat dan negara. namun NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan berbasis massa lewat lembaga pendidikan dan sosialnya, HMI berada pada segmen terbatas, yakni mahasiswa dengan bertitik tumpu pada fungsi sebagai organisasi kader. Lewat proses kaderisasi inilah alumnus HMI diterima disemua segmen pasar sosial politik, lihatlah Munir sang pejuang HAM, Abdullah hehamahua yang menjadi penasehat KPK, bahkan untuk urusan politik, hampir semua partai baik nasionalis maupun islam, ada kader HMI, sebagai contoh, Viva Yoga Mauladi di PAN, Bambang soesatyo, Priyo Budi Santoso di golkar, Ahmad yani di PPP, akbar Faisail (Hanula lalu ke Nasdem) Sarif  Sudding di Hanura, dan tentu Anas Urbaningrum di demokrat.

mengenai Anas, ini menarik, ia selalu dilekatkan dengan HMI, “seolah HMI Anas dan Anas HMI” padahal realitasnya tidaklah demikian. Anas hanyalah setitik pasir ditengah hamparan padang pasir. ia hanyalah seorang anak manusia yang pernah berproses di HMI dan (entah kebetulan atau tidak) ia pernah terpilih jadi Ketua Umum PB HMI (1997-1999). Anas menjadi ketua Umum PB HMI disaat yang tepat yaitu saat transisi era reformasi, ia mampu memainkan peran mahasiswa dengan sangat baik, sehingga saat itu berbagai media selalu meliputnya. kita bisa mengingat kembali bagaimana saat itu wajah Anas sering nongol di TV, gambarnya selalu di koran, tentu semua ini karena kecerdasan opini yang dibangunnya. lalu pasca 1999, anas terus tampil, menjadi penggagas RUU politik, menjadi anggota KPU, ketua bidang politik partai demokrat dan terakhir ketum demokrat. disinilah ceritanya mulai berbeda. Anas dijungkalkan oleh isu dan opini korupsi, mulai dari nyanyian sahabat dekatnya nazaruddin, dll. lalu dimana posisi HMI?

HMI tetap independen dan tak terkait dengan itu semua, karena anas hanyalah seorang alumnus HMI, memang ada sekelompok kader yang membelanya, ini wajar sebagai bagian dari faksionalisasi dan dinamika di HMI, menjadi menarik karena faksi faksi itu mengatasnamakan HMI. padahal tidak demikian realitasnya, bahkan sebgaian kader HMI tak begitu tertarik dengan anas sejak ia masuk dlam demokrat, apalagi ditambah dengan pola komunikasinya yang sangat terbatas dengan kader dan alumni HMI, hal ini pernah dipertanyakan oleh Akbat Tanjung beberapa saat lalu.

Kini HMI harus mampu memposisikan diri pada sifat dan jati dirinya sebagai organisasi independen, serta mampu keluar dari bayang bayang opini korup yang melekat padanya, selamat, yakin Usaha sampai.

Selengkapnya...

Selasa, 05 Februari 2013

Mengasah Kembali Taring HMI (Refleksi Milad HMI Ke 66 Tahun)

Hari ini, 5 Februari 2013 adalah Milad Himpunan Mahasiswa Islam ke 66. Hari ini juga mengingatkan kita tentang tamparan keras dari senior Alm. Nurcholis Madjid (Cak Nur) Pemimpin HMI 1966-1971. “Sebaiknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dibubarkan saja agar tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat!”. Tamparan keras tersebut disampaikan dalam seminar bertajuk Sehari Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa Dalam Era Reformasi di Auditorium LIPI, Jakarta. (Media Indonesia, 14/06/2002).

Sebagai sesepuh organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia, HMI seperti 2 sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, HMI terus menggelorakan semangat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian, dibawah tekanan Rezim Soeharto, HMI mampu mempertahankan Islam sebagai asas tunggal sekaligus terus berjuang meluruskan pengamalan nilai-nilai suci Pancasila yang diselewengkan pada masa Orde Baru. Penyelewengan Pancasila tersebut berdampak rendahnya martabat bangsa Indonesia dimata negara lain dan meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Puncaknya, HMI berhasil menggulingkan rezim Soeharto tahun 1998.

Tak dapat dipungkiri, sejarah mencatat kegemilangan HMI dari generasi ke generasi. Sampai saat ini, HMI telah berhasil mencetak kader-kader berkualitas seperti Abraham Samad, Jusuf Kalla, Anis Baswedan, Mahfud MD dan lain-lain. Dari keberhasilan tersebut, masih banyak “PR” yang harus dikerjakan kader-kader HMI kedepan. Yakni sesuai cita-cita HMI “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang turut bertanggungjawab menciptakan tatanan masayarakat yang diridhoi Allah Swt.”

Makna Pemuda-i Sebenarnya
Melihat kondisi riil saat ini, dapat dibilang kader-kader HMI dilema romantisme sejarah. Kader-kader HMI saat ini lebih cenderung mengagung-agungkan sejarah, bahkan dijadikan kekuatan untuk diskusi intelektual. Alhasil, kader-kader terkesan menggantungkan eksistensinya dari kebesaran senior, sejarah dijadikan euforia jubah untuk berlindung dari kecarut-marutan organisasi internal maupun eksternal. Di Milad HMI ke 66 ini, moment yang sangat tepat bangun dari tidur panjang keterpurukan. Jangan sampai kader HMI menjadi potret kader intelektual “jarkoni” alias jarang nglakoni yang buta menatap masa depan.

Pujangga Arab mengatakan; “Ilaisal fata man ya qulu kana abi, wa lakinnal fata man ya qulu ha anadza”. Artinya, bukan seorang pemuda yang menyatakan ini-itu “bapakku”. Namun, pemuda adalah yang menegaskan; “inilah aku yang berkarya dan berprestasi”. Kader pemuda-i HMI harus kembali melaungkan khittah (landasan) HMI seperti tahun 1947 sesuai konteks zaman. Anggota HMI seharusnya mampu menjiwai tujuan terciptanya HMI, yakni menjadikan masyarakat muslim kaffah dan menjunjung tinggi derajat Bangsa Indonesia. Agenda-agenda meningkatkan jiwa spiritualitas dan kereligiusan diharuskan, mengingat dua hal tersebut sebagai pondasi dasar HMI dalam mengarungi arus globalisasi. Diharapkan, HMI pun dapat menjadi panutan organisasi Islam dalam menjunjung tinggi spirit nilai-nilai otentik Islam. Jika tidak, asas Islam hanya akan tinggal nama yang akhirnya menjadi momok tersendiri bagi Ummat Islam.

Jadilah Sang Pembeda
Saat ini, miris bila menyaksikan kader-kader organisasi pemuda Islam zaman ini, hanya pandai berhura-hura. Kaburnya orientasi dan arah organisasi Islam tersurat ketika nilai-nilai otentik Islam sebagian kader mulai memudar seperti komunikasi laki-laki dengan perempuan kurang dijaga, bibir berkata kotor, sholat tidak terpelihara. Padahal shalat subuh merupakan aset terbentuknya kekuatan Ummat Islam.

Untuk itu HMI harus tampil beda di tengah-tengah krusialnya masalah dekadensi moral bangsa ini, tentu dengan berpegang teguh pada khittah HMI (Quran dan hadits). Jika kadernya “mbalelo” bagaimana bisa mewujudkan cita-cita HMI yang mulia? Setiap hari tak luput dari satupun di media massa selalu disuguhi kasus-kasus asusila seperti perkosaan, perampokan, bunuh diri, gratifikasi seks, korupsi dan lain-lain. Pertanyaannya, seberapa besar pengaruh eksistensi HMI dalam turut serta membangun masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Swt?

Tentu perubahan besar tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses untuk melangkah kesana. Namun, tidak ada yang tak mungkin jika ghirah azzam dimulai dari dalam diri sendiri guna mewujudkan cita-cita HMI. Tak lupa “Jas Merah” juga harus kita kenakan, yakni jangan sekali-kali melupakan sejarah, ungkapan yang pernah dilontarkan Ir. Soekarno sangat urgen untuk direnungkan. Dengan sejarah kita mampu menjiwai setiap perjuangan para pendahulu kita. Hemat penulis, kader-kader saat ini harus memperkokoh hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal terkait syariat yakni mendekatkan Allah Swt dengan shalat lima waktu terjaga dan berjamaah, shalat tahajud tidak terlupa, dhuha tak tertinggal dan puasa tak dikesampingkan.

Kedua, yakni hubungan horizontal, mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Memperkuat jalinan ukhuwah Islamiyah sesama kader, sehingga satu Marakom ibarat satu tubuh yang bila ada yang luka, yang lain ikut merasakan dan mengobatinya. Semua yang disana sudah menjadi milik bersama. Hal ini juga jelas diterangkan dalam Surah Ash-Shaffat ayat 4: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaf, 61:4).

Kader-kader HMI juga harus “melek informasi” sehingga tidak tertinggal dengan arus globalisasi. HMI diharapkan selalu menjadi penengah dalam segala independensinya tentu membela keadilan dan kebenaran serta menolong yang lemah. Seperti yang termaktub dalam ayat Al Quran diantaranya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkanrahmat”.(QS.Al-Hujuraat,49:10) “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang. Dan bersabarlah, sungguh Allah bersama orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfaal, 8:46).

Jika hal tersebut sudah ditanamkan kader-kader HMI, HMI akan menjadi pembeda dari organisasi-organisasi Islam yang lain. Kader HMI sukses dalam pembinaan kader intelektual dan spiritual yang dapat mengantarkan kesuksesaan di dunia dan di akhirat. Di Milad HMI ini, marilah kita kembali merenung, bermuhasabah apa tujuan kita berorganisasi HMI. Sudahkah pantas selama ini apa yang kita lakukan sebagai seorang muslim? Apakah perilaku, pakaian, perkataan, perasaan kita benar-benar membawa kepada cita-cita HMI yang luhur (keridhoan Allah Swt) ? Hidup hanya sekali, jika tidak berkah, di dunia akhirat bakal susah. Semoga Milad HMI ke 66 tahun ini benar-benar dapat membawa cita-cita tuk mendapat ridho Allah Swt. Harapannya, kelak kita akan berkumpul kembali dalam syurga yang penuh kenikmatan bersama Keluarga Besar HMI dan seluruh Ummat Islam. Bercengkrama dengan Rosulullah dan dapat menatap wajah Allah Swt yang selalu menjadi kerinduan seluruh Ummat Muslim yang selalu berusaha menjadi insan ulil albab.
Yakin Usaha Sampai. Bahagia… HMI… Alfatihah…


http://regional.kompasiana.com/2013/02/05/mengasah-kembali-taring-hmi-refleksi-milad-hmi-ke-66-tahun 525764.html?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kanawp
Selengkapnya...

Kamis, 03 Januari 2013

Abu Bakar Ba'asyir : Mewujudkan HMI Sebagai Organisasi Perjuangan Menegakkan Islam

"Pemahaman tentang Islam ini yang harus dibenahi oleh HMI kedepan. Kaderisasi HMI harus lebih difokuskan pada pemahaman Islam yang benar. Di akhir zaman ini umat Islam banyak menghadapi tantang dan fitnah, terutama fitnah kebodohan yang menimpa kaum muslimin. Jangan sampai HMI tergerus arus dan hanyut dalam kebodohan itu.”Himpunan Mahasiswa Islam atau yang dikenal dengan HMI merupakan organisasi mahasiswa yang mempunyai sejarah cukup panjang. Ia lahir dari sebuah keprihatinan atas kondisi bangsa dan umat Islam yang saat itu sangat terpuruk dan terbelakang dalam segala aspek, baik moral, mental, kemandirian dan intelektualitas.

Oleh karena itu, tujuan didirikannya HMI itu pun tidak lepas dari semangat itu, yakni untuk melakukan syiar Islam dan memajukan bangsa Indonesia. Maka pada 5 Februari 1947 bertepat di Sekolah Tinggi Islam (kini Universitas Islam Indonesia/UII) Yogyakarta, Lafran Pane dan kawan-kawan membentuk organisasi kemahasiswaan yang diberi nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).


HMI yang kini telah berusia lebih dari 61 tahun (5 Februari 2008) dan hampir mempunyai kader di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan kader-kadernya tersebar di seluruh nusantara tidak besar dan eksis seperti saat ini. Awal berdirinya HMI penuh dengan dinamika dan tantangan yang cukup hebat. Terutama masa-masa awal kemerdekaan, di mana HMI vis a vis langsung dengan kaum penjajah.

Pada fase berikutnya HMI juga mengahadapi tantangan dari dalam, yakni pada masa pemerintah Orde Lama. Sebagaimana kita ketahui bahwa saat itu pemerintahan Soekarno begitu kuat dan didukung penuh oleh kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga PKI pada saat itu dengan berbagai cara berupaya untuk membubarkan HMI. Tetapi alhamdulillah Allah melindungi sehingga Orde Lama Soekarno berpihak kepada HMI dan HMI tidak jadi dibubarkan.

Di masa Orde Baru, gerakan-gerakan yang mengarah pada pengkerdilan eksistensi dan perjuangan HMI juga sering terjadi, baik yang direncanakan maupun yang tidak. Gerakan yang dampaknya paling terasa hingga kini adalah ketika pemerintah Orde Baru Soeharto memberlakukan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan (kemahasiswaan).

Tak pelak kebijakan tersebut membuat HMI berada di persimpangan jalan antara kelompok yang ingin terus mempertahankan asas Islam dengan kelompok yang ingin menggunakan asas Pancasila. Maka pada Kongres di Padang tahun 1986 HMI pecah menjadi dua kubu: HMI Dipo dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Konflik itu sampai kini masih belum terselesaikan dengan tuntas.

Realitas di atas menunjukkan bahwa HMI sesungguhnya organisasi yang sangat teruji. Ia memiliki manajemen yang bagus (rapi), mempunyai sistem pengkaderan yang sistematis dan berkelanjutan, piawai dalam memanajemen konflik. Selain itu, kekuatan lain dari HMI adalah ia memiliki kader-kader yang berkualitas dengan tingkat profesionalitas di bidangnya masing-masing.

Dari segi intelektualitas HMI luar biasa, ada yang jadi menteri, gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, bupati/wakil bupati, wakil presiden, ada yang menjadi cendikiawan dan seterusnya. Kalau dilihat dari sisi ini boleh dikatakan bahwa sistem pengkaderan di HMI terbilang sukses dan berhasil.

Hanya saja yang perlu saya kritisi HMI kurang memahami tentang Islam yang benar. Pada umumnya kader-kader HMI tidak memahami Islam yang sesungguhnya. Bahkan banyak alumni HMI atau tokoh-tokoh HMI yang terpengaruh dengan pikiran-pikiran sekuler antara lain dari gagasan dan pemikiran Jaringan Islam Liberal (JIL).

Pemahaman tentang Islam ini yang harus dibenahi oleh HMI kedepan. Kaderisasi HMI harus lebih difokuskan pada pemahaman Islam yang benar. Di akhir zaman ini umat Islam banyak menghadapi tantang dan fitnah, terutama fitnah kebodohan yang menimpa kaum muslimi. Jangan sampai HMI tergerus arus dan hanyut dalam kebodohan itu. Perjuangan HMI paling berat adalah memperjuangkan tegaknya Islam itu sebagaimana yang dicita-citakan saat berdirinya HMI tahun 1947. Kalau itu belum terwujud maka tugas kita sebagai kader HMI adalah meninjau kembali sistem pengkaderan untuk lebih memfokuskan pada pemahaman Islam yang sebenarnya.

Jangan sampai kader-kader HMI mengikuti pola-pola rasionalisasi atau pola-pola liberalisasi, sebab pola-pola seperti itu menyesatkan dan merusak iman. HMI harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai pegangan dalam kehidupan di dunia dan dalam perjuangannya. Jadi titik tekan dari perkaderan HMI adalah memahami Islam dan pokok-pokok ajarannya dengan benar, sehingga sistem perjuangannya terpimpin oleh Al Qur’an dan Sunnah.

Kita bangga melihat kader-kader HMI punya intelektualitas tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan sebagainya, namun apa gunanya itu semua kalau kader HMI tidak memahami Islam yang sebenarnya. Dalam Al-Qur’an ukuran orang bodoh atau pintar itu bukan diukur dari kehebatan dalam memahami ilmu pengetahuan, tetapi diukur dari pemahaman terhadap dinul Islam.

Seseornag dikatakan pandai ketika dia bisa membedakan antara yang hak dan yang batil. Namun, jika seseorang tersebut tidak memahami Islam meskipun dalam bidang ilmu pengetahuan mendapat gelar doktor dan prefesor itu masuk katagori bodoh karena tidak memahami antara yang hak dan yang batil.

HMI jangan berbangga diri ketika ada kader HMI manjadi gubernur, menteri dan atau presiden. Yang harus kita banggakan ketika ada kader HMI yang tingkat pemahaman Islamnya benar. Kalau kader-kader HMI tidak ada yang memahami islam secara benar dan mendalam syukur-syukur kalau ada yang menjadi ulama, itu bisa dikatakan kemunduran bagi HMI. Nikmat Allah yang paling besar dalam kehidupan di dunia ini adalah Islam, maka Kader-kader HMI wajib memahami dan mengamalkan islam seutuhnya.

Saat ini Islam sedang mengalami tantangan yang cukup berat yang justru datang dari umat Islam itu sendiri, karena kebodohan mereka tentang islam. Islam diobok-obok, dirusak dan diperangi bukan melalui senjata, tetapi diperangi dari dalam. Contoh paling nyata adalah gerakan Ahmadiyah dan JIL {Jaringan Islam Liberal} sehingga banyak umat islam yang tertipu dan sesat pahamnya.

Kasus Ahmadiyah dan JIL ini adalah merupakan ujian, tantangan yang merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai kader HMI untuk membela Islam. Untuk menghadapi hal itu, HMI harus benar-benar memahami Islam, kemudian menyampaikannya kepada masyarakat luas. Kalau kita sudah memahami Islam maka semua kebusukan dan penyelewengan Ahmadiyah dan JIL akan terungkap dengan jelas. Kebusukan dan penyelewengan itu harus dihadapi dengan argumen-argumen syari’at Islam.

Islam yang benar yang saya maksudkan di sini adalah Islam yang sesuai dengan keterangan Al-Qur’an dan Sunnah. Yang perlu kita pahami juga bahwa selain menurunkan Al-Qur’an dan Sunnah, Allah SWT juga menurunkan sistem mengamalkan Islam, sistem memperjuangkan Islam dan cara berorganisasi menurut islam. HMI sebagai organisasi kader yang berbasiskan Islam harus memahami itu semua.

Rasulullah SAW bersaba, "وأما أمر دينكم فإلي وأنتم أعلم بأمور دنياكم,” {artinya: ‘adapun urusan Dien-mu/ Islam, harus kembali kepadaku, dan kamu lebih tahu urusan duniamu’} maksudnya yaitu kalau kamu mau paham din (Islam) dan cara mengamalkannya harus kembali kepadaku, harus bertanya dan mengikuti Nabi SAW, menafsirkan menurut penafsiran Nabi SAW, adapun kamu lebih tahu duniamu—dunia yang dimaksud dunia di sini adalah teknologi, bisa belajar sama orang kafir, tapi kalau urusan Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Kalau terkait dengan pemahaman Islam harus kembali kepada konsep Al-Qur’an dan Sunnah tidak bisa diubah-ubah. Kita tidak bisa seenaknya meliberalkan itu semua seperti yang ditafsirkan oleh pengikut Jaringan Islam Liberal (JIL). Misalnya ilmu kedokteran, tidak bisa diliberalkan, harus mengikuti kaidah-kaidah yang ada dalam Islam. Ada dasar-dasar atau pokok-pokok yang bisa dijadikan landasan untuk memahami hal itu.

Saya belum pernah melihat HMI dari dulu sampai sekarang bersungguh-sungguh untuk memahami Islam. Islam yang dipahami HMI adalah Islam sekuler yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan hal ini perlu dikoreksi. Perlu dibuat patokan-patokan atau konsep tentang tauhid yang benar, bagaimana syariat yang benar dan sebagainya.

Dalam konteks perjuangan sesungguhnya HMI sudah cukup semangat, namun yang menjadi persoalan besar adalah tingkat pemahaman terhadap Islam yang bergitu rendah. Padahal, kalau kita memahami Islam dengan benar maka secara tidak langsung itu akan meningkatkan semangat perjuangan yang menjadi cita-cita atau mission HMI. Allah SWT menurunkan konsep hidup berupa Islam itu adalah ideologi yang nilainya paling benar, paling modern dan paling ilmiah. Suatu aturan dikatakan ilmiah dan modern bila tidak bertentangan dengan syariat Islam sedangkan yang bertentangan dengan peraturan Islam adalah aturan jahiliah. Ini prinsip mendasar yang harus dipahami oleh kader-kader HMI.

Setelah memahami nilai dari dinul Islam, Kader HMI harus memahami pula bagaimana cara mengamalkan Islam. Allah menurunkan Islam bukan untuk diamalkan seenaknya, sesuka hatinya, tetapi ada perangakat sistem yang mengaturnya. Ibarat obat juga diturunkan resep dan cara pemakaiannya.

Sistem mengamalkan Islam harus dengan kekuasaan tidak bisa diamalkan dengan membagi-bagi kekuasaan dengan ideologi lain atau di bawah kekuasaan Ideologi lain. Seperti yang dialami umat islam saat ini. Dinul Islam berlapang dada terhadap kenyataan prulalitas, sebab itu sunnatullah tidak bisa dihilangkan, ideologi lain juga boleh berkembang, tetapi harus di bawah Islam dan harus diberlakukan baik dan adil. Bukan Islam di bawah kekuasaan lain, kalau Islam di bawah mereka (ideologi atau kekuasaan selain Islam) pasti tidak akan ada keadilan, pasti islam tidak akan diperbolehkan mengamalkan ajarannya secara kaffah {Sempurna}.

Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ini yang paling didholimi adalah umat Islam, karena mereka tidak dapat menjalankan syari’at islam secara sempurna yang boleh diamalkan hanya Ritual Nikah, Talak, Ruju’, sedang yang lainnya seperti Hukum Qishos dan Hudud tidak boleh dilaksanakan. Sedang agama lain seperti Kristen dan Budha boleh mengamalkan syari’atnya secara sempurna. Inilah bukti ketidakadilan kalau islam di bawah kekuasaan lain.

Allah juga menurunkan cara memperjuangkan Islam. Konsep atau cara memperjuangkan Islam ini sering tidak dipahami. Konsep memperjuangkan Islam dalam Al-Qur’an itu hanya ada dua, dakwah dan jihad. Islam tidak bisa diperjuangkan dengan demokrasi, demokrasi itu sistem dari luar tidak bisa untuk memperjuangkan Islam. Antara Islam dan demokrasi ada perbedaan mendasar dan tidak bisa disamakan. Dalam syariat Islam, perintah Allah, harus diamalkan tanpa minta persetujuan manusia, sedangkan demokrasi mengatur setiap peraturan harus meminta persetujuan manusia meskipun untuk menjalankan perintah Allah. Kalau setuju diamalkan kalau tidak boleh diamalkan.

Terkait dengan Ajaran Jihad, sesungguhnya sangat sederhana, yakni Jihad untuk membela diri/ Islam. Sebagaiman diketahui bahwa setiap dakwah yang kita sampaikan pasti akan mendapat tantangan. Kalau tantangan itu dengan kekuatan argumentasi harus dilawan dengan argumentasi pula, dan kalau dengan fisik harus dihadapi dengan fisik. Dalam Al-Qur’an kita disuruh berdiskusi dengan mereka, namun kalau dihadapi dengan fisik kita lawan dengan fisik pula, itu namanya jihad.

Menurut hukum Islam orang kafir boleh hidup mengamalkan keyakinannya tetapi harus tunduk di bawah kekuasaan Islam. Mas’alah inilah yang tidak dipahami oleh kebanyakan umat islam termasuk Kader HMI, sehingga memunculkan seteriotip bahwa Islam itu ambigu, Islam identik dengan kekerasan, Islam tidak adil, dan sebagainya. Padahal, yang namanya adil dalam Islam itu yang menggunakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah Islam.

Alangkah baiknya kalau HMI mampu memahami ini sehinga perjuangan HMI menjadi benar. Mendakwahkan Islam yang benar artinya menerangkan kebaikan Islam dan mengkritik semua sistem di luar Islam. Selama Dakwah islam hanya menerangkan Islam, tetapi sistem di luar islam {termasuk dalam system yang dipakai di Indonesia} yang tidak benar itu tidak pernah pernak dikritik, maka dakwah tidak mencapai sasaran.

Maka jika ingin keadilan ditegakkan di Indonesia, Negara harus berdasar Islam dan memakai hukum Islam secara kaffah, tidak ada pilihan lain. Kesalahan pemimpin kita dan para kader-kader HMI yang sudah-sudah nampaknya karena tidak memahami hal ini. Mereka sudah terkotori oleh pikiran-pikiran sekuler, dan tidak Islami. Kalau keteguhan kita memegang prinsip Islam yang benar dapat menimbulkan tudingan negatif seperti “Islam fundamentalis”, “Islam garis keras” dan sebagainya itu sudah sewajarnya karena para Nabi pun dituduh tukang sahir yang gila. Oleh karenanya harus dihadapi dengan sabar dan teguh pendirian.

Musuh Islam paling berbahaya adalah lahirnya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam tetapi ajarannya menyesatkan. Ini lebih berbahaya daripada serangan melalui senjata. Kalau HMI tidak paham Islam kita mudah ditipu orang atau kelompok tertentu, hal-hal yang berbahaya dianggap bermanfaat karena memang tidak paham pokok-pokok Islam.

Karena mereka tidak paham Islam maka gerakan Islam menjadi amburadul dan selalu gagal dalam memperjuangkan Islam. Kita ambil contoh Partai-Partai Islam dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berhasil, selalu dipermainkan dan dibohongi. Piagam Jakarta misalnya, gagal karena tidak ada semangat memperjuangkan Islam dengan dakwah dan jihad tetapi sayangnya dengan sistem demokrasi.

Mereka yang tidak setuju dengan Piagam Jakarta karena mereka kurang memahami Islam dan tidak paham persoalan yang sesungguhnya. Mereka mengaku Islam tetapi pahamnya sekuler. Islam itu tidak bisa dipisahkan dari negara karena Islam adalah negara. Karena itu, dalam UUD seharusnya syariat Islam yang menjadi sandaran bukan paham lainnya.

Rusaknya paham Islam saat ini karena mereka (umat Islam) tidak paham tentang Islam yang benar. Dalam urusan syariat, Islam itu cukup tegas tidak ada kompromi dengan ideologi lain, oleh karena itu di dalam islam tidak dibenarkan kerukunan agama, yang dibenarkan kerukunan umat beragama dalam kerja sama urusan dunia. Sedangkan urusan syariat, berlaku kaidah lakum dinukum waliyadin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Hal ini yang perlu dipahami oleh HMI sebagai organisasi perjuangan islam.

Dalam konteks ilmu pengetahuan HMI memang mempunyai pedoman dasar pengkaderan yang cukup bagus, ada nilai-nilai dasar perjuangan (NDP) yang menjadi pedoman, namun HMI terbelakang tentang paham keislaman. Pemahaman tentang Islam masih kabur dan perlu segera dikembalikan kepada pemahaman yang benar.

Islam tidak bisa dicampur dengan paham sekuler dan nasionalis. Keduanya mempunyai ranah masing-masing. Islam mempunyai ranah sendiri, sedangkan nasionalis dan sekuler juga punya ranah sendiri. Kalau ada ajaran sosialis yang mau diambil harus disesuaikan dengan Islam, yang cocok dengan Islam diambil dan yang tidak harus dibuang.

Rasulullah SAW memprediksi bahwa dunia kelak akan dikuasi sekali lagi oleh Islam, yakni tegaknya Khilafah Islamiyyah dan tanda-tandanya sudah kian kelihatan, misalnya adanya jihad di Irak dan Afganistan. Jihad yang dilakukan oleh mereka itu telah membangkitkan jihad di mana-mana. Mereka memprediksi bahwa pada tahun 2020 Israel dapat dihancurkan sehingga memungkinkan tegaknya kekuasaan Islam/ Khilafah Islamiyyah.

Di HMI, saya aktif di Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI). Lembaga ini saya rasa perlu diberi tugas untuk mengadakan riset menggali tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah Islam yang benar. Dulu saat saya aktif di LDMI HMI Cabang Solo pernah mengadakan gerakan memahami Al-Qur’an, tetapi hasilnya belum maksimal.

Saatnya LDMI diberi kepercayaan melakukan studi Islam yang sebenarnya untuk selanjutnya dijadikan pedoman di dalam training. Saya berpendapat HMI di samping harus selalu mempelajari Islam dan mengamalkannya juga harus memahami dasar-dasar bahasa Arab karena bahasa Arab itu adalah bahasa yang dipilih oleh Allah untuk menghantarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Di samping itu boleh juga mempelajari bahasa-bahasa asing lainnya untuk kepentingan Dakwah dan pengetahuan.

Sangat disayangkan penguasaan terhadap bahasa Inggris begitu lancar, namun sama sekali tidak menguasai bahasa Arab. Ini sesungguhnya suatu kekalahan. Imam Syafii mengatakan belajar bahasa Arab adalah fardhu ain. Kalau orang Islam tidak bisa bahasa Arab berarti dia tidak mengerti Al-Qur’an.

Oleh karena itu, HMI perlu mengadakan pembinaan Islam dan bahasa Arab sehingga kader HMI bisa memahami pokok-pokok bahasa Arab dan Islam. Dalam Al-Qur’an surat 49 ayat 15 disebutkan, karakter orang mukmin itu ada dua. Dua hal itu harus juga menjadi karakter kader-kader HMI.

Pertama, percayanya keimanan kepada kebenaran syariat harus mantap tidak boleh ragu sedikitpun. Karena kebenaran syariat sifatnya mutlak. Oleh karenanya tidak boleh ragu-ragu dalam mengimaninya terlepas apakah akal kita bisa memahami maslahatnya atau belum. Kalau akal kita belum memahaminya maka akal harus tunduk, bukan syari’at yang disesuaikan kemauan akal. Orang kadang-kadang mendewakan akal, kalau syari’at kemaslahatannya belum dipahami akal dan logika maka syari’at itu ditolak atau dirubah-rubah agar sesuai dengan kemauan akalnya.

Dalam konteks syariat, akal harus tunduk pada kebenaran tersebut. Sebab tidak semua persoalan di dunia ini bisa dirasionalkan atau dibenarkan dengan logika-logika akal, kunciya ada pada kepercayaan. Misalnya, orang berobat, bukan menggunakan akal dan logika, tetapi didasari oleh rasa percaya dan keyakinan. Umpamanya saat kita mendapat resep dari dokter tentu saja akal kita tidak mengerti, namun meskipun demikian obat itu tetap kita beli dan kita makan menurut aturan resep itu, dasarnya adalah kepercayaan terhadap resep dokter itu, padahal resep dokter masih mungkin salah itu saja harus kita percayai, sedangkan syariat Allah tidak mungkin salah lebih berhak harus kita percayai secara mutlak.

Kemudian karakter yang kedua adalah berjuang di jalan Allah yakni berjuang menegakkan Islam. Kalau Islam sudah tegak maka semua akan baik, bangsa baik, negara baik. Jika Islam tidak tegak maka omong kosong bangsa dan negara akan baik. Dengan menegakkan Islam itu berarti menegakkan keadilan dan kebenaran.

Jika Islam sudah tegak maka semua makhluk akan merasakan keadilan dan kesejahteraan. Baik orang kafir dan mahluk-mahluk lainnya akan merasakan yang namanya rahmatam lil alamin. Tegaknya Islam itu artinya tegaknya kekuasaan Islam. Kalau belum tegak harus diperjuangkan dengan sistem yang digariskan Al Qur’an dan As Sunnah.

Sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW, nanti di akhir zaman umat Islam akan terjerat mengikuti sunah orang-orang kafir. Kalau mereka masuk lubang biawak maka umat Islam pun ikut masuk lubang biawak. Kata sahabat: “apa yang dimaksud orang kafir itu Yahudi dan Nasrani? Nabi bersabda: “Ya, siapa lagi!”. Sabda Nabi ini artinya menerangkan bahwa di akhir zaman umat islam akan banyak mengikuti tingkah laku orang kafir, karena orang kafir menyerang islam dari dalam sehingga merusak moral dan tata cara hidup islam, maka kita harus hati-hati terhadap orang-orang yang ingin menghancurkan Islam dari dalam.

Islam adalah sistem yang lengkap. Islam mengajarkan kepada kita bagaimana mengamalkan ajaran Islam, bagaimana sistem memperjuangkan Islam, itu semua harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Maka sudah seharusnya Kader-Kader HMI mempelajari hal ini dengan sungguh-sungguh, lalu diamalkan menurut kemampuan.Setelah dipelajari dan dipahami perlu dibentuk tim untuk kemudian dijadikan konsep pengkaderan. Jadi saya berharap supaya di masa mendatang ada reformasi pengkaderan HMI yang dipusatkan kepada pemahaman Islam yang benar. Kalau tingkat pemahamannya sudah benar insya Allah, Allah akan menolong perjuangan kita.

Wassalam

Sumber : abb.centre.org
Selengkapnya...