• Bersama Peserta LK III Sulselbar dari Berbagai Cabang di Indonesia
  • Peserta LK II Bersama Kakanda Ir. H. Abd. Kahar Muzakkar (Anggota DPD RI)
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Berbagai Cabang diIndonesia
  • Peserta LK I Bersama Pengurus Komisariat Periode 2011-2012
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Kakanda Akbar Tandjung
  • Peserta LK II HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Kohati HMI Cab. Makassar Timur Bersama Fadly Zon (Sekjen Partai Gerindra)
  • Angkatan I HMI Kom. Stikes NHM Bersama Kanda Ryza Fardiansyah (Ketum HMI Cab. Makassar Timur Periode 2010-2011)
  • Peserta Gender Camp dari Berbagai Komisariat Sejajaran Makassar Timur yang diadakan di Ta'deang Maros
  • Peserta LK II HMI Cab.Makassar Timur dari Bersama Kakanda Akbar Tandjung

Senin, 23 Juli 2012

Berbagi kepada Sesama; Ruang Sosial Islam

Jika kita hitung tidak berapa lama lagi kita Muslim akan melaksanakan puasa wajib, selain puasa-puasa sunnah lainnya, bahwa di Ramadhan nanti puasa wajib dilandasi dengan iman dan ihtisab maka Ramadhan memberikan hikmah yang dalam, sedangkan bagi mereka yang berpuasa hanya untuk menggugurkan kewajiban maka yang kehadiran Ramadhan tidaklah membekas. Diantara hikmah Puasa Ramadhan sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an (QS. 2: 183) adalah menjadikan mukmin pelakunya mencapai derajat Muttaqin. “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Al-Imran: 134).

 
Parameter ketakwaan secara umum bisa kita klasifikasikan menjadi dua: dimensi ritus-teologis (hablun min Allah) dan dimensi sosial-praksis (hablun min Annas). Dari QS. Al-Baqarah ayat 2-4 dan QS. Ali-Imran ayat 134 bisa kita dapati bahwa parameter dimensi ritus-teologis adalah jika seseorang iman kepada keghaiban, mendirikan shalat, beriman pada kitab-kitab Allah dan adanya hari kiamat. Dalam keimanan kepada keghaiban terkandung keimanan kepada Allah, Malaikat, dan hal ghaib lain semacam takdir.

Dalam studi agama, keimanan pada keghaiban ini menjadi elemen utama setiap agama karena tanpa ketundukan terhadap kemisteriusan yang mempesona (mysterium tremendum) maka seseorang akan menjadi penganut agama yang tidak taat. Parameter lain dalam dimensi ini adalah seseorang cepat ingat kepada Allah jika ia berbuat salah.
Pada dimensi sosial-praksis, parameter ketakwaan adalah kemauan berbagi rizki, pengendalian amarah, dan pemberian maaf. Sepintas parameter ketakwaan ini seperti terlalu sederhana, namun nyatanya memang cukup sentral dalam membentuk kehidupan sosial yang baik. Pelbagai masalah sosial bisa dirujuk pada dua persoalan inti yang saling berkait: kemiskinan dan kriminalitas.
 
Kemiskinan terjadi karena ketimpangan dalam distribusi kesejahteraan. Sebagian kecil orang menikmati sebagian besar sumber daya, sementara sebagian besar manusia berebut sisanya. Sebagaimana diutarakan Amien Rais dalam bukunya “Selamatkan Indonesia”, pada akhir 90-an, 20% penduduk dunia yang hidup di negara maju menikmati 86% penghasilan dunia, sedangkan 20% paling bawah hanya menikmati 1% penghasilan dunia. Kebutuhan pendidikan di semua negara berkembang sebesar 6 milyar dollar AS setahun, kalah besar dibandingkan 8 milyar dollar belanja kosmetik warga Amerika, 11 milyar dollar konsumsi Es krim di Eropa dan 17 milyar dollar kebutuhan makanan hewan piaraan di Eropa dan AS. Ini adalah contoh kecil tentang kesenjangan ekonomi.

Jadi kemauan menafkahkan sebagian rizkinya untuk berbagi dengan sesama adalah kunci pemerataan kekayaan. Tentu perlu dibarengi dengan sistem ekonomi yang berimbang dan tidak hanya menguntungkan negara maju sebagaimana disampaikan Galbraith bahwa kesenjangan sosial-ekonomi di era globalisasi adalah kejahatan yang sempurna (perfect crime).Kemiskinan ini pada akhirnya mempengaruhi tingginya kriminalitas—dalam bahasa agama, kemiskinan lebih dekat dengan kekufuran. Orang yang terhimpit kebutuhan ekonomi lebih sulit menahan amarah, menyebabkannya terjebak pada dua kemungkinan: berbuat kriminal atau sakit jiwa. Fakta memperkuat pernyataan ini, penjara dan rumah sakit jiwa adalah dua tempat dengan penghuni melebihi kapasitas. Jika ketidakmampuan menahan amarah adalah penyebab kriminalitas, maka ketidakmampuan memberi maaf adalah penyebab buntunya solusi kriminalitas. Memberi maaf bisa memutus rantai konflik dan perselisihan, sebaliknya membalas dendam tidak memadamkan konflik namun malah memperpanjangnya.
 
Idul Fitri adalah kemenangan bagi mereka yang menemukan fitrahnya melalui ibadah puasa Ramadhan. Sehingga memaknakan Idul Fitri berarti menjadikan hikmah Ramadhan terwujud dalam keseharian kita. Tanpa perwujudan ini, Idul Fitri kehilangan makna hakikinya dan berubah menjadi sekedar ruang sosial yang tidak bernuansa ibadah. Idul Fitri menjadi tidak lebih dari fenomena sosial: kita bertemu keluarga dan saling mengucapkan selamat. Padahal seharusnya Idul Fitri lebih bernuansa teologis: manusia menemukan jatidirinya melalui ibadah Puasa, dan mewujudkannya dalam keseharian. Dimulai dari 1 Syawal. Taqabbalallahu Minna wa Minkum. Lihatlah Bagaimana kita memaknai sebuah relasi sosial ini dalam kondisi yang tidak sebenarnya?
Silahkan kemukakan pendapat Anda….

http://pakode.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar